Saya selalu merasa ijab kabul adalah peristiwa yang teramat istimewa. Adalah momen dimana haru bercampur dengan bahagia.
Ini coba mengingat ijab kabul yang saya ikuti di usia dewasa, klo ada yang kelewat mohon maaf mumpung natalan (loh!)✌
Pernikahan sahabat (dia sudah bekerja, saya masih kuliah) menjadi ijab kabul pertama. Ketika dia bacakan janji pernikahan tentang tanggungjawabnya kepada istri, di situ saya menangis.
Pengalaman kedua adalah pernikahan kakak. Gak bisa fokus, sebab mengawasi mama yang sedang sakit (beliau dijemput dari RS untuk menyaksikan pernikahan ini).
Momen ketiga & keempat pada pernikahan sepupu. Keduanya mengharukan, sebab ayah mereka yang adalah paman saya, sudah tiada.
Ijab kabul kelima ketika Pak El bersalaman dengan papa saya. Ini ga nangis, karena tegang sepanjang persiapan & bete dengan riasan wajah saya 🤣
Keenam adalah pernikahan cucu (ya, gak salah baca!) dari pawami. Meski ga kenal & ga paham bahasanya (jawa halus), tetap mewek.
Pernikahan adik saya adalah momen ketujuh. Air mata sampai merusak riasan wajah, sebab begitu terharu (si manja udah nikah aja!).
Pak El punya priviles untuk menikahkan adiknya, sebab papa mereka sudah di alam berbeda. Maka momen dimana pawami menjadi wali nikah, adalah pengalaman kedelapan. Mata teteskan bulir bahagia.
Oktober lalu menjadi yang kesembilan dan kesepuluh. Dari pernikahan sahabat yang sudah seperti adik sendiri, yang bikin mata basah (aaak, kamu udah nikah aja!). Juga momen ketika pawami kembali menjadi wali, namun mata saya aman sebab sibuk bersiaran langsung di IGS 😪
Semoga segera ada kesempatan kesebelas, yang sekaligus menjadi kali terakhir Pak El melepas adik perempuannya. Yang minat menjadi adik kami, boleh sowan ke kangmasnya ☺️
*
Desember adalah bulan penting per-ijab kabul-an di keluarga, sebab orang tua, kakak & adik kami menikah di bulan ini. Jadi sebelum bulan ini berakhir, mari sempatkan bercerita!
Itu foto saat Pak El menjadi wali untuk adiknya. Urusan seragam bikin kami gak pernah senada, sebab dia menjadi pendamping mama yang 'dipajang' di pelaminan. Dia ikut warna orang tua, saya warna kakak-adik.