Kasur empuk vs terbang pagi... |
Mengejar penerbangan pertama di Cengkareng selalu bukan hal mudah bagiku, meski dulu cukup sering melakukannya.
Aku sempat menjadi "komuter" Jogja-Jakarta-Jogja, jaman kuliah di Jogja dan rumah diJakarta (ituloh, Ciledug yang Jakarta coret itu). Kalau harga tiket murah, ya biasanya naik pesawat. Apalagi jika waktu yang habis di kereta api hanya terpaut sedikit lebih murah jika dibanding keuntungan membayar tiket pesawat yang cuma sejam perjalanan. *Ya oke, tambah sejam perjalanan rumah-bandara*
Ini juga kualami saat masih 'bercinta' dengan dia-yang-orang-Jakarta. Sebagai mahasiswa, waktuku pasti jauh lebih luang dibanding dia-yang-bekerja. Iya, aku memang oudipus yang mencintai lelaki berusia 7 tahun di atasku. TUJUH! *semoga anda puas*
Juga jaman ketika sering tugas luar kota dari kantor. Punya bos super disiplin dan pemarah. Bahkan untuk meminta tantatangannya pun kami sering harus menemui beliau di luar kota. Kantor kami bercabang, jadi beliau bisa berada di kota manapun. Biasanya, untuk hal-hal sepele begini, berhubung akuanak karyawan termuda, maka akulah menjadi tumbal. Kami diharuskan berangkat pagi dari Jogja, lalu pulang sore.
PP di hari yang sama ini untuk menakan ongkos, terutama hotel dan makan. Jika saja Jakarta-Cengkareng tak macet, mungkin kami hanya menginjak bumi Jakarta selama satu jam, atau kurang. Nah, daripada pulang sore, aku biasanya menginap dan mengambil penerbangan pagi di keesokan harinya. Masuk kantor tetap pukul 09.00, dengan pakaian sudah rapi ala tante-tante esmud. Kadang malah sempat pulang, sebab bandara Jogja ke rumah hanya 25 menit dan rumah-kantor 20 menit.
Awalnya masa-masa ini menderita. Lama-lama terbiasa. Tapi itu dulu. Sekarang, hari ini, aku sangat tersiksa. Bangun pukul 03.00, lalu mandi air dingin, menggeret koper (berisi pakaian 2 minggu) ke jalan dan menyetop taksi. Tidur di taksi juga bukan pilihan cerdas, sebab taksi yang tidak kamu pesan sejak semalam bisa jadi bukan taksi yang dapat dipercaya.
Demi tidak terlambat dan menghemat ongkos taksi, aku terpaksa bergabung dengan Ndil yang tidur di kantornya. Cukup tersiksa! Aku tidur di dalam ruang kerja dengan sebuah kasur lipat sangat tipis. Malam ini, kasur itu dihibahkan oleh mas-mas penjaga kantor untukku. Si mas-mas sendiri tidur di ruang luar di sofa, bersama Ndil.
Pagi ini terpaksa berangkat pagi karena alasan tiket yang Rp 150 rb lebih murah dibanding jadwal pukul 07.00, dan makin mahal setelahnya. Tak ada lagi anggota keluarga atau dia yang mengantarku dengan mobil nyaman. Tak ada pula mama yang membawakan bekal makanan.
Yaampun Jakarta, bagaimana mungkin jutaan makhluk bisa hidup di perutmu?
Yaampun Muarojambi, demi kamu aku melakukan ini lagiiii.
Mlekom,
AZ
Aku sempat menjadi "komuter" Jogja-Jakarta-Jogja, jaman kuliah di Jogja dan rumah di
Ini juga kualami saat masih 'bercinta' dengan dia-yang-orang-Jakarta. Sebagai mahasiswa, waktuku pasti jauh lebih luang dibanding dia-yang-bekerja. Iya, aku memang oudipus yang mencintai lelaki berusia 7 tahun di atasku. TUJUH! *semoga anda puas*
Juga jaman ketika sering tugas luar kota dari kantor. Punya bos super disiplin dan pemarah. Bahkan untuk meminta tantatangannya pun kami sering harus menemui beliau di luar kota. Kantor kami bercabang, jadi beliau bisa berada di kota manapun. Biasanya, untuk hal-hal sepele begini, berhubung aku
PP di hari yang sama ini untuk menakan ongkos, terutama hotel dan makan. Jika saja Jakarta-Cengkareng tak macet, mungkin kami hanya menginjak bumi Jakarta selama satu jam, atau kurang. Nah, daripada pulang sore, aku biasanya menginap dan mengambil penerbangan pagi di keesokan harinya. Masuk kantor tetap pukul 09.00, dengan pakaian sudah rapi ala tante-tante esmud. Kadang malah sempat pulang, sebab bandara Jogja ke rumah hanya 25 menit dan rumah-kantor 20 menit.
Awalnya masa-masa ini menderita. Lama-lama terbiasa. Tapi itu dulu. Sekarang, hari ini, aku sangat tersiksa. Bangun pukul 03.00, lalu mandi air dingin, menggeret koper (berisi pakaian 2 minggu) ke jalan dan menyetop taksi. Tidur di taksi juga bukan pilihan cerdas, sebab taksi yang tidak kamu pesan sejak semalam bisa jadi bukan taksi yang dapat dipercaya.
Demi tidak terlambat dan menghemat ongkos taksi, aku terpaksa bergabung dengan Ndil yang tidur di kantornya. Cukup tersiksa! Aku tidur di dalam ruang kerja dengan sebuah kasur lipat sangat tipis. Malam ini, kasur itu dihibahkan oleh mas-mas penjaga kantor untukku. Si mas-mas sendiri tidur di ruang luar di sofa, bersama Ndil.
Pagi ini terpaksa berangkat pagi karena alasan tiket yang Rp 150 rb lebih murah dibanding jadwal pukul 07.00, dan makin mahal setelahnya. Tak ada lagi anggota keluarga atau dia yang mengantarku dengan mobil nyaman. Tak ada pula mama yang membawakan bekal makanan.
Yaampun Jakarta, bagaimana mungkin jutaan makhluk bisa hidup di perutmu?
Yaampun Muarojambi, demi kamu aku melakukan ini lagiiii.
Mlekom,
AZ