Kakiku dan Plengkung Gading |
Pulang kantor mbecak. EW dan keluargaku tak bisa jemput karena lagi ke luar kota. Pasca bete dengan taksi di depan kantor yang tidak berhenti saat kustop, aku berjalan 200 meter ke perempatan, berharap di sana ada lebih banyak taksi.
Aku mampir ke toko snacks langganan. Beli beberapa bungkus untuk weekend ini. Sambil clingak-clinguk nunggu taksi, kuhiraukan pangilan sejumlah bapak becak. Hingga salah seorang dari mereka menghampiri.
Okelah, kata hatiku. Teringat obrolan dengan EW tentang taksi versus becak.
Aku: Aku lebih milih naik taksi, karena selain lebih murah, lebih cepat sampai.
EW: Tapi tahukah kamu berapa jumlah karbon yang kamu keluarkan untuk sekadar tiba dalam jarak yang tidak terlalu jauh? Lagipula, kamu akan membantu masyarakat kecil.
Sebenarnya, becak, di bawah udara dan kondisi lalin bersahabat, adalah kendaraan favoritku.
Naik becak di Jogja adalah naik jembatan shiratal mustaqim. Ah, lebay banget! Yang benar: Naik becak di Jogja adalah mempersiapkan diri ke alam selanjutnya. Ah, ini juga lebay... Hummm, memang begitu kenyataannya!
Becak adalah moda transportasi yang kebal hukum. Hukum lalulintas, terutama terkait rambu-rambu, seringkali dilanggar. Mana pernah becak berhenti saat lampu merah. Jikapun berhenti, itu hanya sepersekian detik, untuk pelan-pelan meringsek ke barisan terdepan (di zebra cross atau jalur berhenti sepeda), lalu wuzzzzzzzzzzzz ketika lampu NYARIS berubah hijau.
Kami berbincang banyak. Aku jadi tahu tentang ketiga anaknya yang nikah muda karena tidak kuliah. Salah satunya bahkan menikah sangat muda karena pacarnya hamil.
"Jauh juga ya, Mba!" kata Si Bapak sembari mengelap peluh, setelah kubayarkan uang sejumlah kesepakatan kami di awal.
Dari kantorku di Jalan Suyodiningratan ke rumah yang berjarak sekitar 4 kilometer, aku membayar Rp 25.000 + sebungkus snack yang kubeli tadi.
Selamat malam, Bapak Becak... Ah, aku lupa menanyakan namamu, Pak!
Mlekom,
AZ