Sunday, January 13, 2002

Posted by adrianizulivan Posted on 12:00:00 PM | No comments

Awul-awul, Maraknya Pakaian Bekas di Arena Sekaten Yogyakarta


Awul-awul (Jawa) bermakna acak-acakan atau tidak beraturan. Istilah ini, oleh masyarakat Jogja dan sekitarnya, dijadikan sebagai nama untuk menyebut dagangan pakaian bekas. Dinamakan demikian, sebab biasanya pakaian-pakaian ini hanya ditumpuk sedemikian rupa, sehingga pembeli perlu "mengaduk-aduk" tumpukan pakaian tersebut untuk memilih barang yang diinginkannya.

Secara bahasa, penggunaan kata "awul-awul" memiliki beragam arti jika kemudian ditambahkan imbuhan. Seperti kata ngawul (berburu/memilih awul-awul) dan awulan (barang awul-awul). Sedangkan penambahan kata di depan atau belakangnya membuat kata "awul-awul" menjadi bermakna subyek dan/atau obyek, seperti pedagang awul-awul, toko awul-awul, dan seterusnya.

Biasanya, awul-awul merupakan pakaian bekas yang diimpor dari negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapur, Thailan, Malaysia dan Korea. Mereka masuk ke Indonesia sebagai barang selundupan, sebab tergolong kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang tidak diperkenankan masuk ke wilayah NKRI. Ilegal, sebab merupakan sampah (barang buangan) dari negeri-negeri tersebut. 

Barang-barang selundupan ini dimasukkan dalam karung-karung besar tanpa sortir. Segala jenis pakaian masuk, dari pakaian pesta hingga pakaian dalam, dari jas necis hingga kutang seksi. Semua bercampur aduk dalam karung-karung tersebut. Entah didapat dari mana. Mungkin limbah rumah tangga, laundry, dan sebagainya yang tak terduga. Kondisi pakaian pun cenderung kusam, entah akibat di-awul-awul, entah memang baju kotor yang tidak dicuci hingga tiba di Indonesia. Entahlah.

Yang pasti, menurut pemerintah, jenis pakaian bekas dari luar negeri ini mengandung bahaya. Bagi Indonesia, ia tak lebih dari sekadar upaya negara lain untuk membuang limbah mereka. Hal ini sangat merugikan negara, sebab tak ada nilai ekonomis dari tumpukan sampah. Bagi masyarakat, pakaian bekas ini merupakan anugerah: anugerah bagi pedagang dan pembeli yang bisa mendapat pakaian harga murah.

Mengacu pada masyarakat, sebenarnya masyarakat mana yang mengkonsumsi pakaian bekas ini? Meski harganya murah, masyarakat miskin justru tidak menjadi sasaran utama dari pedagang awul-awul. Konsumen terbesar dari "industri" ini adalah orang kaya!

Ya, awul-awul yang notabene barang-barang impor ini adalah barang bekas bukan sembarang bekas. Mereka adalah barang bermerek. Orang kaya adalah konsumen fanatik dari barang bermerek. Mereka tak akan segan membeli barang bekas ini demi keaslian merk, dibanding membeli barang-barang KW 1, 2, 3, dan seterusnya.

Itulah yang terjadi di Pasar Gedebage (Bandung), Kawasan Mongonsidi (Medan), atau Pasar Senen (Jakarta) yang menjadi incaran para pecinta fashion bermerk. Para konsumen fanatik ini memiliki cara jitu untuk menghindari penyakit kulit yang oleh Departemen Kesehatan sering dijadikan alasan untuk tidak membeli pakaian bekas.

Caranya adalah dengan merendam pakaian dalam air hangat, lalu memberikan vetsin (ya, vetsin bumbu penyedap rasa itu) ke dalam rendaman. Lalu tinggal mencuci seperti biasa. Entahlah apakah sudah ada penelitian mengenai resep ini atau tidak. Namun, bahkan seorang Dian Sastro pun pernah ditemui sedang asyik melempar puluhan jins bekas ke bagasi mobilnya di Pasar Senen.

Di Medan, barang-barang ini disebut Monza (Mongonsidi Plaza). Dia tidak dijual di sebuah pusat perbelanjaan mewah bernama Mongonsidi, namun di pinggir jalan yang bersebelahan dengan sebuah jembatan di kawasan Mongonsidi. Di tempat ini tak hanya menjual pakaian, namun juga berbagai benda pelengkap fashion lainnya, seperti ikat pinggang, dasi, sepatu, hingga tas. Semua bermerk. Pedagang berani menjamin keasliannya. 

Untuk sebuah tas ransel Kipling kondisi baik yang kehilangan gantungan kunci monyetnya, dihargai Rp 50.000! Harga ini sangat murah jika dibanding harga tas baru bermerk sama yang bisa mencapai satu juta rupiah! Banyak socialita Medan mampir kesini, menghabiskan uang mereka untuk puluhan tas sekaligus.

Di Jogja, awul-awul hadir di berbagai sudut kota. Tak sulit menemukan toko awul-awul yang biasanya diberi spanduk berwarna merah-putih di depan pintu toko bertuliskan: Pakaian Murah Impor. Perayaan Skaten menjadi suga bagi pemburu fashion impor bekas Jogja yang mayoritas adalah mahasiswa, sebab selama sebulan para pedagang awul-awul akan membuka puluhan stand di arena Skaten yang diselenggarakan tiap memperingati Maulid Nabi.

Di kota-kota lain, terutama yang berbatasan dengan negara jiran, barang-barang ini tak terbatas hanya pada kebutuhan fashion. Mampirlah ke Tanjungsengkuang (Batam) dan Kuala Tungkal (Jambi). Segala furnitur, springbed, kompor hingga elektronik ada di sana.

Meski terus dilarang pemerintah, toh hingga hari ini barang-barang tersebut masih saja digelar para pedagang secara terbuka, tanpa umpet-umpetan dengan petugas. Sebab para pedagang telah mengeluarkan uang lebih untuk membayar para petugas ini, mulai dari portir, pegawai penyeberangan, hingga para PNS Direktorat Bea Cukai.
  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata