Tuesday, July 21, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 5:13:00 PM | No comments

Lebaran Tanpa Opor, Tanpa Sungkem, Tanpa Kastengel


Kami sekeluarga nggak ada yang asli Yogya. Kami memilih hidup di Yogya, dengan segala kenyamanan dan ketidaknyamanannya (kini). Selain memiliki KTP Yogya, kami juga mudik dan berlebaran di Yogya.

Meski berlebaran di Yogya, kami tidak membuat Kupat Opor. Kami buat Lontong Medan, menu utama yang harkatnya sepantaran dengan Ketupat Opor, meski varian pendampingnya lebih beragam. Kami juga nggak punya kastengel, sus kering dan astor (choco sticks) dalam toples kue lebaran, sebagaimana warga Yogya kebanyakan. Kami bikin kue-kue yang sama dengan warga Yogya lainnya, hanya tanpa tiga varian tadi. Oh ya, kami menyebutnya kue, kue kering, bukan roti atau roti kering sebagaimana sebutan orang Yogya.

Kami tidak punya agenda sungkem, hanya cium tangan dan pika/piki ke orang yang lebih tua sambil meminta maaf. Kami tidak punya tradisi seragam lebaran lalu kemudian foto bersama, hanya pakai baju terbaik yang model dan warnanya bisa tabrak lari satu sama lain. Laki-laki pakai teluk belanga (koko) dengan sarung, perempuan pakai baju terusan atau kurung dengan kain tenun untuk bawahan plus kerudung.

Di Sumatra, kami berlebaran bisa tiga hari tiga malam--bahkan lebih lama, sibuk berkunjung ke sanak famili dan handai taulan. Di Yogya, kami hanya bertemu dengan penduduk sekitar di masjid usai shalat ied. Masjid di lingkungan kami bikin agenda halal bil halal dua jam setelah shalat ied, pesertanya seluruh warga setempat. Sebab sudah saling bermaafan, sesudahnya tak ada kunjungan ke rumah-rumah tetangga.

Bedanya lebaran di sana dengan di sini: nggak banyak cuci piring, sebab nggak banyak tamu. Tamu bisa dihitung dengan jari-jari di kedua tangan: teman kantor papa dua keluarga, teman kantor mama satu keluarga, teman perkumpulan satu sampai dua keluarga, anak teman papa yang kebetulan beristri orang Yogya satu keluarga, tetangga yang tiap natal kami datangi rumahnya satu keluarga.

Bertamu ke rumah orang? Hanya Papa dan Mama ke rumah bekas atasan Papa. Anak-anak pada ngapain? Puas-puasin makan Lontong Medan (yang sangat jarang keluar dari dapur Mama dalam versi lengkap) dan... tidur!

Maka nikmat Yogya mana lagi yang kau dustakan?

Mlekom,
AZ
Posted by adrianizulivan Posted on 12:03:00 AM | No comments

Menjembatani Pusaka Pengetahuan

Tersebutlah Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu Purba. Demi meminang Putri Tiongkok, ia membuat sebuah kapal untuk berlayar ke negeri sang pujaan hati. Setelah berhasil meminang sang istri, Sawerigading kembali ke tanah airnya. Ketika akan memasuki perairan Luwu, kapal diterjang ombak dan terdampar di Desa Ara, Desa Tanah Lemo dan Desa Bira. Warga ketiga desa tersebut kemudian merakit perahu yang terbelah tiga tersebut, lalu menamainya Pinisi.  Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira memasang tujuh layar.

Kawasan Luwu Purba kini, diyakini sebagai Sulawesi Selatan. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, kapal Pinisi pertama dibuat pada abad ke 14. Pinisi adalah kapal layar tradisional asal suku Bugis dan Makassar yang terbuat dari kayu. Mayoritas pembuatnya kini berasal dari Desa Bira Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. 
Pinisi merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau[1]. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan dua kalimat syahadat dan tujuah buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar[2] dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia. [Wikipedia]

Desa Bira berjarak lima jam perjalanan dari ibukota Sulsel, Makassar. Ini adalah wilayah dengan pemandangan laut berair biru dan pantai berpasir putih. Di salah satu pinggir pantai inilah para ahli pembuat Pinisi tinggal. Jauhnya jarak dari ibukota provinsi ke sentra pembuatan Pinisi tersebut, menjadikan minimnya kesempatan bagi masyarakat untuk belajar tentang Pinisi. Untuk itu, sejumlah masyarakat Makassar mencoba 'memindahkan' rangkaian proses pembuatan sebuah Pinisi ke pusat kota.
Pinisi dibuat di ujung sana.
Proses pembuatan kapal yang dinamai "Pinisi Pusaka Nusantara" ini ditempatkan di garis pantai yang terletak di Tanjung Pandang, Anjungan Pantai Losari. Lokasinya yang tepat berada di seberang Benteng Fort Rotterdam ini, jelas memudahkan masyarakat untuk berkunjung dan melihat proses pembuatannyaYayasan Makassar Skalia adalah inisiator dari program tersebut, yang proses pembuatannya kemudian dilanjutkan oleh perusahaan KitaJi Pusaka Mandiri.

"Nenek Moyangku Seorang Pelaut" mungkin lagu populer sejak kita masih kanak-kanak. Namun apakah kita benar-benar memahami begitu besarnya pengaruh dunia maritim nusantara terhadap sejarah dunia di masa lalu? Phinisi sebagai salah satu alat yang mendukung kejayaan itu, perlu juga untuk dipahami. 
Mulyawan Galib
"Jangankan dari luar Sulsel, orang Makassar saja belum tentu pernah melihat pembuatan Pinisi di Bira," kata Mulyawan Galib dari Documentation and Publishing proyek ini. "Logo pemerintahan Kota Makassar bergambar Phinisi, namun banyak orang Makassar yang tidak pernah melihat Pinisi, maka inilah kami hadirkan kapal ini," lanjutnya. Bahkan logo Kota Makassar ini memiliki semboyan yang snagat berbau maritim, yaitu "Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai".


Kekaguman pertamaku pada kekuatan maritim nusantara muncul ketika mengunjungi Museum Samudra Raksa di kawasan Candi Borobudur Magelang, awal 2013 lalu. Museum ini menyimpan replika kapal yang dibuat berdasar gambar relief candi yang terdapat di sejumlah panel. Di nusantara, kapal layar berbahan kayu yang kemudian disebut dengan Kapal Borobudur itu, dibuat di abad ke-7. Dinasti Sailendra dan Kemaharajaan bahari Sriwijaya yang menguasai perairan Nusantara di abad ke-7 hingga ke-13, juga menggunakannya.
Pekerja siapkan kantung pasir untuk mudahkan peluncuran kapal ke laut.
Proyek Pinisi Pusaka Nusantara berjalan sejak awal Maret 2015 dan direncakan akan turun ke laut pada pertengahan Agustus 2015. Kapal diturunkan ke laut untuk pemasangan layar. Layar tak dapat dipasang di pantai/darat, sebab perlu mengetahui kekuatan angin. Proses penarikan kapal ke laut ini menjadi salah satu rangkaian acara dari "Pesta Budaya Sulawesi Selatan - Sulawesi Barat" yang akan dilaksanakan pada 14-15 Agustus 2015 mendatang.
Mengintip laut.
Nantinya, Pinisi ini akan menjadi kapal komersil yang mengangkut wisatawan. Jika ingin bermalam di pulau seberang, masyarakat juga akan bisa menyewanya. Salah satu atraksi menarik di atas kapal adalah menikmati makan romantis di anjungan kapal. Manajemen sudah mendapat tawaran dari salah satu restoran terkenal di Makassar, untuk menyajikan makanan dalam perjalanan wisata.

Sebagai dukungan terhadap pendidikan, kapal ini akan mengangkut anak sekolah menyeberang pulau-pulau terluar Makassar secara gratis, lalu kembali lagi ke Losari. "Agar anak-anak tahu rasanya naik Pinisi dan memahami sejarhnya," jelas Mulyawan. Selain itu, kapal yang memiliki perpustakaan ini akan membawa buku untuk dibaca oleh anak-anak di pulau seberang.
Pinisi yang dibangun ini hanya merupakan miniatur. Pinisi asli jauh lebih besar, membuatnya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kapal replika ini saja diprediksi akan menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 miliar. Dana sebanyak itu diperoleh dari sumbangan masyarakat Makassar. "Sejumlah tokoh penting Makassar menyumbang kapal ini, seperti pengusaha, pejabat, dan masyarakat umum," terang Mulyawan.
Ruang kendali.
Dapur.
Pinisi replika ini memiliki sejumlah ruang di bagian gladag, yaitu ruang kemudi, dapur dan kamar-kamar. Kapal ini digarap oleh belasan pekerja yang semuanya berasal dari Bira. Yang menarik dari pembuatan ini adalah usia pekerja yang masih muda, rata-rata 20-30an tahun. Pekerja temuda berusia belasan, sedangkan tertua 40an tahun.
Para pekerja ini adalah ahli pembuatan Pinisi yang memperoleh pengetahuannya secara turun-temurun. Membuat Pinisi merupakan profesi keseharian mereka. Jika tidak membuat kapal di Bira, mereka mungkin sedang dikontrak untuk membuat kapal di daerah lain, dari Maluku hingga Sumatra. Mereka hidup berbulan-bulan di daerah lain untuk membangun kapal.
Di masa lalu, Pinisi dibuat di gunung, mendekat ke sumber bahan baku, yaitu kayu bitti yang banyak terdapat di Kabupaten Bone dan Kabupaten Sinjay, Sulsel. Tak adanya angkutan (di masa kini seperti truk) yang dapat membawa bahan baku ke pinggir pantai, menjadi alasan. "Waktu kecil saya tanya ke mana kakek. Nenek bilang lagi membuat perahu. Saya cari ke pantai tak ada, ternyata memang membuatnya di gunung," cerita Mulyawan.

Begitu siap melaut, kapal akan diturunkan ke pantai, yang konon dengan menggunakan gelondongan kayu yang disusun sebagai roda. Cerita lain mengisahkan bahwa kapal yang dibuat di gunung berbentuk knock down, sehingga bisa lebih mudah diangkut. 
Lambung kapal.
Meski demikian, mengangkut kayu di masa itu bukan perkara mudah. Kayu-kayu pembentuk kapal merupakan kayu kualitas tinggi, yang bahannya tentu sangat keras dan berat. Kayu ulin adalah salah satu bahan utama yang sangat kuat dan tebal. Kokohnya kayu ini membuatnya sering disebut sebagai kayu besi. Ulin didatangkan dari Kabupaten Buton, Kendari, Sulawesi Tenggara.


Irma,aku dan Icha, ngobrol dengan Pak Mulyawan.
Mengingat minimnya catatan tentang Pinisi, manajemen akan membukukan proses pembuatan kapal ini. Harapannya, buku tersebut akan menjadi catatan pembelajaran bagi generasi mendatang. Sepertinya ini pasti akan menjadi salah satu buku paling penting dalam sejarah nusantara. Kita tunggu saja!

Hingga Agustus nanti, masyarakat dapat menyaksikan proses pembuatan yang mengikuti kaidah tradisi ini. Sebagai penanda dimulainya pembuatan kapal, pemerintah setempat telah melaksanakan annarak kale biseang, upacara pemotongan lunas perahu. Kain putih, ayam jantan, pisang panjang, dan dupa ikut menjadi pelengkap upacara.

Sejak kecil, Papaku bilang bahwa aku punya darah Bugis dari nenek Mama. Meski aku hydrophobia dengan air yang banyak (sungai, laut, dll), mari nyanyikan lagi lagu itu...


nenek moyangku seorang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b'rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai

Pembuatan Kapal Pusaka Pinisi Nusantara ini, mestinya menjadi goresan penting dalam sejarah pusaka maritim Indonesia. Gerakan ini akan mampu menjembatani pusaka tak raga berupa pengetahuan, tentang pembuatan kapal Pinisi. Menjembatani antara pengetahuan manusia di masa sekarang dengan masa dimana Pinisi pernah mengantarkan kejayaan nusantara. Ah, aku suka penggunaan kata "pusaka" dalam penamaan proyek ini!
Salah satu karya seni.
Replika Pinisi.
Selain melihat proses pembuat kapal, pengunjung dapat menyaksikan sejumlah karya seni tentang kapal Pinisi di sekretariat panitia yang terletak di samping kapal. Mari menjadi saksi sejarah kejayaan maritim Indonesia! 

Foto: Adriani Zulivan dan Icha Marissa.

Mlekom,
AZ

Saturday, July 18, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 1:18:00 AM | No comments

Traveling, Launching dan -ing -ing Lainnya...

Aku yang bahasa Inggrisnya sangat terbatas ini, lebih suka nyebut mashed daripada penyet ketika menjelaskan kentang kukus yang kemudian dihancurin. Atau CC (credit card) bukan KK (kartu kredit). Juga native speaker, concern, co-pas dan masih banyak lagi. Apalagi istilah-istilah dari media sosial: 
  • Aku malas nge-add kamu di Facebook.
  • Nggak sengaja ke-delete.
  • Akun aku di-folback yaaa...
  • Sudah sent?
  • Approve-in request pertemananku, donk!
  • Info harganya aku inbox ya!
Jadi ya enggak usah heran jika banyak travel blogger yang bahasa Inggrisnya memang canggih-canggih itu, pada menggunakan kata traveling untuk bepergian. Bahkan ada istilah bahasa gado-gado seperti ngetrip yang diambil dari kata Indonesia tak baku nge- ditambah kata bahasa Inggris trip.

Papaku suka ngulang-ulang kata yang dikeluarkan Presiden SBY yang sangat suka menggunakan dwibahasa dalam satu kalimat. Ngulang-ngulangnya ngejek gitu. Dulu jaman kuis "Family 100" jadi hiburan menarik keluarga, Papa suka ngulang-ulang bahasa sok nginggris para seleb yang jadi peserta kuis. Ngulang-ngulangnya ngejek juga sih. Sebabnya begini:

Sony Tulung (presenter): Apa kegiatan Anda saat ini?
Artis (lupa siapa): Ngurus baby, masih nyanyi juga...
Papa: Memangnya nggak bisa bilang bayi aja ya?

Kantorku yang berpusat di negara berbahasa Inggris itu, selalu menggunakan kata launching untuk kegiatannya; selain mentoring, skill update, workshop, talkshow dan masih banyak lagi. Jika hanya digunakan untuk kegiatan internal, kupikir sih masih nggak masalah, seperti compensation leave, staff meeting, dll. Itu menjadi masalah (setidaknya di mataku ketika membaca spanduk, poster, dst) ketika digunakan untuk berurusan dengan masyarakat.

Iya sih aku yakin bahwa seluruh warga Indonesia yang melek internet tahu arti traveling ataupun launching, meski mereka tak pintar berbahasa Inggris. Hanya saja, jika kedua kata tersebut dimasukkan dalam tulisan berbahasa Indonesia tanpa format italic, kenikmatan membacaku seakan terusik. Memang ketika dilafalkan (oral), efeknya tak semengganggu (ini bahasa apa?) tertulis sih.

Tapi ya gegara saking semua orang tahu arti launching, banyak sekali orang yang menulisnya dengan kata misspell menjadi lounching. Sumpah, aku nggak mengada-ada.

Di sisi lain, beberapa teman secara serius menjadi polisi grammar bahasa Indonesia. Mereka 'mengutuk' orang Indonesia yang menggunakan rumus 5W+1H yang semestinya ASDIKAMBA (apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, bagaimana; atau ada pula yang menyebutnya ADIKSIMBA)--istilah yang nggak pernah kudengar selama empat tahun belajar jurnalistik. [Trims Mbak Wiji sudah menjelaskan di tengah malam ini]

Demikian. 

Mengapa kalian menulis kata pejalan dengan traveler, berjalan-jalan dengan traveling, dan peluncuran dengan launching? Serta kata berakhiran -ing -ing lainnya yang tak diserap, padahal ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia.

Mo nanya gitu aja sih :)

Disclaimer:
Saat menulis ini, di otakku tertulis begini:
  • Istilah travel blogger apakah boleh diganti dengan penulis blog perjalanan? Ya, sepertinya kata blog dan blogger belum ada terjemahannya.
  • Istilah italic bisa diganti dengan garis miring, kan? 
  • Misspell bisa menjadi kata yang tidak tepat
  • Grammar menjadi tata bahasa (sumpah barusan klik translator untuk tahu terjemahan ini). 
  • Translator menjadi penerjemah
  • Disclaimer apa terjemahannya?
Gambar yang nggak jelas maksudnya itu, didapat di sini. Oh ya, ini ada kumpulan tulisan Lambertus Hurek tentang bahasa yang sangat menarik dan penting, setidaknya buatku yang tak cerdas berbahasa ini.

Mlekom,
AZ

Thursday, July 16, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 8:47:00 PM | No comments

Selamat Idul Fitri 1436 H

Adek, bikinin kartu lebaran ya! kata Papa. Tujuh menit kemudian jadilah gambar ini... meski desainnya estede banget yak!

Tadinya aku kasih ucapan ini: Bagimu selamat lebaran, dari kami keluarga Zulivan. Sama Papa diganti jadi ucapan estede dengan tahun hijriah dan maaf-maafan itu. Sekaku judul tulisan ini. Yaudahlahya...

Ini foto Idul Adha tujuh tahun lalu (jadi, kami punya ritual foto keluarga kalau Idul Adha). Setelah disebar, banyak yang nanya ini foto tahun berapa, pasti bingung kok 'bentuknya' beda. Iya iya, ini jaman aku masih tirus :p

Oh ya, asyik lho bikin desain ucapan begini. Balas ucapan (apalagi di grup WA), jadi simpel banget!

Selamat takbiran! Aku tadi bingung mau nulis cerita apa untuk Lebaran ini :)

Mlekom,
AZ

Saturday, July 11, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 9:36:00 AM | No comments

Mengajarkan Hal Salah


Seorang anak usia TK selesai makan semacam cilok, lalu tanya ibunya buang di mana sampah plastiknya. Si ibu bilang "buang aja di sini" nunjuk tanah di bawah kaki mereka.

Anaknya diam karena aku pelototin. Sambil megang ibunya, dalam diam dia bertanya buang di mana. Si ibu yang tidak melihatku, ambil plastik di tangan anaknya lalu lempar ke tanah di depan mereka. Bersama sejumlah tisu bekas dari tangannya.

Aku kutip semua sampah mereka sambil bilang ke si anak, "lain kali buang sampah di sini ya dek, kasihan kalau candinya kotor", sambil gelontorin sampah2 merek ke dalam tempat sampah yang jaraknya cuma selangkah dari tempat mereka duduk.

Wajah si ibu antara marah dan malu, lalu masuk ke mobil. Ini di parkiran Borobudur.

Sedih lihat orangtua yang mengajarkan hal salah kepada anaknya...

Gambar diambil dari sini.

Mlekom,
AZ

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata