Friday, May 23, 2008

Posted by adriani zulivan Posted on 11:40:00 PM | No comments

Urusan Perut, Naluri Lahir


Oleh Putra Anggara Zulivan

Seorang bayi keluar dari rahim ibunya. Menangis berteriak, lalu menyusuri tubuh sang ibu untuk mencari air susu ibu alias ASI, makanan pertamanya. Kemudian diam tenteram. Mungkin itulah gambaran nurani lahiriah manusia: mencari makan.

Tiap manusia memiliki early warning system yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya. Sistem tersebut aktif sejak lahir dengan "menyuruh" bayi berteriak lewat tangisan sebagai tanda bahwa ia lapar.

Tidak hanya bayi, manusia dewasa yang sudah berpikir pun melakukan hal sama ketika lapar. Mereka "berteriak". Termasuk ketika rencana kenaikan harga bahan bakar minyak berdengung lagi. Dengan pikirannya, manusia-manusia dewasa itu berteriak agar tetap bisa makan.

Teriakan-teriakan tersebut termanifestasi lewat berbagai aksi demonstrasi. Inilah bentuk lain bekerjanya early warning system di tubuh. Maka, tak benar hipotesis berbagai teori politik yang menyebutkan bahwa teriakan-teriakan itu ditunggangi kepentingan lain yang bukan berasal dari hati nurani rakyat.

Sebagai naluri alamiah, manusia tak perlu dikomandoi untuk berteriak lapar, sebab tubuh sudah terlebih dahulu memberi tanda bahwa mereka tak akan lagi bisa makan akibat ketidakmampuan membeli bahan makanan sebagai efek korelasi kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap kenaikan harga bahan pokok.

Karena menyakitkan hati masyarakat, perlu dipertanyakan dasar tuduhan bahwa berbagai aksi demonstrasi penolakan ditunggangi kepentingan. Dalam sakit hatinya, masyarakat bisa saja balik menuduh bahwa penguasa memiliki skenario besar di balik kebijakan tersebut.

Misalnya mencurigai adanya unsur penyuapan dalam pemberian bantuan langsung tunai (BLT). Hal ini karena BLT yang plus-plus bahan kebutuhan pokok tersebut bisa mencuri hati rakyat miskin agar kembali memilih mereka yang sekarang duduk di pemerintahan. Jika dituduh seperti itu, tidakkah sakit hati mereka-para pembuat kebijakan di sana?

Kekhawatiran itu bisa timbul ketika kebijakan bagi-bagi uang dilaksanakan di saat para pemimpin sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti pemilu yang tinggal setahun lagi. Memang benar bahwa minyak dunia (kebetulan) sekarang sedang naik-naiknya. Namun, tak adakah formula alternatif demi perut puluhan juta jiwa rakyat miskin?

Soal perut bisa merambah berbagai persoalan lain dalam perjalanan bangsa ke depan. Jika pemerintah beranggapan bahwa ketidakmampuan seorang pemulung sampah membeli susu bayi tak berkontribusi terhadap jalannya negara, inilah saatnya bagi kita, masyarakat, untuk berpikir ulang mengenai harga suara kita saat memilih mereka sebagai representasi kita pada pemilu yang sudah lalu dan nanti.

Di luar argumen teoretis mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak, lewat kebijakan tersebut, pemerintah menasbihkan naluri lahiriah manusia. Tak jadi soal jika kebijakan tersebut diterapkan setelah urusan perut rakyat terselesaikan, sebab bisa jadi satu dari bayi-bayi yang selama ini tak mampu dibelikan susu oleh orangtuanya menjadi petinggi di negeri ini. Siapa tahu!

PUTRA ANGGARA ZULIVAN Mahasiswa Keuangan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta



*
Dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik Akademia - Forum, pada Jumat, 23 Mei 2008. Lihat tulisan asli di sini.

Tuesday, May 13, 2008

Posted by adriani zulivan Posted on 6:46:00 PM | No comments

AdDal Pergi, Fam Juga

Hwaa, tadi harus ketemu Pak Adam, my ultimate lecturer. Terpaksa d, gak liat AbDal berangkat, balik ke alamnya.

Oia, kan ceritanya aku mulai nulis skripsi tengah Februari lalu, terus akhir Feb (tanggal 20-an) langsung masukin ke dosennya. Dia bilang OK, dan suruh langsung nerusin (itu udah BAB III): "Wis apik ngono, ok. Wis, teruske wae!" begitu katanya. Harusnya kan sudah langsung penelitian, tuh. tapi uangeleee... Sulit! karena belum bisa dapet izin resmi karena emang belum resmi (selama itu bimbingan informal). jadi yah sulit karena tempat2 punya resiko tingkat tinggi (huiiih, bahasanya!).
Nah, untuk diresmikan itu harus nunggu berbagai kelengkapan jadi: transkrip nilai (nunggunya 3 hari karena kepotong hari libur), KTM (selama ini belom punya yang GAMA CARD itu), FC KRS, dan buat abstraksi skripsi. Lumayan ribet. Ditambah urusan bolak-balik Jakarta-Jogja. Ditambah lg malesnya nunggu ngurus keperluan di kampus, etc.

Tapi seminggu ato dua minggu kemudian jadi. so tinggal minta TTD dari dosen YBS + dosen wali. dan itu baru kejadian hari ini, saudara2! Bayangkeun....
Tapi sumpah, rasanya lega bgt, meskipun sempet H2C gitu.
Lega karena rasanya udah pantas karena udah resmi sbg mahasiswi yang sdg dalam bimbingan, dan rencana lulus serasa udah di tangan ajah. amien...


Oia, ni barusan nganter sekeluarga pada balik ke Jkt. mereka mau liburan sekalian jemput PaJul. Terus balik Jogja Kamis. Yah, alone (not lonely) for some day, lah. Mungkin jadi bs fokus ngerjain penelitian.

Hwaa, Im already mizin u, fam!

Saturday, May 10, 2008

Posted by adriani zulivan Posted on 2:09:00 PM | No comments

Menikah 2,5 Juta!

Menikah dengan Rp 2,5 juta!
Mungkin enggak, sih?

Berapa harga perkawinan yang pernah Anda tahu? Humm, maksud saya bukan harga yang itu (karena kalo emang itu ya enggak2 aja, deh! --> emang bisa dinilai, gitu?), tapi harga rupiah yang harus dikeluarkan pengantin untuk menyelenggarakan pesta perkawinan?

Selama ini aku tahu melalui berbagai iklan penyedia jasa pesta. di dalam lift sejumlah hotel disebut 25 juta untuk 50 orang (ini hotel bintang tiga di Jogja), Rp 12.000 (sebuah katering terkenal di Jogja yang mnyediakan jasa dengan segala ketersediaan dana), Rp 32 juta (di sebuah gedung sewaan di bilangan Jakarta Pusat yang cukup untuk 100 orang), dan seterusnya.
Dari sejumlah harga itu tidak ada yang kurang dari Rp 10 juta. mungkin anda setuju. Yaiyalah, hare gineh!

Nah, hari minggu lalu keluargaku di Jogja diundang oleh seorang pekerja bangunan yang mengerjakan bangunan rumah kami (selain juga sering dipanggil untuk perbaikan/perombakan rumah dan urusan bangun-bangunan lainnya). untuk menghadiri pesta pernikahannya.

Mas Sukris, itu namanya. Keluargaku, terutama Mama, sudah sangat dekat dengan keluarga Mas Sukris: Ibunya, Kakak-kakaknya (+ ipar), dst. karena Mama sering datang ke rumahnya untuk sekadar maen (JJS) atau ada keperluan meminta bantuan Mas Sukris (karena keluarga itu tidak mempunyai telp/HP).

Nah, pesta itu sangat sederhana. tidak ada gaun pengantin khusus berupa kebaya, meski Mas Sukris tetap mengenakan jas lengkap dengan kopiah.

Begitu datang, kami disuguhi teh panas (di siang bolong --> jam 10 am) yang membuat tenggorokan makin panas meski aroma melatinya luar biasa enak. teh panas diletakkan dalam gelas bening kecil (kalau dalam ilmu ke-pantry-an disebut "gelas belimbing"). sekotak makan ringan juga menjadi suguhan pembuka: arem-arem, sosis solo, dan sebungkus kacang bawang yang semuanya dalam porsi kecil --> sosis mini, arem2 mini. tapi semua enak meski minyak penggorengnya agak enek (kata Mama karena harga minyak goreng mahal bgt sekarang). Fine, than!

Nah, rumah si mempelai berada di dalam gang kecil yang tidak cukup dilewati mobil. sehingga mempelai disambut oleh keluarga di sepanjang gang menuju rumah bak menunggu kedatangan pejabat negara untuk peresmian sebuah madrasah di desa.

kampung itu memang terletak di pedesaan kawasan Bantul. kalau belum pernah, pasti akan cukup sulit mencarinya, karena rumah-rumah di sana tidak memiliki nomor.

kecuali jalan kampung yang sudah aspal. jalan-jalannya masih pasir dan batu. di depan rumah, dan jalan-jalan gang, semua pasir-batu.

Pesta diadakan di halaman rumah orang tua Mas Sukris yang tidak seberapa luasnya. sekitar 10 meter atau kurang x 10 m (+ jalan gang kampung).

di halaman itu dipasang 4 tenda (masing-masing 5 meter). dibawahnya berjajar kursi2 lipat berwarna merah. ad apelaminan yang dibuat di teras rumah Mas Sukris. tanpa panggung, karena bangunan teras/rumah itu sudah lebih tinggi daripada halaman tempat duduk tamu.

seluruh tembok di teras itu dilingkupi dengan kain kilat berwarna biru, ditambah hiasan2 berupa bunga dan pita. pink juga mendominasi. kemudian menghadap halaman diletakkan 6 buah kursi: untuk mempelai dan orangtuanya.

tepat di depan jalan menuju rumah hingga belokan ke arah gang tempat menjemput pengantin diletakkan red carpet ala holiwud ituh.

para pekerja yang menjadi (apa namanya org2 yang sibuk alalu-lalang di pesta? sebutlah) waiter mengenakan batik seragam. waitress memakai kebaya yang juga seragam. kami menebak mereka adalah remaja masjid karena mengenakan kopiah dan jilbab.

maka segala perangkat pesta tersebut: teratak, kursi, pelaminan, gelas, dst adalah milik kampung atau masjid, atau kumpulan perwiridan, atau pengajian, atau apalah. intinya milik bersama.

tapi di kursi2 merah dan meja2 kecil di depan kami tercetak nama yang tidak kami kenal dengan tulisan "Catering" di bawah ikon-nya. maka, "Ooh, berarti sewa!".

Maka kami pun mulai bertanya-tanya: berapa ya, harga sewanya?

Aku teringat pesta seorang sahabatku, Iwien, Desember 2006. Dia adalah seorang yatim piatu. Setamat kuliah dan setelah mendapat pekerjaan dia menikah.

"Aku cuma punya segini, Bude," katanya pada saudara alm ayahnya. segini itu adalah Rp 2,5 juta.

Tahu tidak apa yang didapatnya?
- tiga pasang gaun pengantin
- make up
- pelaminan lengkap
- tenda + kursi plastik
- sesi foto profesional
- seserahan di dalam 6 keranjang
- makanan utama: prasmanan bermenu lengkap
- makanan tambahan: sejumlah gerobak --> sate, bakso, dawet, etc.
- makanan ringan: kue2 tradisional + teh + kopi + sirup


Hebat, bukan? bandingkan dengan bea yang ditawarkan di iklan2 pada umumnya.


Friday, April 25, 2008

Posted by adriani zulivan Posted on 4:04:00 PM | No comments

SKRIPSI to go!

















Ini nih ide skripsinya: transformasi keintiman di ruang-ruang publik Yogyakarta.
Jumat lalu berniat penelitian lagi, tapi ternyata gak dapet surat izin karena gak ketemu sama dosen pembimbung (untuk tandatangan).

jadi mumet bgt, padahal semua kru sudah siap wal afiat (model, cam.man, observer, etc), ditambah lagi dengan bantuan teman-teman dari DEVIANART Jogja (so srry, guys!). Jadi kita cuman nongkrong di Kafetaria Gelanggang untuk ngomongin konsep.

Nah, hari ini, seminggu setelahnya, aku terpaksa bedrest gara2 tabrakan motor. luka lecet, lebam, dan kram sejumlah sendi. Hwaaa...
Soru lagi, guys. Kenapa kudu jumat? soalnya cari momen: jemaah jumatan masjid kampus.

Yasudah, hope next friday.

Anyway, anybody wannabe my model/talent? Come & fun fun with us!

Friday, April 4, 2008

Posted by adriani zulivan Posted on 8:40:00 AM | No comments

Resesi: Amerika, Tempe, dan Kafe


Oleh ADRIANI ZULIVAN

Amerika Serikat di Tepi Jurang Resesi Ekonomi. Begitu headline di media-media internasional. Kondisi ini dikhawatirkan menjadi pemicu resesi global yang dampaknya akan dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Bagi kita, resesi itu akan berdampak besar, terutama di bidang ekspor dan konsumsi. Bila raksasa ekonomi AS mengalami krisis, secara otomatis ekspor Indonesia akan dibatasi. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri yang mengandalkan bahan impor akan melambung harganya, atau kekurangan stok. Untuk mendapat gambaran krisis nanti, tak perlu berpikir jauh mengenai harga saham di kancah perekonomian dunia. Mari memikirkan nasib tempe. Ya, tempe. Makanan yang memiliki banyak penggemar di negeri asalnya, Indonesia, ini akan hilang jika pengusaha kesulitan mendapat kedelai sebab kedelai, bahan baku utama panganan ini, juga diimpor.

Ah, cuma tempe! Jika itu yang ada di pikiran Anda, mari membuka kembali file-file mengenai krisis kedelai. File-file yang bahkan belum ditutup itu mengingatkan kita bagaimana eksistensi produk pertanian yang selama ini tak begitu diacuhkan tiba-tiba menjadi perhatian. Bukan hanya oleh petani, produsen tempe, tukang gorengan, dan orang Jawayang notabene penggemar berat tempemelainkan juga bagi orang-orang yang masuk kategori tidak doyan dan tidak peduli tempe. Tiba-tiba semua file itu merujuk pada tempe. Tukang angkringan menghilangkan lauk oseng-oseng dalam menu nasi kucing makanan sehari- hari kitamahasiswa?

Masih ada nasi kucing lauk sambal teri! Memang, kita tak akan mati hanya karena tak bisa makan tempe. Begitu suara yang tak berpihak pada orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada jenis makanan berposisi kasta terendah dalam kelompok makanan kaya protein itu. Urusan tempe urung usai, kini bahan bakar minyak (BBM). Konversi minyak tanah ke gas, misalnya, membuat sebagian besar masyarakat menjerit. Jika tempe dan minyak tanah tak juga menggugah peduli, mari menakar krisis ini dari perspektif lain. Bagaimana jika dengan alasan efisiensi, krisis itu kemudian membatasi kita untuk berinternet ria di hotspot kampus, jika pada jam tujuh-belas-dua-dua seluruh mal dan kafe ditutup demi kebijakan hemat listrik, atau jika kendaraan kita tak bisa membawa kita wira-wiri untuk gaul dan mejeng sana-sini akibat pembatasan subsidi bensin?

Krisis tempe dan minyak tanah serasa jauh dari kitaanak mudakarena tidak dihadapi sehari-hari: Itu kerjaan ibu-ibu! Akan tetapi, jika menyentuh aktivitas keseharian kita, dari kebutuhan pendidikan (internet untuk mencari bahan kuliah) hingga kebutuhan hiburan (mal, kafe), barulah kalang kabut. Mengapa kalang kabut? Ketidaksiapan menjadi penyebab. Untuk itu, perlu persiapan dini dengan membangun kesadaran diri. Krisis bisa jadi bukan hal baru bagi kita. Sejarah negeri ini baru saja bangkit dari keterpurukan krisis moneter yang masih membekas trauma bagi orang-orang yang 11 tahun lalu sumber penghidupannya terenggut. Itu cakupan lokal. Bagaimana jika krisis global benar- benar terjadi? Penting untuk membangun sense of crisis agar kita siap. Jangan menunggu Amerika Serikat terpuruk. Sudah basi jika mendengungkan Belanda masih jauh karena Amerika yang secara geografis letaknya lebih jauh lagi dari Indonesia itu kini seolah berada di depan mata untuk menghantam perekonomian kita. Maka, bersiaplah! 

ADRIANI ZULIVAN Mahasiswi Ilmu Sosiatri, Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 
Foto Dok. Pribadi
*
Dimuat di Rubrik Akademia - Forum, Harian KOMPAS Edisi Jateng - DIY pada 4 April 2008.
Tautan tulisan ini di KOMPAS, ada di sini.
  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata