Judulnya lebay. Namun itulah yang terjadi.
Sejak tiga tahun terakhir, aku menghindari jamu. Dulu aku cukup rutin minum jamu untuk datang bulan. Ini anjuran mamaku agar tidak merasakan nyeri haid. Setidaknya, sekali sebulan aku menegak minuman ini dengan suka hati.
Tiga tahun lalu, suatu pagi, aku beli jamu peras di pasar. Kuminum segera setelah sarapan, seperti orang minum obat yang dianjurkan "setelah makan". Anjuran "diiminum setelah makan" ini ternyata tak berlaku untuk jamu. Aku hanya membuat washtafel penuh air kuning. Muntah.
Inilah awal-mulaku eneq pada jamu, meski hanya aromanya.
*
Minggu (3/06) lalu, kuputuskan untuk membeli jamu setelah melihat penjualnya di depan pasar.
"Bu, buat tambah darah?"
"Kencur-kunir," jawabnya langsung sigap meracik.
"Ini tahan samapi siang, bu?"
"Iya"
Jamu kuletakkan di kulkas, berencana meminumnya tengah hari nanti. Lalu aku sarapan lontong sate ayam madura yang beli di pasar tadi.
Pukul 11. Dua jam setelah sarapan. Kuputuskan untuk meminum jamu. Keluarkan dari kulkas, salin ke dalam gelas. Kuamati warnanya, kucium aromanya.
Kubuka lagi kulkas. Ambil pepaya. Kupas. Potong-potong. Makan pepaya. Satu, dua, tiga potong pepaya. Baui lagi jamu. Tancapkan lagi garpu ke potongan-potongan pepaya. Begitu seterusnya, hingga...
"Gleg!" seteguk kecil jamu lewati tenggorokan tanpa huek. Seteguk kecil lagi. Lalu pepaya. Pepaya. Pepaya. Dan jamu dengan satu teguk besar. Lalu pepaya lagi. Pepaya lagi.
Cukup, pikirku. Sudah seperempat gelas. Kufoto sejoli jamu-pepaya ini. Upload di twitter. Lalu masukkan ke kulkas.
Hari ini, barusan saja kulihat jamu tadi. Masih teronggok manis di kulkas. Okelah, paling tidak, sudah kucoba menggariskan sejarah baruku dalam meminum jamu.
Nah, besok kan libur nih. Mungkin ke pasar lagi, bisa cari jamu lagi...
Mlekom,
AZ