Friday, August 22, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 10:12:00 AM | No comments

Bapakku (yang) Bukan Zulivan



Aku terlahir dari seorang bapak bernama Zulivan, yang kupanggil Papa. Meski begitu, ada bapak lain dalam keseharianku. Seorang bapak yang kupanggil Bapak...
Petugas kebingungan dengan permintaan ayahnya. Dissa diharuskan mengikuti seluruh tes untuk mendapatkan SIM. Awalnya petugas hanya mensyaratkan serangkaian tes sebagai sesuatu yang disebut ”formalitas”. Sang ayah bersikeras bahwa mahasiswi semester dua ini harus ikuti seluruh proses, sesuai aturan yang berlaku.

Petugas bingung. Mengingat siapa sang ayah, mestinya Dissa hanya tinggal mendaftar lalu pulang dengan SIM di tangan. Dengan mudah. Tanpa tes ataupun menyuap petugas. Ini yang membuatku tak heran, jika 
seorang Danang Parikesit, ayah Dissa, mendapat penghargaan sebagai "Pelopor Keselamatan Berlalu-lintas" tahun 2013 lalu. 

Biasanya Dissa ke kampus naik sepeda. Belakangan ia membutuhkan kendaraan untuk mengangkut maket arsitektur bangunan yang dibuatnya. Tak seperti kampus-kampus di luar negeri, Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak memiliki studio/bengkel representatif bagi mahasiswanya untuk mengerjakan maket. Akibatnya, mereka harus membuat di rumah lalu membawa hasilnya ke kampus. Jika harus membawa maket, maka Dissa harus meninggalkan sepedanya, dan mengendara city car sederhana pemberian ayahnya itu.


Hope and Dream
Perkenalanku dengan Dissa diawali dengan obrolan tentang sebuah program. Suatu hari Pak Danang, begitu aku memanggil ayahnya, bilang ingin menabung untuk mengisi masa pensiun. Tabungan ini bukan berupa deposito atau sejenisnya, melainkan tabungan akhirat lewat kegiatan sosial.


Idenya berawal dari obrolan bapak-anak ini. Lalu mereka mencari orang yang dapat membantu menerjemahkan ide tersebut. Disanalah aku berperan. Lalu di tahun 2012 muncul Hopes and Dreams Indonesia (HDI), nama yang kami sepakati untuk mewadahi program ini.


Nama yang unik. HDI memokuskan diri pada upaya untuk mencari pribadi atau kelompok yang memiliki mimpi (dreams) dan mempunyai harapan (hopes) kuat untuk mewujudkan mimpinya. Nama ini lalu diterjemahkan dengan menemui pihak-pihak yang kami nilai memiliki kriteria HDI.



Gus Nas (Pesantren Ilmu Giri), Mas Saptu, Pak Danang dan aku.
Kedua foto milik Mas Saptu di sini dan sini.
Diantaranya adalah Saptuari Sugiarto, pengusaha asal Yogyakarta yang mendirikan Sedekah Rombongan untuk membantu warga kurang beruntung yang kesulitan berobat. Dari Mas Saptu--begitu ia biasa dipanggil--kami dikenalkan dengan Mbak Putri Herlina, seorang tuna daksa berprestasi dari Yayasan Sayap Ibu.
Bersama Mbak Putri Herlina.
Bersama ibunda Mas Saptu, di Yayasan Sayap Ibu.


Bersama anak-anak Ledhok.
Selanjutnya mengunjungi komunitas Ledhok Timoho yang menjadi area mukim pemulung, Yayasan FSG Tuna Bangsa yang mengurusi anak-anak penderita kanker di RS Sardjito, menemui anak penderita hydrocephalus yang diajak mengemis oleh ibunya di Magelang, Jawa Tengah, dan berbagai kegiatan lain.


Di bengkel UCP.
HDI kemudian berperan aktif dalam sejumlah kegiatan terkait warga berkebutuhan khusus (difabel); Seperti ikut berperan dalam perjalanan Sri Lestari, seorang paraplegia pengguna sepedamotor modifikasi dalam tur Jawa-Bali; ikut andil dalam peringatan Disability Day 2013, hingga mengawal proses pembuatan SIM khusus bagi pengendara sepedamotor modifikasi di Yogyakarta.

Tampaknya ini akan menjadi agenda masa pensiun yang menyenangkan, sekaligus tabungan akhirat yang lumayan, ya.


Soal Transportasi
Berbicara tentang akhirat, tentu bicara tentang kematian. Tahun 2007 lalu Pak Danang menjadi salah satu target utama kelompok tertentu di Yogyakarta. Ia yang saat itu menjadi Ketua Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, disebut-sebut akan dibunuh kelompok yang tidak menginginkan terwujudnya Malioboro Yogyakarta sebagai kawasan pedestrian. Mengapa? Silahkan baca buku hasil penelitiannya.


Penolakan atas pemikirannya di bidang tata transportasi tak hanya berakhir di situ. Beberapa tahun terakhir, Pak Danang menentang rencana pembangunan 6 ruas tol dalam kota dan proyek deep tunnel di Jakarta. Hingga hari ini, dua proyek tersebut masih menjadi diskusi parapihak.


Perhatian Pak Danang tidak hanya pada persoalan transportasi di kawasan urban. Dalam sebuah konferensi di Jepang, tim JALIN Merapi--komunitasku--bertemu dengan Ibu Dewanti. Ia memaparkan persoalan transportasi di lereng Gunungapi Merapi. Ada nama Danang Parikesit di slide presentasinya. Ternyata, ia adalah mahasiswa doktoral bimbingan Pak Danang. Akhirnya kami bersua di Desa Kemalang yang berjarak 4 kilometer dari puncak Merapi.

Bu Dewanti menceritakan alasan ketertarikannya meneliti Merapi. Keterbatasan angkutan umum yang sebabkan sepedamotor menjadi moda paling banyak peminat. Bocah-bocah tak cukup umur yang mengemudi sepedamotor. Anak-anak sekolah yang gelayutan di bak-bak truk untuk pulang ke rumah. Hingga persoalan jalan bolong di sepanjang jalur evakuasi.


Pak Danang pernah meneliti hal ini, lalu menyarankan Bu Dewanti untuk mendalaminya. Akhirnya Bu Dewanti jatuh cinta pada Merapi. Ia kerap mengajak putranya ikut serta, untuk melihat kehidupan warga dan keindahan alam setempat.


Bersama Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Pak Danang juga membahas persoalan angkutan antar pulau di kawasan terpencil. Dari tahun ke tahun, urusan mudik Lebaran pun selalu mendapat perhatian khusus organisasi ini.


Mudik Lebaran tahun 2011 bisa jadi merupakan pengalaman berharga buat Pak Danang. Saat itu ia habiskan banyak waktu untuk memantau proses pembangunan jalur Nagreg. Merelakan banyak masa libur yang mestinya menjadi hak keluarga. 



Keluarga
Di samping kesibukan sebagai Ketua MTI dan Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum, ia selalu ciptakan akhir pekan menyenangkan bersama keluarga dan kerabat di Yogya.





Pagi akhir pekan sering dihabiskan dengan bersepeda atau memasak bersama. Keluarga ini kerap pula mengundang mahasiswa ke rumah, untuk main musik bersama. Meski biasa memegang bahan konstruksi bangunan berat, Pak Danang juga mahir memainkan berbagai alat musik tiup. Dengan kemahiran lain para tamunya, jadilah sebuah konser orkestra kecil di rumah.






Aku sendiri merasa beruntung bisa mengenal Bu Dani, istri Pak Danang yang sempat menjadi Wakil Dekan di Fakultas Hukum UGM ini. Banyak pelajaran darinya tentang merawat keluarga, dengan suami yang memiliki sedikit waktu untuk keluarga. Bersama kedua putri mereka, aku kerap diundang makan bersama sambil membicarakan program kami di HDI. 


Galak
Perkenalanku dengan Pak Danang berlangsung sejak enam tahun lalu. Di samping kuliah, saat itu aku menjadi Staf Honorer di Bidang Kolaborasi Riset Internasional pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM. Saat itu, Pak Danang menjabat sebagai Ketua LPPM. Masa-masa menjadi staf ini bukan pengalaman menyenangkan. Pak Danang adalah seorang perfeksionis, sehingga sangat galak dengan seluruh stafnya. 
Tiap detil pekerjaan selalu ia pantau. Ia akan menunggui koreksi pekerjaan yang belum beres, hingga tengah malam di kantor. Yang tidak kuat dengan cara kerjanya, biasanya akan mengundurkan diri.

Aku pernah bikin heboh 80-an pegawai LPPM, hanya karena menyapa pejabat dengan gelar yang salah, dalam surat elektronik. Pak Danang langsung memerintahkan Kepala Bidang untuk menarik surat tersebut. Menarik surat elektronik? Mana bisa! Bu Kabid lalu meminta maaf kepada pejabat ybs, lalu mengingatkanku. 

Apa tindakan yang dilakukan Pak Danang padaku? Menyindir,  dengan berbagai pertanyaan terkait pengetahuan umum: Siapa nama menteri ini, siapa nama pejabat itu, apa nama ini dan itu, dan sebagainya. Ini berlangsung sekitar 5 menit. Terjadi di pagi hari, begitu aku tiba di kantor, setelah mudik akhir pekan yang nyaman bersama keluarga di Jakarta. Hiks :(


Segalak-galaknya Pak Danang, ia peduli pada stafnya. Tiap ulang tahun, kami mendapat kue tar yang diedarkan ke seluruh ruangan. Bahkan, seluruh staf LPPM—mulai dari Ketua sampai staf honorer, mendapat kesempatan wisata ke Bali pada 2010 lalu. Untuk pertama kalinya, pegawai LPPM diajak 'plesir' jauh. Meski dalam rangka rapat kerja, perjalanan ini menyisakan kenangan khusus bagi stafnya, apalagi para pegawai rendahan seperti Office Boy.


Coba hitung, sudah berapa kali aku menggunakan kata “galak” untuk mendeskripsikan seorang Danang Parikesit? Bagaimanapun, aku merasa mendapat pelajaran berharga tentang tanggungjawab kerja dari sosoknya. Oh ya, meski galak banget (nah lho, dipakai lagi kata ini), ia adalah seorang pemimpin yang fair, bersedia mengakui kesalahan dan mau mendengar saran orang lain, termasuk saran dari bawahan

Dalam banyak obrolan antar staf di LPPM, disimpulkan bahwa Pak Danang merasa nyaman bekerja dengan staf yang berani berargumen, tidak sekedar berprinsip "asal-bapak-senang". Meski karirku di LPPM tak berlangsung lama, aku dan seorang teman lain bekerja sebagai Asisten Pribadi beliau. Kami berdua dikenal sebagai orang keras kepala, cukup sepola dengan cara kerja Pak Danang.


*
Dalam perjalanan sebagai asisten pribadi, aku tetap mengalami tekanan kerja yang sama berat dengan semasa di LPPM. Saat masih mengeringkan rambut di suatu pagi, Pak Danang ’teriak’ di BBM, minta kami segera menemuinya di restoran hotel. Tentu butuh perjuangan untuk mencapai hotelnya dari hotel kami--hotel para asisten tentu tak sama jumlah bintangnya dengan hotel yang ditempati Pak Danang--di tengah suasana pagi kota Surabaya yang teramat macet.


Aku terpaksa menjinjing higheels untuk dapat berlari. Setelah tiba di restoran, kami dipersilahkan duduk, di antara pejabat MTI lainnya. Lalu ditanya apakah sudah sarapan. Kujawab belum lalu disuruh sarapan dan duduk di meja itu kembali. Kuambil makanan seadanya, agar cepat. Sambil makan, aku di-brief agar ikut pertemuan dengan Gubernur, sebagai persiapan kedatangan Presiden di acara kami.


Aku hanya menjawab OK, Pak. Baik, Pak. Ya, Pak. Malah dimarahi: ”Apa kamu ingat jika tidak ditulis?” Arrrgh... ”Apa Bapak mau menyuapi makanan ini, sementara tangan saya menulis?” tanyaku dalam hati. Akhirnya aku berangkat sendiri hanya diantar sopir. Asisten lain disuruh mengerjakan pekerjaan yang tak ada habisnya.


Meski demikian, usai suatu pekerjaan panjang, kami tak luput dari perhatian. Para asisten selalu berhak memilih tempat makan yang kami inginkan. Kami juga diizinkan memperpanjang masa tinggal, jika sedang perjalanan kerja ke luar kota atau luar negeri. Kurang galak apalagi, coba? :)

Tanggung jawab
Masih banyak cerita deg-degan lain, yang membuatku terus belajar arti tanggungjawab. Termasuk tanggungjawab untuk beribadah. Meski kesibukan teramat-sangat, Pak Danang selalu mengerjakan kewajiban lima waktunya. Dalam sebuah perjalanan, aku bingung mengapa ia tiba-tiba diam di bangku pesawat. Ternyata sedang tayamun dan shalat.

Sebagai perempuan, tentu aku mengenakan riasan wajah lengkap di tiap pertemuan penting pekerjaan. Ini biasanya membuatku malas shalat, sebab wudhu akan merusak riasan. Dengan bos yang rajin shalat dalam situasi apapun, aku menjadi malu. 

Beliau juga kerap mengimami shalat di kantor. Dalam suatu sore akhir pekan, kami harus rapat di kantor. Sebab Pak Danang bersepeda mengenakan celana ¾ dan tidak membawa sarung, maka ia mengenakan rok putih bagian bawah mukena yang ada di mushalla. Hahaha...

Dosen
Sebaliknya, sebagai dosen Pak Danang tidak pernah mendapat julukan ’killer’ atau sejenisnya. Banyak mahasiswa dekat dengannya. Bahkan hingga mereka melanjutkan kuliah di negeri orang, banyak yang menyempatkan bertemu ketika sang dosen sedang melawat ke sana. 


Bersama mahasiswanya.
Satu yang mengagumkan pada sosok Pak Danang sebagai akademisi adalah, produktivitasnya dalam menulis dan ikut konferensi. Sila cek jurnalnya di https://danangparikesit.wordpress.com/ dan aktivitasnya sebagai blogger tetap di Tempo.


Atas: Tim basket versi reuni. Bawah: Tim Putri UGM.
Kedekatan pada mahasiswa tak hanya terjadi di kelas perkuliahan. Pak Danang yang semasa mahasiswanya masuk dalam Tim Basket UGM ini, kini menjadi penasehat di klub tersebut. Kegiatan lain bersama anak muda dilakukan lewat Pondok Alam Hifzhul Bi’ah, sebuah pesantren berwawasan lingkungan yang dikembangkan bersama sejumlah pendidik lain.

Menteri
Di paruh kedua pemerintahan SBY, nama Pak Danang disebut-sebut dalam daftar calon menteri. Meski saat itu telah menjabat sebagai Chairman of the Executive Committee dan Board of Directors dari the International Forum for Rural Transport and Development (IFRTD), ia tak terlalu serius menanggapinya. Dalam pertemuan awal Juli lalu di Jakarta, aku sempat bertanya bagaimana jika Bapak masuk ke dalam kabinet Presiden baru? ”Saya selalu bilang, kepada siapapun. Saya akan selalu membantu pemerintah, dimanapun posisi saya.”



Sumber: @Jokowi_Ina di sini.
Sepekan kemudian muncul tiga jajak pendapat dari tiga lembaga bonafid, yaitu ”Polling Menteri Kabinet Alternatif Usulan Rakyat” dari Jokowi Center, Kabinet Rakyat 2014-2019" dari PDI-P dan ”Prediksi Susunan Kabinet Jokowi-JK 2014-2019” dari Indobarometer. Pada ketiganya muncul nama Danang Parikesit. Pekan lalu muncul hasil polling internal tim Jokowi-JK, Presiden dan Wapres terpilih—seperti dapat dilihat pada gambar atas, dimana Pak Danang memperoleh suara terbesar.

Sebagai orang yang sudah dinggapnya sebagai anak dan telah menganggapnya sebagai bapak sendiri, tentu aku ikut bangga. Kebanggaan lainnya tentu saja dari urusan romantisme berupa satu almamater di UGM dan satu kota tempat tinggal di Yogyakarta. Ini merupakan hal remeh-temeh yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tak beda dengan kebangganku di hari pertama Pemilihan Presiden Agustus lalu, saat nama Jokowi keluar sebagai pemenang versi hitung cepat. Jika nantinya resmi terpilih, Jokowi akan menjadi alumni UGM pertama yang menjadi RI 1. Hari itu Mars UGM ’menggema’ di media sosial. Bakti kami mahasiswa Gadjah Mada semua...


Sosok
Bagi yang belum mengenal sosok Danang Parikesit--selanjutnya kita sebut dengan DPR--mari kuberitahu mengapa ia pantas menjadi seorang Menteri Perhubungan--sebagaimana tersebut dalam ketiga polling, dibanding kandidat lain:

  1. Merupakan ahli di bidang perhubungan, baik dalam kaitannya dengan transportasi serta sarana-prasarana terkait. Membandingkan dengan calon lain, ini analisa permukaanku: DPR memahami isu transportasi, tak hanya soal perkeretaapian, angkutan udara, ataupun keselamatan transportasi. Ia memahami persoalan transportasi dari hulu ke hilir.
  2. Mempunyai perhatian pada isu perkotaan dan perdesaan. Salah satu hasil yang sangat menarik minatku adalah aplikasi tentang kondisi jalur pedestrian bernama Walkability ini.
  3. Ini yang terpenting: DPR seorang yang jujur dan masih idealis. Dalam pertemuan dengan Pak Marco Kusumawijaya akhir pekan lalu, ini pendapatnya tentang DPR sebagai kandidat menteri: Danang baik, nggak ada yang salah dengannya.
Ini tentu saja tafsir personal, hasil pembacaan atas kedekatan hubungan personal. Ingin  menyebut ini sebagai kampanye? Silahkan, siapapun bebas memaknai. Toh cerita seorang Adriani Zulivan tak akan pengaruhi proses Jokowi memilih para menterinya, bukan? :)

Ini hanya ceritaku, tentang bapakku yang bukan bernama Zulivan. Satu yang pasti, aku mengenalnya dengan baik. Dengan tulisan ini, kuharap kalian juga dapat mengenalnya dengan baik.

Bagi Pak Joko dan Pak Jusuf, selamat memilih pembantu untuk lancarkan proses pelaksanaan tugas di lima hingga sepuluh tahun mendatang. Aku padamu! :)


Mlekom,

AZ


Catatan: Kecuali yang menyertakan keterangan sumber, seluruh foto diambil dari akun Facebook dan Twitter Pak Danang, serta koleksiku pribadi.


Categories:

0 comments:

Post a Comment

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata