"Keluarin, enggak. Keluarin, enggak. Akhirnya aku keluarkan juga. SIM C yang menyembul malu-malu di dompet. Bersama STNK, kusodorkan ke salah satu Polisi yang mengadakan razia kendaraan roda dua di ring-road selatan arah Sewon, Bantul siang tadi.
"Mbak Adriani?"
"Ya."
"Ini SIM-nya berakhir 2011. Silahkan minggir dahulu."
"Minggir? Ke mana?"
Tangannya diarahkan ke sebuah lahan kosong. Ada belasan sepeda motor dan pemiliknya yang parkir di sana. Ada sekitar lima Polisi lain yang sedang sibuk menginteregosi dan mencatat nota di kap mobil patroli. Aku mendekat, memarkir motor, turun, menunggu giliran.
"Mana STNK-nya?"
"Itu diambil..." tunjukku ke arah jalan, tempat aku dicegat oleh satu dari sekitar lima polisi yang memberhentikan para pengendara motor.
"SIM-nya?"
"Diambil dua-duanya, Pak."
"Lho, yang diambil SIM, bukan KTP?"
"SIM dan STNK," jawabku agak kesal. Pertanyaan kok diulang-ulang.
"Mbak motornya yang mana?"
"Itu," tunjukku pada motor yang diparkir di belakang tempatku berdiri.
"Berapa nomornya?"
Aku mendekat ke plat motor, gak hafal. Namanya juga motor pinjaman. Satu polisi lain meneriakkan nomornya ke Polisi yang memegang setumpuk surat kendaraan.
"STNK-nya yang mana ya?" ulangnya lagi. Kudiamkan saja. Tak lama salah satu petugas tidak berseragam mendatangi kami, memberi setumpuk STNK lain.
"Mbak Adriani. Sudah tahu kesalahannya?"
"SIM-nya mati."
"Jadi bagaimana ini, mau diurus sekarang?"
"Urusnya gimana, Pak?"
"Langsung di sini bisa."
"Gimana Pak?"
"Kami beri surat tilang."
"Oh gitu. Jadi gini Pak, dua bulan lalu saya ke Kantor Polisi yang di Kotagede itu Pak. Saya baru kehilangan dompet berisi surat-surat. Eh itu Kotagede apa Umbulharjo ya Pak?"
"Umbulharjo." *heran kok si Bapak langsung ngeh aja yang kumaksud*
"Polisinya bilang, SIM yang hilang mau dibuat baru di Yogya, apa cabut berkas ke Sumatra Barat. Saya bilang cabut berkas aja, karena SIM-nya baru bikin. SIM-ku memang keluaran Sumbar. Si Bapak juga memastikan itu dari SIM kadaluarsa ini.
"Jadi, saya punya surat tentang itu Pak. Tapi saya gak bawa sekarang."
"Bagaimana kami bisa percaya?"
"Ya itu Pak, saya bisa ambil nanti."
"Baik, silahkan diurus nanti."
"Ini sampai jam berapa, Pak?"
"Urus di kantor saja. Di perempatan ring-road sana,"sambil menunjuk.
"Di mana itu Pak?"
"Ring-road perempatan sini ini, ke selatan." Gantian Bapaknya yang bete.
"Kiri ya Pak?"
"Kanan."
"Kiri kalau dari utara Pak. Oke Pak, nanti setelah jam lima saya ke sana."
"Lama sekali, sekarang saja."
"Lho kan saya harus ambil surat keterangan hilangnya dulu, Pak."
"Ya, silahkan ambil sekarang, kami tunggu."
"Saya bisanya setelah jam lima Pak, kan harus ke kantor dulu."
"Kantornya di mana?"
"Sewon situ," tunjukku ke arah belokan yang kutuju.
"Harus jam lima?"
"Iya, Pak. Setalah jam lima."
Bapaknya diam.
"Yasudah Pak, nanti saya urus. Ini yang sekarang saya bawa yang mana?" tunjukku pada SIM dan STNK.
Si Bapak kasih SIM.
"Lho Pak, SIM-nya kan gak berlaku, kalau saya dirazia lagi bagaimana?"
"Makanya, mestinya pakai surat tilang," katanya sambil memasukkan lagi SIM-ku di dalam bungkus STNK.
"Tapi kan saya bisa menunjukkan surat kehilangannya Pak!"
"Tapi kan tidak dapat menunjukkannya saat ini!"
"Yasudah... nanti kalau dirazia, saya bilang saja kalau SIM saya di Bapak, ya. Nama Bapak siapa? Sekalian saya minta nomor telepon biar mudah nanti menghubungi. Mungkin saya kemalaman baru ke kantor Bapak." Kurogoh tas, ambil pulpen.
"Tunggu sebentar..." sambil mengalihkan pandangan ke arah calon terdakwa lain di sekitarku.
"Hah?" tanyaku.
"Sebentar lagi," jawabnya. Kumasukkan pulpenku. Lalu duduk di terpal yang diatasnya berisi padi yang sedang dijemur. Ada orang lain di sebelahku.
Aku minum air dari botol di dalam tas. Pengen banget keluarkan hape untuk memotret. Tapi enggak deh, nanti masalah lagi. Akhirnya aku cuma melihat-lihat, bengong gak tau mau ngapain dan diapain :p
Dari jauh, si Bapak yang menginterogasiku tadi bilang: Sambil istirahat-istirahat dulu, Mbak. Aku mengangguk saja. Dia sibuk 'menyisir' tersangka lain.
"Mbak Adriani, silahkan." katanya menyodori SIM dan STNK-ku.
"Sudah, Pak?"
"Ya, silahkan." katanya sambil membuka telapak tangannya ke arah motor (pinjaman)ku.
"Heh?" *dalam hati*
"Sudah Pak?" tanyaku lagi.
Si Bapak mengangguk.
"Trims, Pak." Tadinya mo nanya: Jadi saya nanti gak perlu ke kantor Bapak lagi? Tapi kurasa gak perlu sih, karena gak ada yang ditahan.
Saat berjalan menuju motor, Polisi lain bertanya, "Bagaimana. Mbak?"
"Sudah selesai dengan Bapak yang itu."
Dia cuma mengangguk dan sibuk lagi dengan catatan-catatannya.
Kunyalakan motor, sambil pamitan "Monggo, Pak!" ke si Bapak yang bikin bingung tadi. Apa yang di pikiran si Bapak ya? Hambuh, dab!
Gambar dari sini.
Mlekom,
AZ