Oleh: Patricia Manangkot
Dua anak muda yang sama–sama tinggal di Yogyakarta serta menggeluti bidang yang sama yaitu membangun sistem informasi pusaka di Indonesia. Adriani Zullivan, yang sangat mengagumi candi dan menginisiasi kolaborasi komunitas untuk pembangunan sistem online Indonesian Heritage Inventory, menceritakan banyak pengalamannya dalam mengelola sejumlah media jejaring sosial publik dan juga tulisan–tulisannya yang sering dimuat dalam blog Travelpod dan Kompasiana. Menurut data terakhir tahun 2011 yang berhasil dikumpulkan, pengguna internet di Indonesia adalah 22,4% dari populasi dan ini merupakan 5,4% pengguna internet se Asia, angka yang cukup besar, dan tentu saja yang menjadi idola adalah Facebook dan Twitter!
Ada fenomena menarik yang ketika melihat perkembangan social media di Indonesia. Tak sedikit grup yang mengkhususkan diri pada tema terkait Pusaka di Indonesia. Sebut saja Bol Brutu (Gerombolan Pemburu Batu di Yogyakarta), KOmunitas petjinTa dan PelestAri bangunan TOEA di Magelang/KTM, Svarnadvipa Institute Muarojambi, dll. Apapun bentuk agenda gerakannya, tanpa disadari, kelompok-kelompok ini telah melakukan upaya pelestarian pusaka, sebab aktivitas ini bermuara pada penyediaan data terkait suatu situs pusaka. Namun, data-data ini banyak yang “tercecer” di berbagai akun pribadi. Untuk itu, Indonesian Heritage Inventory (IHI) membangun sebuah sistem basis data untuk menyatukan ceceran-ceceran ini. Saat ini telah dibangun sistem pelaporan yang dinamai “Pantau Pusaka Indonesia; Preserved and Endangered Heritage Report” di http://indonesianheritage.web.id/
Ada fenomena menarik yang ketika melihat perkembangan social media di Indonesia. Tak sedikit grup yang mengkhususkan diri pada tema terkait Pusaka di Indonesia. Sebut saja Bol Brutu (Gerombolan Pemburu Batu di Yogyakarta), KOmunitas petjinTa dan PelestAri bangunan TOEA di Magelang/KTM, Svarnadvipa Institute Muarojambi, dll. Apapun bentuk agenda gerakannya, tanpa disadari, kelompok-kelompok ini telah melakukan upaya pelestarian pusaka, sebab aktivitas ini bermuara pada penyediaan data terkait suatu situs pusaka. Namun, data-data ini banyak yang “tercecer” di berbagai akun pribadi. Untuk itu, Indonesian Heritage Inventory (IHI) membangun sebuah sistem basis data untuk menyatukan ceceran-ceceran ini. Saat ini telah dibangun sistem pelaporan yang dinamai “Pantau Pusaka Indonesia; Preserved and Endangered Heritage Report” di http://indonesianheritage.web.id/
Sistem ini memungkinkan siapa saja secara terbuka menjadi produsen data, menggunakan alat yang dimiliki seperti ponsel, komputer, dst. Berbicara juga mengenai sistem pengembangan informasi pusaka, Elanto Wijoyono sedikit mengajak flashback dan mengingatkan bahwa generasi yang lahir tahun 70 dan 80 an adalah generasi terakhir yang beruntung masih bisa merasakan kehidupan tanpa ketergantungan ponsel, internet dan sejumlah jejaring social. Namun apakah di era sekarang sistem informasi yang serba canggih bisa menjadi alat perubahan, khususnya dalam pengembangan sistem informasi pusaka?
Sedikit berbicara mengenai fakta pengguna Facebook, Indonesia merupakan salah satu pengguna terbesar di dunia, hal ini ironis, mengingat bahwa jaringan kabel di Indonesia belum maksimal dalam menjangkau semua provinsi, namun lebih diutamakan jaringan seluler. Hal ini berbanding terbalik dengan negara – negara di Eropa. Elanto menambahkan tentang penyebaran informasi di Indonesia, sebenarnya mainstream media massa hanya dikuasai oleh beberapa kelompok tertentu, yang lain banyak copy paste dari link. Output dari diskusi ini diharapkan dapat menentukan strategi untuk informasi tentang heritage.
Djoko Utomo, mantan kepala ANRI menanggapi diskusi ini bahwa semua situs pusaka umumnya adalah Endangered , namun ada gradasi atau kategorinya. Tony Arianto yang juga merupakan praktisi IT, ikut berkomentar, bahwa informasi yang terlalu banyak pun juga tidak bagus adanya, karena hanya akan menjadi sia – sia dan tidak efektif.
*
Catatan diskusi ICT for Heritage conservation. Copas dari web BPPI.