Sunday, June 30, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 11:30:00 PM | No comments

Agenda Berjalan


Sabtu. Tadi pagi, dalam perjalanan kami ke Cangkringan, Mas Fatur menanyakan ada agenda apa saja di akhir pekan ini.

"Nanti siang ada pawai Kraton Pakualaman. Malam nanti aku ada diskusi di IVAA, pembicaranya temenku, Mas Aji. Hari ini juga ada Festival Lima Gunung, tadinya mau ikut sama teman-teman IHY, tapi batal karena acara di Cangkingan ini. Oh ada pertunjukan kesenian apa gitu di dekat Borobudur, ini hari terakhir."

"Jadi hari ini agendamu tiga?"

"Iya, ikut?"

"Lihat nanti, aku habis dari sini mau nongkrong dengan teman-teman di Taman Kuliner. Aku cuman nanya. Kan kamu agenda berjalan," sambil senyum.

Agenda berjalan.

Oya?

Mungkin juga! Aku sering mengabari teman yang kupikir akan tertarik. Salah satunya Mas Fatur ini, sering kuajak lihat acara di sana-sini (dan sebaliknya, dia yang mengabariku agenda tertentu). Biasanya info kuperoleh dari Twitter atau milis. Kalau rajin, suka buka-buka undangan event di Facebook atau tracking linimasa akun-akun daerah seperti @infosenijogja. Nanti infonya ku-copas ke blog ini, masuk kategori "agenda". Yang benar-benar ingin kudatangi akan kutulis di kalender meja.

Hummm... pantesan di pagi akhir pekan, Mas Fatur sering meng-SMS: Apa kegiatan hari ini, Dek?

Ada apa saja di Juli ini? Coba tanya aku, mungkin aku bisa menjawabnya :)

Gambar dari sini.

Mlekom,
AZ

Saturday, June 29, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 1:16:00 PM | No comments

Acara Tutup Tahun Sekolah Gajahwong


Temans,

Minggu (30/06) besok aku akan membantu teman-teman pegiat Sekolah Gajahwong yang akan mengadakan acara tutup tahun ajaran untuk murid-murid PAUD Gajahwong. Sekolah Gajahwong adalah lembaga pendidikan informal yang diperuntukkan bagi anak-anak pemulung yang bermukim di bantaran Kali Gajahwong, Ledhok, Timoho, Yogyakarta.

Kegiatan ini terbuka untuk umum. Akan ada kegiatan jelajah mengenal alam, permainan edukatif, dan pameran karya anak. Sayang anakku tak bisa diajak (bingung cara bawa kandangnya, hehehe). Buat teman yang ingin membawa anak atau ponakan, silahkan saja. 

Acara ini gratis, namun perlu membawa konsumsi dan keperluan masing-masing agar tidak memberatkan panitia. Untuk menyelenggarakan kegiatan tsb, panitia yang bekerja voluntary ini mendapat bantuan publik berupa konsumsi, transportasi (bus) dan tempat di Cangkringan (dekat Resto Morolejar). Jika ingin menyumbang apapun (makanan, buku, alat-alat edukatif, dst), akan sangat berarti buat mereka.

Acara bertempat di Pondok Alam Cangkringan, pukul 08.00-12.00. Jika ingin berangkat bareng, panitia sediakan bus yang akan berangkat dari Sekolah Gajahwong pukul 07.00.

Yang tidak punya anak tapi tetap pingin ikut? Mari menjadi relawan! http://ledhoktimoho.wordpress.com/2013/06/29/call-for-volunteer-gathering-tutup-tahun-ajaran/

Info lengkap sila cek di sini. Gambar dari sini.

Mohon disebarkan.

Mlekom,
AZ

Tuesday, June 18, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 11:07:00 PM | No comments

Jeruji Besi yang Membasahi Saputangan



Bergaul dengan warga desa memunculkan kesadaran bahwa desa itu tidak se-udik, se-katrok, se-kampungan yang dipikirkan orang awam. Aku mengenal sejumlah orang hebat yang melakukan banyak hal untuk desanya. Diantara mereka adalah para Kepala Desa (Kades).

Salah satu Kades yang kukenal adalah Pak SA. Ia adalah seorang mantan wartawan di Jakarta, mantan aktivis kampus yang bergelar Sarjana Ekonomi, dan kini menjadi mantan Kades sebab masa jabatannya telah berakhir. Ia memenangkan suara nyaris mutlak di dua periode pemilihan. 

Warga bangga padanya. Akupun begitu. Ia sangat bijak dan taktis. Juga memiliki selera humor yang sangat tinggi. Tahun 2010 aku pernah sakit perut akibat terbahak-bahak mendengar cerita beliau. Bagaimana tidak, nyaris sejam perjalanan ia menceritakan hal-hal lucu.

Pak SA adalah salah satu Kades yang memiliki visi hebat. Mencari sosok pemimpin sekelas beliau bukan perkara mudah, bahkan di tingkat negara! Sampai-sampai, beliau dilirik berbagai pihak untuk dicalonkan menjadi Bupati. Tak hanya di kabupaten tempat tinggalnya, namun juga kabupaten tetangga. Sip sekali!

Untuk sebuah majalah, aku pernah mewawancara beliau tentang sebuah program yang sedang dijalankannya. Program ini berbasis teknologi informasi, bermula dari cita-citanya untuk mewujudkan tata kelola data desa yang baik dan aksesibel. Sebuah LSM di Yogyakarta membantu beliau mewujudkan cita-cita ini dengan membangun sistem informasinya. Program ini kemudian menjadi pemenang di tingkat kabupaten, dalam sebuah lomba desa berskala nasional.

2007
Pasca gempa bumi 2006, pemerintah menggelontorkan dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Dana bantuan ini diberikan kepada desa-desa yang terkena dampak bencana. Besaran uang berbeda bagi tiap rumah yang menjadi korban, tergantung tingkat kerusakan.

Sayangnya, pembagian ini kerapkali menimbulkan persoalan baru. Banyak pengalaman dari desa-desa lain yang menceritakan tentang perpecahan keluarga, keributan antar warga, dll yang diakibatkan oleh pembagian dana bantuan yang dianggap tidak adil. Entah atas dasar apa, bupati yang berkuasa saat itu menyatakan bahwa dana bantuan gempa untuk proses rehab-rekons bisa dikelola sesuai dengan kearifan lokal. 

Pak SA tentu tak menginginkan kejadian serupa terjadi di desanya. Dalam sebuah forum warga yang dihadiri oleh seluruh pejabat berwenang terkait bantuan gempa, ia mengusulkan agar dana senilai Rp 1 milyar dibagikan secara merata ke seluruh warga, meskipun rumahnya tidak rusak. Hal ini dilakukan untuk mengindari konflik akibat data rujukan yang digunakan pemerintah untuk pembagian dana gempa tidak akurat. Sebagian lain dana itu dipotong untuk pembangunan sarana dan prasarana desa. Warga setuju. Walaupun seluruh bukti transaksi terekam baik, persetujuan ini tidak memiliki kekuatan formal, sayangnya, sebab tak ada perjanjian tertulis berupa dokumen legal. Inilah yang dinamakan kearifan lokal, berdasar azas kepercayaan.

03 Juni 2013
Saat aku memeriksakan diri ke Rumah Sakit, ada yang menyapa. Mas AfZ, kenalan lama. Dia sedang memeriksakan punggungnya yang cidera akibat kecelakaan sepeda motor minggu lalu. Tabrak lari.

Mas AfZ adalah putra dari Pak SA. Ia datang bersama ibunya. Obrolan bermula dari pertanyaan standar orang bertemu di RS: Siapa yang sakit, sakit apa, dan seterusnya, hingga menanyakan kabar ayahnya.

"Senin  depan (10/06) akan dilangsungkan sidang di pengadilan Tipikor," kata Bu SA. Beliau langsung langsung menghubungi pengacaranya untuk menanyakan jadwal persidangan, ketika kunyatakan keinginanku untuk menghadiri sidang.

Pak SA menjadi terpidana korupsi. Kasus yang menjeratnya adalah soal pembagian dana bantuan gempa yang dianggap tidak diatur sebagaimana mustinya.

Sebenarnya, sejak ditangkap dan dipenjara pada 31 Oktober 2012, aku sudah sangat ingin menjenguk beliau ke rutan. Aku berharap, selain sebagai ungkapan solidaritas, juga ingin menanyakan hal yang mungkin bisa kubantu. Aku kenal sejumlah Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada. 

Niat itu dipatahkan teman-temanku. Menurut mereka, perkara yang sedang dalam proses penyusunan dapat menjadi runyam jika kedatangan orang baru. "Bisa-bisa dituduh ingin bersekongkol untuk hal buruk," kata mereka. Mengenai bantuan hukum, ada teman yang sudah bergerak, lewat lobi non hukum, jalan ini sebaiknya tidak melibatkan ahli dahulu.

3 Oktober 2012
Bersama tiga teman lain, aku sempatkan mengunjungi Pak SA di rumahnya. Saat itu berita korupsi ini mulai terdengar di telinga publik. Kami datang hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul, tak sedikitpun menyentuh isu tersebut. Pak SA masih terlihat tenang dan kocak seperti biasa. Beliau juga menceritakan mimpi-mimpinya untuk kemajuan desa. Ini pertemuan terakhir kami dengan beliau.

10 Juni 2013
"Urusan benar atau salah sudah menjadi wewenang pengadilan untuk memutuskannya. Kita hadir sebagai teman untuk memberikan semangat dan dukungan moral kepada Pak SA dan keluarga dalam menjalani proses kasus yang dituduhkan kepadanya," kata temanku menjawab pertanyaanku tentang kapasitas kami di persidangan.

"Mari, Bapak di dalam," kata Mas AfZ yang menyambut kami di Pengadilan Tipikor.

Kami masuk ke ruang transit tahanan. Tampak di situ Pak SA sedang berbincang dengan Bu SA, melalui jendela. Ya, ruang sekitar 3x4 meter itu semacam penjara dalam versi manusiawi. Ada sebuah kursi panjang dan toilet di dalamnya. Bersih, manusiawi, selayaknya ruang-ruang di kantor lain. Yang membedakan adalah teralis besi yang terpasang kokoh di tiap daun pintunya.

Ruangan putih itu dibagi dua, dengan pembatas berupa tembok kaca. Ruang pertama untuk tahanan, ruang lainnya untuk penjenguk. Ada pintu dan dua daun jendela di tembok kaca itu. Perbincangan dengan Pak SA berlangsung melalui celah daun jendela yang diangkat agar tak menghindari pandangan. Diangkat dengan cara menahannya dengan tangan, temanku yang melakukan itu.

Pak SA, seperti biasa, menyambut kami hangat dan menyatakan terimakasih atas kunjungan ini. Obrolan, juga seperti biasa, berjalan ngalor-ngidul menyenangkan selama setengah jam. Meski tetap terlihat setegar SA yang dulu, ada hal yang berbeda dari beliau. Kalian akan tahu jika pernah mengenal sosok SA sebelum kejadian ini.

Temanku menceritakan tentang sistem basis data yang dikembangkan LSM-nya, di mana tiga tahun lalu desa Pak SA menjadi pilot project. Sistem ini kini berkembang pesat. Pak SA tentu bangga, sebab beliau menjadi salah satu penggagas. Beliau menceritakan kegiatannya di rutan.

"Saat ini saya sibuk menulis untuk bahan persidangan. Nanti usai putusan, akan punya waktu untuk menulis. Saya ingin menulis buku tentang peran pemdes di masa pasca gempa, terutama terkait perbedaan antara hukum negara dengan kesepakatan warga." Kesepakatan warga ini adalah "kearifan lokal" yang kusebut di atas. Selain itu, kasus ini semakin menegaskan bagaimana dampak sosial yang muncul ketika pemerintahan dikelola dengan data yang tak akurat. Sayangnya, dampak tersebut harus ditanggung oleh ujung tombak pelayan masyarakat, yakni perangkat pemerintahan desa.

Sebagai Kades, Pak SA menjadi pucuk pengambil kebijakan desa, sedang enam stafnya dianggap telah menjalankan putusan melanggar hukum yang ditetapkan atasannya. Satu periode pemerintahan desa itu dianggap menyalahgunakan wewenang. Sesimpel itu...

*
Ketika melihat kami datang, Bu SA yang tadinya berdiri mengobrol dengan suaminya, langsung menyingkir ke kursi tempat pengunjung. Beliau terus mengusapkan saputangan ke matanya yang merah dan berkantung tebal. Bagaimana tidak, suaminya berada di kursi pesakitan. Aku jadi kikuk sendiri. 

Ingin ikut duduk di samping beliau, namun aku tak kuat melihat orang menangis. Ketika melihat Pak SA di ruang berjeruji itu saja aku hampir menitik air mata. 15 menit berselang, kuberanikan diri duduk di samping Bu SA, menanyakan hal absurd.

"Ibu sehat, Bu?" pertanyaan sama kutanyakan juga ke Pak SA di awal pertemuan tadi.

"Alhamdulillah sehat," jawabnya lirih, sambil terus mengusap saputangan.

Lalu aku bingung, sebab si Ibu juga tak setegar suaminya. Ia tak mampu berkata banyak.

"Dengan siapa ke sini, Bu? Berdua dengan Mas AfZ saja?" nah, pertanyaan absurd lagi.

"Itu dengan anak-anak semua" menunjuk adik-adiknya Mas AfZ.

"Mas AfZ bagaimana, Bu? Sudah sehat?"

"Lumayan Mbak, tapi masih terbatas geraknya." Pertanyaan ini sudah kutanyakan juga langsung ke Mas AfZ saatkami baru bersua tadi.

"Ibu sehat-sehat ya Bu, biar Bapak juga sehat," kataku sambil memegang pundaknya. Absurd.

"Iya Mbak..." 

Bla bla bla, tentang berapa kali beliau menjenguk, kesehatan si Bapak, dst sampai petugas datang, beritahukan giliran persidangan Pak SA tiba. Aku dan teman-teman ke luar, memberi waktu pada keluarga dan tim Kuasa Hukum.

Tuntutan
Agenda sidang kali ini adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa. Pak SA
didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Berdasar keterangan saksi di sidang-sidang sebelumnya, Pak SA dan beberapa Staf Pemerintah Desa yang dipimpinnya (ada 6 orang lain yang ditangkap beberapa hari pasca penangkapan Pak SA), terbukti telah melakukan pemotongan dana bantuan pasca-gempa. Dana itu digunakan untuk membangun sejumlah infrastruktur desa. 

Atas dakwaan tersebut, jaksa menuntut hukuman penjara 6 tahun (potong tahanan) dan denda (sekitar) Rp 200.000.000 (subsider 3 bulan kurungan). Juga wajib membayar denda sebesar (sekitar) Rp 60 juta atas kerugian negara yang mencapai angka lebih dari Rp 1 Milyar. Jika denda tersebut tak bisa dibayarkan, maka pengadilan akan menyita aset pribadi.

"Enam tahun!" pekikku dalam hati.

"Biasanya putusan akhir tak akan jauh-jauh dari itu," kata temanku.

"Apakah ada yang bisa dibantu untuk saat ini?" tanyaku.

"Ini sudah putusan, mestinya sebelum ini..."

"Dulu aku pernah menawarkan untuk menghubungi orang UGM!"

"Tapi sepertinya tidak akan berubah lagi, kecuali ada peninjauan kembali (PK). Untuk PK itu, kalau keluarga masih punya energi..."

Hatiku mencelos... :(

Dalam persidangan ini hanya menghadirkan Pak SA, sedang enam stafnya akan disidang keesokan harinya. Mereka selalu dipisah, mulai dari lokasi rutan yang berbeda kabupaten, hingga jadwal yang tidak pernah disatukan (kecuali dalam proses mendengarkan saksi). Ini disengaja agar tak terjadi tindakan saling mempengaruhi.

Sidang berlangsung sangat singkat, kurang dari setengah jam. Pak SA langsung dibawa kembali ke ruang transit. Kami tidak ikut, biarkan keluarga dan kuasa hukum berunding. Kami menunggu di luar. Sepanjang persidangan, saputangan Bu SA terus bekerja.

Tak lama, Pak SA dan keluarga keluar. Kami hampiri, salaman. Genggamannya masih sekencang biasanya ia menjabat tangan. Aku tak tahu harus mengucap apa: Sampai jumpa lain waktu, Pak! Semoga sukses persidangannya besok! Absurd lagi, kan? Maka aku diam saja, sambil menyunggingkan senyum paling manis yang kupunya, sambil melambai hormat ketika si Bapak sudah masuk ke mobil hijau berjeruji itu.

Si Ibu mengikuti beliau. Si Bapak, sambil melambai kepada kami, menjulurkan tangannya di antara jeruji jendela mobil. Si Ibu meraihnya, lalu menciumnya sayang. Dengan rasa sayang mendalam. Aku menangis melihat adegan ini.

Keluarga pulang dengan kendaraan terpisah. Kami berpamitan.

Ini pengalaman pertamaku masuk ke ruang sidang, selain ruang praktek mahasiswa hukum di kampus. Aku benci jeruji-jeruji yang membuat saputangan Bu SA basah kuyup!

11 Juni 2013
Kemarin, dari keluarga Pak SA, kami mendengar bahwa persidangan mantan staf Pak SA akan disidang hari ini. Kami datang di jam yang sama dengan kemarin, namun melihat kondisi kantor yang sepi. Ternyata persidangan diadakan pagi hari...

Hari Ini
Besok, 19 Juni 2013 pukul 08.30 akan diadakan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pledoi oleh Pak SA, masih di Pengadilan Tipikor, Jalan Soepomo, Janturan, Yogyakarta (pertigaan kecil di seberang swalayan Pamella I). Ada yang ingin turut memberi dukungan moril? Mari!


Foto kuambil di persidangan kemarin (10/06). Seluruh nama (orang, lembaga dan tempat/lokasi) kusamarkan demi kepatutan.

Mlekom,
AZ

Saturday, June 15, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 11:00:00 PM | No comments

Merthi Kutha, When People Grab their Public Space



One barometer of life quality of a city is public space. As an open space between communities that bring together citizens, public spaces act as strategic interests of all citizens. Yogyakarta is one of the major cities in Indonesia, which has complicated public space issues.

Public spaces in Yogyakarta have not been ideal, as function and quantity. It is also lack of government support (policy). According to Marco Kusumawijaya (2012), the declining quality of public space due to the inability of the state to take care of and/or communities does not feel they have and do not take care of it. Public spaces will come alive when successfully lived by the residents and the community changed from a public space into shared space. Public space, in the realm of the state, is considered as rigid and controlled entities. Common space is considered to be a living embodiment of an open community of citizens, as the active-creative interaction space in a city. Consequently, all the planning and the changes that will be made on these spaces is a common consensus. Residents seat role to be involved in determining the direction of the management and development of the city, rather than the practice of privatization and commercialization, to conservation. 

"Merti Kutha" which was held in Yogyakarta by a group of communities and individuals who called themselves as “Warga Berdaya” (powerful citizens) is a condition marker. Merti Kutha is a collaboration of citizen participation to reorganize their urban spaces. They are talking about pedestrian, visual trash, access for difabel, and heritage. This movement emerged when the city government failing to provide a decent living community rights of citizens. Dimensional space is absent due invincible dominance by economic power. Awareness among the community that people are still able to meet, communicate, and articulate their interests, it is a form of gratitude. Merti Kutha corroborates the existence of the city as a physical manifestation of the community in a vibrant city with a consensus across space, can be with or without the presence of the city government.

Keywords: public space, common space, privatisation, commercialization, citizen action


Author 1:
Elanto Wijoyono
Greenmap Indonesia
joeyakarta@greenmap.or.id

Author 2:
Adriani Zulivan
Indonesian Heritage Inventory
adrianizulivan@gmail.com

* This Abstract of Paper is prepared for the International Conference on Cities, People & Places, October 14-17, 2013 at the Sri Lanka Foundation Institute in Colombo, Sri Lanka. See here.

Wednesday, June 12, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 9:35:00 AM | No comments

Jelajah Percandian Kawasan Prambanan


Peringatan 100 Tahun Hari Purbakala

Tepat pada 14 Juni 1913, sebuah lembaga yang menangani hal kepurbakalaan di Hindia Belanda dibentuk dengan nama Oudheidkundige Dienst in Nederlansch-Indie. Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ini kemudian menjadi Jawatan Purbakala pada tahun 1936. Pada tahun 1951, lembaga ini kemudian menjadi Dinas Purbakala yang bertanggung jawab kepada pemerintah Republik Indonesia.

Peringatan sederhana untuk mengenang perjuangan perintis ilmu kepurbakalaan (arkeologi) dan melihat hasil upaya konservasi akan dilakukan dalam bentuk jelajah percandian. Jelajah percandian dalam rangka "Peringatan 100 Tahun Hari Purbakala" ini akan diselenggarakan pada:


Jumat, 14 Juni 2013
07.00 - 16.00
Berkumpul di Pusat Studi Koesnadi Harjosumantri (Purnabudaya UGM) Yogyakarta

Rute
Candi Kedulan - Candi Sari - Candi Sewu - Candi Bubrah - Candi Lumbung - Candi Plaosan (+ diskusi di lapangan) - Candi Sojiwan - Candi Kalasan

Jelajah percandian ini ditujukan untuk mengetahui kekayaan khasanah kepurbakalaan di kawasan pusaka Prambanan. Kawasan strategis nasional ini memiliki kekayaan ratusan struktur percandian yang tersebar di wilayah Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Klaten. Percandian di kawasan itu dikelola dengan baik oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Situs yang dikunjungi adalah situs percandian di luar Candi Prambanan yang juga menyimpan beribu pengetahuan yang harus terus digali dan dikabarkan kepada khalayak.

Tantangan pelestarian potensi kepurbakalaan bangsa ini selalu ada dari waktu ke waktu. Selain faktor alam yang mempengaruhi kelestarian bangunan percandian dan situs yang berada di tempat terbuka, faktor manusia memberikan pengaruh cukup besar. Perkembangan pembangunan kawasan yang merambah ke kawasan pusaka ini menjadi hal penting yang harus selalu dicermati dalam perencanaan pembangunan di kawasan Prambanan. Desakan pembangunan yang disponsori oleh kelompok pemodal besar yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip pembangunan di kawasan pusaka Prambanan adalah salah satu tantangan besar yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Konsistensi pemerintah dalam mengawal komitmen pelestarian harus dipantau bersama oleh masyarakat agar kelestarian pusaka purbakala di kawasan ini bisa terjaga dan termanfaatkan seutuhnya untuk kepentingan ilmu dan pengetahuan. Pekerjaan rumah terbesar selanjutnya adalah bagaimana menjadikan potensi ini sebagai entitas yang dapat bermanfaat secara riil bagi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat dan bangsa Indonesia.

Apapun gagasan dan masukan Anda, sila bagikan dan diskusikan dengan mengikuti jelajah percandian ini.


SAVE PRAMBANAN!


Catatan
  • Jelajah percandian dilakukan dengan sepeda motor. Persiapkan kendaraan dan perlengkapan touring masing-masing dengan memperhatikan keamanan.
  • Hujan masih berlangsung hingga bulan Juni ini, sehingga pastikan perlengkapan seperti jas hujan dibawa serta.
  • Acara makan siang dan sholat Jumat akan dilakukan di sekitar situs Candi Sewu
  • Biaya untuk konsumsi, bensin, dan tiket masuk situs candi-candi menjadi tanggung jawab peserta masing-masing

Gratis!

Sumber: Indonesian Heritage Year di sini.

Friday, June 7, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 1:04:00 PM | No comments

Smile! Everyone Gets a Free Terabyte on Flickr!



Lately I quite often use Flickr to send edited photo online from Picture2Life application, but never open the Flickr website directly. Earlier, when looking for a photo on my Flickr, I found this: Smile. Everyone Gets a Free Terabyte on Flickr!

Yep. Since last month, Flickr provides 1 Terabyte space for us. Free! I of course immediately utilized it, to reduce the burden of the hard drive that I have on my devices. See more details here.

Previously, eventhough I've been using Flickr since 2008, I was more convenience to share picture in Photo Bucket, which I think more well-organize. And the most important thik is: it allows you to share much spaces, freely! Not like Flickr, which is limited. I have uploaded some collection of photographs there. 

However, after the disappearance of Multiply, I'm so worried if any application which is not owned by a large company, will soon disappear as wel;, including Photo Bucket. Thanks God since Flickr is already owned by Yahoo!. And the good thing is: Now you can organize your albums on Flickr, just like Photo Bucket's. Great!

These are mine. Let the computer relief, throw your files to Flickr and ... Smile!

:)

Mlekom,
AZ
Sekelompok pemuda desa di area situs Muaro Jambi sejak tahun 2010 mengadakan kegiatan pendidikan lingkungan untuk anak-anak desa setempat. Kelompok yang dinamai Sekolah Alam Raya Muarojambi (SARAMUJA) ini tiap pekan melakukan jelajah alam, penampilan seni budaya, hingga aksi membersihkan sampah di area percandian. Dengan semangat “semua orang guru, alam raya sekolahku”, SARAMUJA mampu meramu intepretasi baru atas situs Muarojambi sebagai ruang kegiatan untuk anak-anak desa setempat.

Muaro Jambi adalah situs cagar budaya kelas nasional yang nilai pentingnya bagi ilmu sejarah dan arkeologi telah mendunia. Namun, situs yang dikelola oleh pemerintah ini ternyata tidak cukup dipahami aspek kesejarahannya oleh masyarakat setempat. Belum ada ruang bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang layak tentang sejarah Muaro Jambi. Faktanya, anak desa di sana justru lebih mengenal informasi Candi Borobudur daripada Muaro Jambi di bangku sekolah. SARAMUJA berupaya untuk menyediakan informasi dan pengetahuan tentang Muaro Jambi kepada anak-anak desa setempat dengan metode yang mereka ciptakan sendiri.

Inisiatif SARAMUJA memberikan pendidikan pusaka (heritage education) kepada anak-anak desa adalah bentuk apresiasi terhadap pusaka budaya yang ada di tempat tinggal mereka. Praktik ini adalah kritik terhadap produsen pengetahuan masa lampau yang selama ini dimonopoli oleh sejarawan dan arkeolog (dalam lembaga pemerintah dan/atau akademis) seperti yang banyak dilakukan dalam fenomena New Archaeology. SARAMUJA menjadi fenomena interpretasi arkeologi ala pribumi (indigenous archaeology) atas situs dan sejarah Muaro Jambi ke dalam konteks kekinian. Laku interpretif masyarakat setempat ini bermanfaat untuk menjadikan pusaka budaya ini menjadi signifikan dan bernilai baik bagi diri mereka. Hal ini akan mempu berperan untuk meneguhkan jati diri sebagai bangsa dan sekaligus mendorong aksi pelestarian yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kata kunci: Muaro Jambi, indigenous archaeology, arkeologi, interpretasi, post-processual archaeology, masyarakat


Penulis:
  1. Adriani Zulivan, Indonesian Heritage Inventory
  2. Elanto Wijoyono, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia

*Ditulis untuk International Conference on Jambi Studies 2013


Posted by adrianizulivan Posted on 8:40:00 AM | No comments

Turnamen Foto Perjalanan Ronde 22: Matahari

RT ‏@andrianiken @adrianizulivan @travelingprecil @windyariestanty @jeJAKAki ayo ikutan #TurnamenFotoPerjalanan ronde22 tema MATAHARI! http://www.n-journal.com/2013/05/turnamen-foto-perjalanan-ronde-22_31.html
Ini twit dini hari tadi. Hayuk, siapa takut!

Ini untuk kedua kalinya aku ikut Turnamen Foto Perjalanan. Yang pertama bertema "jalanan", di sini. Tema kali ini adalah "matahari"!
Pagi dan Ruang Publik yang Hidup

Tak banyak ruang publik yang hidup di Kota Yogyakarta. Pos Kamling yang terletak di Jalan Veteran, Umbulharjo ini sungguh istimewa. Meski berada di perkampungan urban, keberadaannya mampu ciptakan interaksi bersama. Sinar mentari berpendar dari celah-celah ranting pohon peneduh. Menemani warga yang datang untuk sekadar membaca koran di papan tempel, menikmati gudeg dan sarapan khas lainnya, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul usai berolahraga.

Mlekom,
AZ 

Wednesday, June 5, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 8:10:00 PM | No comments

Jangan Percaya Primbon!


19.58.

Telingaku barusan berdengung. Kebetulan lagi di depan komputer, aku isengggg banget Google "arti dengung telinga", ketemu http://www.primbon.com/telinga.htm, katanya:


antara jam 19 - 20 malam hari 
bermakna akan mendapat berita buruk dari kalangan sendiri


Aku cuek. Satu menit. Dua menit. Lalu nanya Papa apakah Mama sudah tiba di Medan. Mama berangkat via Cengkareng magrib tadi.

"Teleponnya masih belom aktif, dek." kata Papa.

Kuminta Papa untuk menghubungi lagi. Satu menit. Dua menit. Telepon bunyi.

"Sudah dijemput di Polonia." SMS Mama.

Alhamdulillah.

Jangan pernah buka primbon di saat yang tidak tepat! Jangan percaya primbon jika tak ingin mengalami serangan jantung kecil! 

Camkan itu, Esperenja!

Mlekom,
AZ

*serangan jantung kecil, maksudnya mini heart attack
Gambar dari sini.

Tuesday, June 4, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 9:03:00 PM | No comments

7th International Field School on Borobudur Saujana Heritage 2013



Center for Heritage Conservation
DEPARTMENT OF ARCHITECTURE AND PLANNING, 
FACULTY OF ENGINEERING
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA, 
INDONESIA

Call for Participants
7TH INTERNATIONAL FIELD SCHOOL 
ON BOROBUDUR SAUJANA HERITAGE


Theme
Local Communities’ Initiatives for the Evolutive Conservation

Venue
Yogyakarta & Borobudur, September 4-10, 2013

Co-organized by
Center for Heritage Conservation

In collaboration with
1. Kanki Laboratory
2. Jogja Heritage Society


INTRODUCTION
Saujana heritage or cultural landscape heritage is the inextricable unity between nature and manmade heritage in space and time, or the variety of interactive manifestation between manmade heritage and natural environment. The interaction of nature and culture has become a new perspective in global discourse of sciences especially those which concern with heritage conservation started in the end of the 80’s. However, in the Indonesian higher education as well as the discourse on the saujana has not well developed. Whereas in fact, Indonesia from Sabang to Merauke is a mosaic of one of the world’s largest diversity of saujana that needs interdisciplinary developed.

Borobudur Temple compound, which consists of Borobudur, Mendut and Pawon
Temples, was inscribed in the UNESCO’s World Heritage List No. 592 in the year 1991. The area of this compound has rich of natural and cultural potentials associated with the establishment of the temples existence. There are surrounding mountains, ancient lake, fertile soil, and rural atmosphere as well as everyday community life of cultural villages which performs the value and variety of interactive manifestation between manmade heritage and natural environment called saujana. However, in the last decade there has been a tremendous movement of the local communities to be more concerned into unbalance conservation and development on this World Cultural Heritage Sites. 

In order to response the comprehensive needs, in scientific as well as practical, on the conservation of Borobudur cultural landscape, since 2004, the International Field School of Borobudur Cultural Landscape Heritage Conservation (shortly named Borobudur Field School/BFS) has been annually organized by the Center for Heritage Conservation, Department of Architecture and Planning, Gadjah Mada University (UGM) in collaboration with Kanki Laboratory for Architecture and Human Environmental Planning, Graduate School of Urban Environmental Engineering, Kyoto University, Japan; Miyagawa Seminar, Dept. of Environmental System, Wakayama University, Japan; and Jogja Heritage Society. 

Every year, each BFS has emphasized on specific implementing techniques of cultural landscape conservation, including enhancing participants’ skill on the inventory, documentation and presentation some unique villages surrounding Borobudur Temple which are ignored in the Borobudur Temple conservation and development (1st BFS); developing village design guidelines (2nd BFS); emphasizing on the formulation of village design guidelines (3rd BFS); emphasizing on the various principles and issues on the regional context of Borobudur conservation planning (4th BFS); deeply learn various principles and issues on regional conservation planning of Borobudur (5th BFS); and emphasizing on participants’ skill in implementing techniques of saujana heritage conservation in the context of Borobudur as a National Strategic Area (6th BFS).

Those abovementioned programs have exhibited that each program had each own topic from micro to macro scale, from village to regional context. However, the focal point of Borobudur saujana heritage learning process has been the local community initiatives. Heritage conservation is likely a cultural movement. The involvement of the local community is an important aspect in resolving conservation through a bottom-up planning approach and support people as the center of conservation management. This year is marked as the Indonesian Heritage Year 2013 with the theme of “Heritage for Community Welfare”. The Seventh Borobudur Field School is, therefore, will focus on describing saujana (cultural landscape) heritage from the viewpoint of the local communities’ initiatives and to deeply discuss on the new academic idea of ‘Dynamic Authenticity’ and ‘Evolutive Conservation’ generated from those initiatives.

OBJECTIVES
The objectives of the Field School program in general are:
  • To give participants a comprehension on conservation and management of saujana (cultural landscape), including historical buildings, setting and culture system, living culture and other natural environment components and its position of temples compounds as World Cultural Heritage Sites and its area as National Strategic Area.
  • To give participants understanding on local communities’ initiatives in conserving and managing their environment.
  • To enhance participant skill in implementing concepts, methods, conservation process and landscape management in the actual cases.
  • To enhance participant interest in saujana conservation.
  • To give participants experience in doing a research on saujana conservation directly in the field.
The objective of Field School program in a specific theme is emphasized on enhancing participants’ skill in critically understanding the local community initiatives and implementing techniques of rural saujana heritage conservation, including inventory, documentation, analysis, formulating village design guidelines, and presentation of a particular village area in Borobudur.

TIME AND VENUE
  • The program is organized for 7 days (September 4-10, 2013) in Yogyakarta as well as Borobudur area, Magelang Regency, Central Java. 
  • Participants will depart together from Gadjah Mada University, Yogyakarta to Borobudur on September 4, 2013. 
  • During the program, participants will stay in the modest accommodation in Yogyakarta and home-stays in Candirejo Village, Borobudur Sub-District.
ACTIVITY PROGRAM
In the Seventh International Field School on Borobudur Saujana Heritage, participants will experience fun learning activities, as follow:

PARTICIPANTS
The International Field School is limited to 25 participants, they are:
  1. Students from Indonesian or overseas universities who have concerns on cultural landscape heritage conservation.
  2. Lecturers, researchers from Indonesia or overseas universities with interdisciplinary sciences related to the program topic
  3. Parties who have concerns on cultural landscape heritage conservation (individuals, government, cultural and heritage associations, environmental associations, tourism experts, etc).
FACILITATORS
  1. Prof. DR. Kiyoko Kanki, Kanki Laboratory, Architecture and Human Environmental Planning, Graduate School of Urban, Environmental Engineering, Kyoto University, Japan
  2. DR. Ir. Laretna T. Adishakti, M.Arch, Center for Heritage Conservation, Dept. of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, UGM
  3. DR. Ir. Dwita Hadi Rahmi, M.A, Center for Heritage Conservation, Dept. of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, UGM
  4. Ir. Titi Handayani, M.Arch, Jogja Heritage Society
  5. DR. Amiluhur Soeroso, SE., MM., M.Si, Center for Heritage Conservation, Dept. of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, UGM
  6. DR. Titin F. Irmawan, ST., MEng., Indonesian Heritage Trust
  7. Jack Priyatna, Jaringan Kerja Kepariwisataan Borobudur
FACILITIES
  1. Modest accommodation (homestay), meals and drinks during the program in Borobudur (September 4-9, 2013 – 6 days);
  2. Modest accommodation on September 3, 2013, 2013 in Yogyakarta (1days);
  3. Meals during the program
  4. Transportation, Yogyakarta-Borobudur – Borobudur-Yogyakarta and during the program in Borobudur;
  5. Program materials
FACILITES NOT INCLUDED
  1. Transportation of participants to Yogyakarta from original country/city
  2. Passport and visa arrangements
  3. Health insurance
  4. Additional field trip/heritage trail (post summer school) in Yogyakarta
  5. Accommodation in Yogyakarta outside the BSF program
  6. Personal expenses and equipments during the program
PROGRAM OPTIONAL
The organizer may organize additional heritage tours upon requested, but the fee is not included in Borobudur Field School registration fee, such as:
  • Mount Merapi area post-eruption, 
  • Jeron Beteng (Inside the Wall) Heritage Trail, 
  • Kotagede Heritage Trail, 
  • Imogiri & Batik Heritage Trail
REGISTRATION AND FEE
Participants of the International Field School may register to: 

Center for Heritage Conservation, Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Sekip Yogyakarta, Indonesia. Telp. 62 274 544910. Fax: 62 274 580852
  • Registration to the Organizing Committee not later than June 30, 2013
  • Confirmation of participation by July 15, 2013
  • Registration fee USD 600 for general public/scholar and USD 500 for students. Registration fee can be transferred to Bank Account: Yeny Paulina Leibo, BNI 46 Branch UGM Yogyakarta, Indonesia, Number 0134104532
  • Contact Person: Sinta Carolina (she_jogja@yahoo.co)
ABOUT
  1. Center for Heritage Concervation (CHC) | Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Indonesia.
  2. Kanki Laboratory | Graduate School of Architecture and Architectural Engineering, Faculty of Engineering, Kyoto University, Japan, Chairperson of Sub-committee for Rural Cultural Landscape, Committee for Rural Planning, Architectural Institute of Japan.
  3. Jogja Heritage Society (JHS) | a local NGO which focuses on cultural heritage ini Jogja (Yogyakarta) Province, Indonesia.
Download the pdf. version of this information here.

Source: http://tahunpusaka2013.indonesianheritage.info/kalender/icalrepeat.detail/2013/09/04/72/-/borobudur-7th-international-field-school-on-borobudur-saujana-heritage.html

Sunday, June 2, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 6:49:00 PM | No comments

Dari Boncengan Vespa hingga Pahlawan Aceh

Obrolan absurd sore ini di Jogja Nasional Museum (JNM) Yogyakarta. Marco Kusumawijaya, Elanto W, Antariksa, dan aku.

Absurd I:
Pa Marc: Jadi ya tanggal 5 ke Borobudur.
AZ: Siap, Pak. Yang diobrolin apa aja?
bla bla bla...
AZ: Eh saya kapan dibonceng naik vespa barunya Pa Marco?
Pa Marc: Ya hayuk, ke mana?
AZ: Ya ke mana ajalah, asal gak ke Borobudur. Pegel!
Pa Marc: Saya kalo naik vespa boncengnya kudu meluk. Itu makanya saya beli vespa, biar gak meluk Antariksa terus.
AZ: Hahaha.
Antariksa: Makanya aku lega, kan nemplok tuh, gimana lah kata orang kalau lihat aku dipeluk-peluk Marco terus.
Pa Marc: ...dan aku kalo meluk sampe geser-geser ke depan.
Antariksa: Aku malah sambil nyetir berdiri
Hahahaha...

Absurd II:
Elan: Itali bikin Vespa kan memang untuk orang pacaran.
Antariksa: Makanya dilarang boncengan ngangkang di Aceh.
Pa Marc: Apa yang dibonceng bikin gaya aneh-aneh seperti foto yang beredar itu...

Absurd III:

Pa Marc: Laki-laki Aceh berarti lemah, ya? Gampang tergoda begitu...
AZ: Makanya pahlawannya perempuan...
Antariksa: Iya, itu Cut Nyak Dien...
Pa Marc: Tapi Cut Nyak Dien ikut perang karena terpaksa, gantiin suaminya. Yang benar-benar taangguh itu pahlawan perempuan yang panglima perang Samudra Pasai..
Antariksa: Laksamana Malahayati!

Gambar:
  1. Faith Freedom. Aturan di Lhokseumawe ini sempat(meski keberadaan ikon sign ini aku tak yakin).
  2. Jakarta Magazine
Oh ya, jadi Gugling tentang "pahlawan perempuan Aceh". Memang hebat-hebat, deh! Coba cek tautan ini. Begini-begini, aku pernah menjadi perempuan yang tumbuh di Aceh, SEMBILAN tahun! *trus kenapa?*

Mlekom,

AZ

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata