Barusan baca linimasa akun Twitter seorang teman:
@budinddharmawan: +1 RT @senirupa: Apa pentingnya sih tinggal di Jakarta? Punya ketergantungan pada macet ya???
Entah kenapa, dua hari lalu aku teringat dengan Balige, sebuah kota kecil di pinggiran Danau Toba. Balige menawarkan pesona kota yang luar biasa indah. Perbukitan, pertanian, perkebunan, dan tentu saja bentang danau yang begitu meggoda mata.
Salah satu hal yang membangkitkan ingatanku pada kota ini adalah perbincangan kami mengenai di mana kami akan menyekolahkan anak-anak kami nanti? Serta-merta, aku menyebutkan Balige, setelah semalaman mempertimbangkannya.
Seorang teman, Dr Yanuar Nugroho, yang tinggal di Manchester Inggris, saat ini sedang merencanakan kepulangannya ke Indonesia. Meski sudah menjadi dosen tetap di Manchester University, beliau benar-benar ingin pulang ke Indonesia.
Ia tidak memilih Jakarta, sebagaimana impian begitu banyak warga Indonesia. Ia menginginkan kota yang tenang. Meski berasal dari Solo, Mas Yan --begitu ia biasa kupanggil-- memilih Jogja sebagai tempat tinggalnya bersama anak-istri yang rencananya akan kembali ke tanah air lima tahun mendatang. Dan ternyata, istri Mas Yan juga asli Jogja :)
Mengapa Jogja? Sebab hanya di Jogja mereka menemukan sekolah yang tidak harus masuk enam hari seminggu. Selama ini di Inggris mereka mendidik kedua putri mereka dengan metode home schooling.
Banyak pertimbangan mengenai hal ini; beban studi siswa yang berat (banyaknya PR dan tugas-tugas sekolah lainnya), keharusan tinggal di sekolah selama 6-8 jam, hingga mininya kesempatan orangtua untuk mendidik sendiri anak-anaknya.
OK, itu alasan Mas Yan dan istri. Alasanku mungkin lebih rumit: Aku menginginkan anak-anak bisa belajar bahasa Inggris tanpa terpaksa --seperti yang terjadi padaku dan ayah mereka--. Aku menginginkan mereka mendapat dasar yang baik dalam urusan agama. Aku juga menginkan agar mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ke-Indonesia-an.
Itu artinya, aku ingin tinggal di daerah yang berbahasa Inggris, sebab bahasa ini sangat bermanfaat. Aku mengalami sendiri bagaimana sulitnya belajar bahasa ketika bahasa itu jarang digunakan dalam keseharian.
Sebagai contoh, aku sedikit-banyak mengerti 6-7 bahasa daerah dari keseharianku ketika masih ikut ayah yang kerja nomaden ke berbagai daerah di Indonesia. Aku tak pernah kursus untuk memahami berbagai bahasa tersebut. Interaksi dengan penduduk setempat --selama minimal dua tahun-- memudahkan upaya tersebut.
Aku ingin anakku mendapat fondasi agama yang baik. Aku sepertinya tidak akan sanggung menanamkan fondasi ini dengan keterbatasan pendidikan agamaku, yang hanya kudapat dalam keseharian keluarga --yang juga tidak agamis (berdasar ukuran pribadiku)-- serta TPA (Taman Pendidikan Quran) semasa kecil.
Aku ingin mereka menjadi pribadi yang tahan godaan dunia, karena sudah dilandasi pendidikan agama tersebut. Menjadikan anak tangguh dengan fondasi agama memang debatable, namun aku merasa itu penting.
Yang terakhir, kuinginkan anak-anakku nanti tahu asal-usul mereka, terkait kebudayaan, suku, daerah, kampung halaman, dan seterusnya. Aku yang hingga saat ini masih bingung jika menyebutkan di mana kampung halamanku ini, tak ingin menggariskan hal sama pada anak-anakku.
Mereka harus sering kuajak ke tempat nenek-moyang kami --meski agak jauh dari mungkin, jika memilih kampung halamanku (juga ayah mereka) sebagai tempat tinggal. Mereka harus bisa berbahasa daerah, jangan sepertiku yang terbata-bata berbahasa ibu dari kebudayaan ayah dan ibuku.
Aku juga inginn mereka mahir memainkan/mempertunjukkan paling tidak satu jenis kesenian tradisional daerah. Entah itu menari, bermain alat musik, dan sebagainya. Memasukkan mereka dalam les-les kesenian tradisional bukan juga pilihan baik ketika mereka samasekali tidak mengenal budaya apa yang akan mereka pelajari nantinya.
Nah, demi mendapatkan semua itu, kira-kira ketiga keinginan itu berbunyi:
@budinddharmawan: +1 RT @senirupa: Apa pentingnya sih tinggal di Jakarta? Punya ketergantungan pada macet ya???
Entah kenapa, dua hari lalu aku teringat dengan Balige, sebuah kota kecil di pinggiran Danau Toba. Balige menawarkan pesona kota yang luar biasa indah. Perbukitan, pertanian, perkebunan, dan tentu saja bentang danau yang begitu meggoda mata.
Salah satu hal yang membangkitkan ingatanku pada kota ini adalah perbincangan kami mengenai di mana kami akan menyekolahkan anak-anak kami nanti? Serta-merta, aku menyebutkan Balige, setelah semalaman mempertimbangkannya.
Seorang teman, Dr Yanuar Nugroho, yang tinggal di Manchester Inggris, saat ini sedang merencanakan kepulangannya ke Indonesia. Meski sudah menjadi dosen tetap di Manchester University, beliau benar-benar ingin pulang ke Indonesia.
Ia tidak memilih Jakarta, sebagaimana impian begitu banyak warga Indonesia. Ia menginginkan kota yang tenang. Meski berasal dari Solo, Mas Yan --begitu ia biasa kupanggil-- memilih Jogja sebagai tempat tinggalnya bersama anak-istri yang rencananya akan kembali ke tanah air lima tahun mendatang. Dan ternyata, istri Mas Yan juga asli Jogja :)
Mengapa Jogja? Sebab hanya di Jogja mereka menemukan sekolah yang tidak harus masuk enam hari seminggu. Selama ini di Inggris mereka mendidik kedua putri mereka dengan metode home schooling.
Banyak pertimbangan mengenai hal ini; beban studi siswa yang berat (banyaknya PR dan tugas-tugas sekolah lainnya), keharusan tinggal di sekolah selama 6-8 jam, hingga mininya kesempatan orangtua untuk mendidik sendiri anak-anaknya.
OK, itu alasan Mas Yan dan istri. Alasanku mungkin lebih rumit: Aku menginginkan anak-anak bisa belajar bahasa Inggris tanpa terpaksa --seperti yang terjadi padaku dan ayah mereka--. Aku menginginkan mereka mendapat dasar yang baik dalam urusan agama. Aku juga menginkan agar mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ke-Indonesia-an.
Itu artinya, aku ingin tinggal di daerah yang berbahasa Inggris, sebab bahasa ini sangat bermanfaat. Aku mengalami sendiri bagaimana sulitnya belajar bahasa ketika bahasa itu jarang digunakan dalam keseharian.
Sebagai contoh, aku sedikit-banyak mengerti 6-7 bahasa daerah dari keseharianku ketika masih ikut ayah yang kerja nomaden ke berbagai daerah di Indonesia. Aku tak pernah kursus untuk memahami berbagai bahasa tersebut. Interaksi dengan penduduk setempat --selama minimal dua tahun-- memudahkan upaya tersebut.
Aku ingin anakku mendapat fondasi agama yang baik. Aku sepertinya tidak akan sanggung menanamkan fondasi ini dengan keterbatasan pendidikan agamaku, yang hanya kudapat dalam keseharian keluarga --yang juga tidak agamis (berdasar ukuran pribadiku)-- serta TPA (Taman Pendidikan Quran) semasa kecil.
Aku ingin mereka menjadi pribadi yang tahan godaan dunia, karena sudah dilandasi pendidikan agama tersebut. Menjadikan anak tangguh dengan fondasi agama memang debatable, namun aku merasa itu penting.
Yang terakhir, kuinginkan anak-anakku nanti tahu asal-usul mereka, terkait kebudayaan, suku, daerah, kampung halaman, dan seterusnya. Aku yang hingga saat ini masih bingung jika menyebutkan di mana kampung halamanku ini, tak ingin menggariskan hal sama pada anak-anakku.
Mereka harus sering kuajak ke tempat nenek-moyang kami --meski agak jauh dari mungkin, jika memilih kampung halamanku (juga ayah mereka) sebagai tempat tinggal. Mereka harus bisa berbahasa daerah, jangan sepertiku yang terbata-bata berbahasa ibu dari kebudayaan ayah dan ibuku.
Aku juga inginn mereka mahir memainkan/mempertunjukkan paling tidak satu jenis kesenian tradisional daerah. Entah itu menari, bermain alat musik, dan sebagainya. Memasukkan mereka dalam les-les kesenian tradisional bukan juga pilihan baik ketika mereka samasekali tidak mengenal budaya apa yang akan mereka pelajari nantinya.
Nah, demi mendapatkan semua itu, kira-kira ketiga keinginan itu berbunyi:
- Kami akan tinggal di salah satu negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya.
- Aku akan memasukkan anak-anakku ke dalam pesantren selama mereka Sekolah Dasar.
- Kami akan tinggal di sebuah daerah yang memiliki budaya yang kental.
- Mungkin mereka lahir ketika ayahnya masih melanjutkan studi di luar negeri, namun setelah itu bukankah ayahnya harus kembali ke tanah air untuk melanjutkan pekerjaannya?
- Melepaskan tanggungjawab orangtua ke guru di usia yang terlalu dini bukankah akan menciptakan banyak hal negatif? Seperti anak yang akan 'jauh' dari orangtua, orangtua yang kehilangan kesempatan untuk mendidik anak, atau bahkan kebencian di anak karena mereka sejak kecil sudah dipaksa mandiri dengan kehidupan ala pesantren?
- Daerah berbudaya kental --seperti masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar-- hanya ada di kota-kota kecil. Celakanya, mayoritas kota kecil di Indonesia tak memiliki infrastruktur yang baik penunjang pendidikan. Belum lagi sulitnya akses transportasi --jika harus menyekolahkan anak di tempat-tempat ini, berarti ayahnya harus sering bolak-balik dengan tidak mudah akibat tak ada lapangan terbang.
Sulit, yah?
Entah mengapa, Balige masuk dalam benakku. Kota kecil itu, meski tak ada pesawat, banyak menerbangkan anak-anak daerahnya untuk bersekolah di ITB, atau paling tidak UGM dan UI. Kusebut "paling tidak", sebab kedua universitas itu biasanya menjadi pilihan terakhir mereka untuk sekolah di Tanah Jawa setelah ITB. Terdengar sombong, yah? Tapi memang begitu adanya!
Orang Batak dikenal sebagai orang-orang yang cerdas. Selain gigih, mereka juga pekerja keras. Di Tanah Batak ini ada dua Sekolah Unggulan, ini sejenis Taruna Nusantara (Magelang, Jawa Tengah) yang terkenal menjadi pondokan dari siswa cerdas se-Indonesia. Kedua Sekolah Plus itu adalah Soposurung (Balige) dan Matauli (Sibolga, Tapanuli Selatan). Di tingkat SD-SMP ada pula seleksi siswa berprestasi dari seluruh sekolah di penjuru kota yang akan digabung ke dalam sebuah kelas yang disebut "SD Plus" atau "SMP Plus", dan seterusnya.
Mereka yang masuk ke sekolah plus-plus ini akan terjamin masuk ke perguruan tinggi bergengsi. Bergengsi, dalam pengertian di negara tercinta ini, adalah perguruan tinggi milik pemerintah yang untuk memperebutkan sebuah bangkunya harus berjuang melawan hingga belasan ribu anak bangsa.
Warga Balige yang menggunakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantarnya ini akan menyulitkan usahaku untuk mengenalkan Bahasa Inggris pada anak-anak. Namun, percaya atau tidak, banyak teman sekolahku di Balige dulu yang jago bahasa Inggris!
Bukan karena les, sebab mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kelas tambahan, namun karena mereka pintar-pintar itu tadi! Ya, pelajaran apapun yang dimasukkan ke dalam otak mereka, sepertinya masuk dan tercerna dengan baik, termasuk pelajaran Bahasa Inggris di sekolah.
Bukan karena les, sebab mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kelas tambahan, namun karena mereka pintar-pintar itu tadi! Ya, pelajaran apapun yang dimasukkan ke dalam otak mereka, sepertinya masuk dan tercerna dengan baik, termasuk pelajaran Bahasa Inggris di sekolah.
Masyarakat Balige, sebagaimana suku Batak lainnya, mayoritas beragama Kristen (Katolik dan Protestan). Namun umat Islam disana mendapat tempat yang baik. Ini akan tetap menjamin kemerdekaan kami untuk beribadah.
Nah, Balige masih sangat erat budayanya. Meski aku dan suami tidak berasal dari Batak Toba, kehebatan anak-anak Batak dalam mencapai cita-citanya dengan cara memanfaatkan setiap kesempatan untuk belajar diantara kesempitan mereka dalam hal perekonomian cukup menjadi alasan untuk menghapus luar negeri dan pesantren dalam daftar pendidikan anakku kelak!
Jika benar-benar ada kesempatan itu, aku akan mencoba membuat semacam sekolah terbuka bagi anak-anak kurang mampu di Balige. Sekolah gratis itu akan terdiri atas dua kelas:
- kelas agama (bagi yang beragama Islam) dengan mengajak ustadz/ah muda yang bersedia digaji kecil
- kelas Bahasa Inggris, dengan mengajak para Sarjana Sastra Inggris yang juga bersedia mengabdi
Dana didapat darimana? Itu yang harus kupikirkan dari sekarang: Merancang sistem pendanaan yang disumberkan dari sumbangan donatur.
Jika begini, urusan anak selesai! Ayahnya gimana, yah?
Mlekom,
AZ
AZ
[20130530.rgd]
pondasi itu ilmu pengetahuan, baru kemudian agama itu nomer kesekian ribu kali setelah logika mampu mengelolanya dengan kejujuran hati dan logika.
ReplyDelete