Pagi itu begitu cerah. Aku berniat melakukan rutinitas pagi hariku: membeli sarapan!
Bukan hal sulit mencari penjual sarapan. Mereka bertebar hampir di setiap sudut jalan. Soto, bubur, nasi kuning, mie goreng, dan berbagai menu lainnya bisa didapat dengan mudah. Tinggal jalan beberapa meter ke luar rumah.
Pagi ini aku memutuskan untuk menyantap gudeg favoritku. Jaraknya tak terlalu jauh memang, tapi cukup jauh untuk berjalan kaki. Lalu kuhidupkan mesin kendaraanku. Wuzzz, tak ada lima menit aku sudah berada di depan panci-panci berisi lauk panas.
“Biasa ya, Bu.” kataku pada ibu penjual yang disambutnya dengan anggukan ramah.
Seperti biasa, tempat itu cukup ramai. Aku harus sabar menanti hingga pesanan gudegku diracik. Si ibu berjualan seorang diri. Meracik makanan dan menyiapkan minuman. Tak ada tempat khusus. Ia duduk di atas sebuah bangku dengan meja berisi bahan dagangan di depannya. Di meja itu terdapat dua dandang besar berisi gudeg dan kuah sambal krecek ditambah sejumlah mangkok dan piring tempat pelengkap menu gudeg lainnya.
Sambil menunggu pesanan, aku melihat-lihat papan panjang di sana. Papan yang berwujud persis papan pengumuman di kampus atau di Balai Desa itu ditempeli berbagai judul surat kabar lokal. Inilah kerumunan yang paling ramai. Masyarakat datang ke sini tak hanya mencari makan, namun juga untuk memperoleh informasi dari surat kabar yang mereka baca.
Papan ini awalnya merupakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebuah Perguruan Tinggi di Yogyakarta yang bekerjasama dengan perusahaan media yang tertempel di sana. Terletak di pinggir sebuah jalan utama di bilangan Jogja Kota. Lokasinya yang di dekat lampu lalu lintas di dekat perempatan jalan besar Veteran membuat ia mudah ditemui.
Papan yang merupakan program Koran Masuk Desa (KMD) ini selalu ramai di tiap pagi. Tak hanya akibat gudeg yang nikmat, kerindangan tempat tersebut juga menjadi pilihan. Ia berlokasi di sebuah tanah kosong di pinggir jalan yang dinaungi sebuah pohon rindang. Pohon besar yang tak kutahu namanya itu benar-benarmemberi kenyamanan.
Pohon ini tak hanya menaungi KMD, namun juga sebuah pondok kayu berupa bale-bale berkontruksi panggung yang menjadi Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling). Di depannya terdapat deretan bangku panjang yang sangat nyaman untuk leyeh-leyeh. Menambah kenikmatan pelanggan gudeg.
KMD
Tak ada catatan tertulis kapan KMD pertama kali hadir di Indonesia. Yang jelas, papan-papan bertempel koran seperti ini tersebar di banyak daerah di nusantara. Tak hanya di perkotaan, namun juga di areal pedesaan. Ia menjadi salah satu instrumen penting dalam penyampaian informasi kepada khalayak. Inilah ide utama ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di masa Orde Baru (Orba) membangun KMD di berbagai daerah.
Bagi masyarakat desa, ia sangat membantu menyampaikan informasi mengenai kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut pembangunan dan perekonomian. KMD mampu mengobati dahaga masyarakat desa terhadap informasi ketika mereka tak dapat mengakses seluruh bentuk alat komunikasi-informasi. Bagaimana dengan masyarakat kota?
Masyarakat di perkotaan Indonesia masuk dalam kategori masyarakat yang mampu mengakses arus informasi secara utuh. Utuh, sebab memiliki instrumen komunikasi yang lengkap, mulai dari media cetak hingga elektronik. Meski begitu, bukan berarti bahwa papan-papan koran seperti itu tidak akan dilirik keberadaannya.
Terbukti padaku yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk membaca koran-koran di papan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hariku, aku sangat mungkin mengakses informasi lewat internet selama 24 jam sehari lewat jaringan yang terpasang di rumah, hotspot di kantor, hingga telepon selular di manapun aku berada. Aku juga berlangganan koran. Namun membaca papan-papan bertempel koran itu menjadi kenikmatan tersendiri bagiku. Bertemu dengan banyak orang, sarapan bersama, lalu memperbincangkan hal-hal umum yang kami baca di papan koran tersebut.
Arena Diskusi
Namanya, KMD, mungkin tak selalu relevan lagi sebab ia tak hanya berada di desa, namun juga di berbagai sudut wilayah perkotaan. Masyarakat kota mencarinya, seringkali untuk melihat iklan rumah atau tanah dan iklan lowongan pekerjaan yang tidak mudah menemukan informasinya di internet.
Terlepas dari alasan membaca koran diding tersebut, papan-papan koran ini mampu menjadi arena publik baru yang berprinsip sebagai centre of excellent, di mana semua orang, siapapun, dapat memperoleh dan berbagi informasi.
Siapa sangka bahwa dari sebuah papan koran ini tercipta sebuah diskusi berharga mengenai berbagai persoalan bangsa. Para pembacanya kerap berlama-lama di lokasi tersebut, selain untuk menikmati gudeg juga tertarik melibatkan diri dalam obrolan panjang mengenai hal-hal yang menjadi berita koran hari itu.
“Ini makanannya, Mbak” panggil si ibu penjual gudeg padaku.
Aah, makananku telah siap. Kuambil dan membawanya ke bangku depan Poskamling, menyusul beberapa orang yang sudah terlebih dulu di sana. Kami membicarakan kasus “Century” yang menjadi headline koran pagi itu. Beginilah caraku menikmati suasana pagi.
ADRIANI ZULIVAN
0 comments:
Post a Comment