Tadi pagi ketinggalan tweet-series Mas Yan --begitu Dr Yanuar Nugroho akrab disebut-- tentang kesannya selama dibimbing oleh Ian Miles. Nah, aku beruntung ada orang yang merangkum dan mengirimkan padaku, dengan pesan pengantar:
Salam kenal,
Ini twit prof. Yanuar pagi ini yg sengaja saya save karena buat saya pribadi, hal ini sungguh menginspirasi.. Smoga jg bermanfaat buat mba :)
Ini twit prof. Yanuar pagi ini yg sengaja saya save karena buat saya pribadi, hal ini sungguh menginspirasi.. Smoga jg bermanfaat buat mba :)
Balasanku:
Trims banyak Mba/Bu Ike. Maaf merepotkan.
Beliau selalu menginspirasi. Saya setuju itu :)
Salam kenal, ibu.
AZ,
Jogja
Beliau selalu menginspirasi. Saya setuju itu :)
Salam kenal, ibu.
AZ,
Jogja
FYI, Mas Yan ini adalah salah satu waga Indonesia yang menginspirasi banyak orang, termasuk aku (waaah, kagum banget pokoknya!). Saking inspiratifnya, tak sedikit orang rela melek demi membaca beragam tweet-series beliau. Diantara banyak orang itu, ada yang mencatat, termasuk aku. Hahaha.
Nah, penasaran? Sila dihayati... :)
"you can't send a duck to eagle school (kamu tidak bisa mengirim bebek ke sekolah elang)," (ian miles, juli 2004) -nasihat yg tak terlupakan
"you can't teach smone how to smile, to want to do a great research, to write a great paper, to be a great researcher." (ian miles, jul '04)
"what u can do is to select students who have those qualities. teach them abt what a good research is, abt research culture." (miles, 7/04)
tiga twit saya tadi adalah pembicaraan awal saya dengan supervisor saya, prof. ian miles, saat pertama saya bertemu beliau, musim panas 2004
pembicaraan itu tertanam di benak saya sampai sekarang. tak semua hal cocok untuk semua orang. butuh kerendahan hati mengakui/menerima itu.
pembicaraan itu selalu saya ingat saat saya menyeleksi mahasiswa/i master, PhD, atau peneliti2 yg bekerja bersama dgn saya.
saya butuh waktu lama untuk bisa mencerna, dan menerima, nasehat tadi. pertama mendengarnya, saya menolak. saya mendebat. ian hny tersenyum.
latar belakang saya sebagai trainer (apalagi saya certified trainer 7 habits f/ young persons) membuat saya yakin semua hal bisa dipelajari.
tapi slama tahun2 saya bergelut dg PhD dan belajar riset, harus sy akui, ian benar. bebek tak bisa masuk ke sekolah elang (dan sebaliknya).
sy "dipaksa" ian rendah hati menerima fakta: ada kualitas2 tertentu yg mmg tak bisa diajarkan; yg mmg hny butuh proses seleksi & pematangan.
selama mnjadi mahasiswa & asisten ian, sy belajar darinya cara membimbing mahasiswa/i: menemani, mendengarkan. dan sekali2 intervensi.
satu hal penting: kl ssorg tak punya kualitas yg dimaui ian, dia menolak m'bimbing sejak awal. wkt sy tanya, dia bilang, "hidup itu pendek."
tapi sekali ian merasa mhsw/i-nya punya kualitas yg pantas jadi peneliti handal, dia akan habis2an mendidiknya. total. bahkan, kejam.
sbg supervisor, ian bhkan ingin tahu kehidupan keluarga mahasiswa/i-nya. bukan krn mau tahu urusan org lain, tapi krn riset itu soal hidup.
kegagalan mhsw dalam riset (PhD)nya, kata ian, 90% karena hal-hal non akademis. dari pengalaman & pengamatan saya. dia benar.
in the end, mensupervisi peneliti/PhD/MSc/MA itu adalah proses menemani dan mendengarkan. lalu mengembangkan. ini pelajaran berharga dr ian.
seperti anggur harus diperas, gandum digiling, emas dibakar - begitu pula kualitas manusia: tak ada perkembangan tanpa rasa sakit. #refleksi
hal paling berharga 2th 10 bln PhD saya bersama prof ian miles bukanlah gelar PhD saya, tapi pelajaran darinya tentang hidup sbg peneliti.
*
"you can't teach smone how to smile, to want to do a great research, to write a great paper, to be a great researcher." (ian miles, jul '04)
"what u can do is to select students who have those qualities. teach them abt what a good research is, abt research culture." (miles, 7/04)
tiga twit saya tadi adalah pembicaraan awal saya dengan supervisor saya, prof. ian miles, saat pertama saya bertemu beliau, musim panas 2004
pembicaraan itu tertanam di benak saya sampai sekarang. tak semua hal cocok untuk semua orang. butuh kerendahan hati mengakui/menerima itu.
pembicaraan itu selalu saya ingat saat saya menyeleksi mahasiswa/i master, PhD, atau peneliti2 yg bekerja bersama dgn saya.
saya butuh waktu lama untuk bisa mencerna, dan menerima, nasehat tadi. pertama mendengarnya, saya menolak. saya mendebat. ian hny tersenyum.
latar belakang saya sebagai trainer (apalagi saya certified trainer 7 habits f/ young persons) membuat saya yakin semua hal bisa dipelajari.
tapi slama tahun2 saya bergelut dg PhD dan belajar riset, harus sy akui, ian benar. bebek tak bisa masuk ke sekolah elang (dan sebaliknya).
sy "dipaksa" ian rendah hati menerima fakta: ada kualitas2 tertentu yg mmg tak bisa diajarkan; yg mmg hny butuh proses seleksi & pematangan.
selama mnjadi mahasiswa & asisten ian, sy belajar darinya cara membimbing mahasiswa/i: menemani, mendengarkan. dan sekali2 intervensi.
satu hal penting: kl ssorg tak punya kualitas yg dimaui ian, dia menolak m'bimbing sejak awal. wkt sy tanya, dia bilang, "hidup itu pendek."
tapi sekali ian merasa mhsw/i-nya punya kualitas yg pantas jadi peneliti handal, dia akan habis2an mendidiknya. total. bahkan, kejam.
sbg supervisor, ian bhkan ingin tahu kehidupan keluarga mahasiswa/i-nya. bukan krn mau tahu urusan org lain, tapi krn riset itu soal hidup.
kegagalan mhsw dalam riset (PhD)nya, kata ian, 90% karena hal-hal non akademis. dari pengalaman & pengamatan saya. dia benar.
in the end, mensupervisi peneliti/PhD/MSc/MA itu adalah proses menemani dan mendengarkan. lalu mengembangkan. ini pelajaran berharga dr ian.
seperti anggur harus diperas, gandum digiling, emas dibakar - begitu pula kualitas manusia: tak ada perkembangan tanpa rasa sakit. #refleksi
hal paling berharga 2th 10 bln PhD saya bersama prof ian miles bukanlah gelar PhD saya, tapi pelajaran darinya tentang hidup sbg peneliti.
*
Mlekom,
AZ
0 comments:
Post a Comment