Tuesday, February 28, 2012

Posted by adriani zulivan Posted on 11:46:00 PM | No comments

Emol





Aku tak ingat kapan kali pertamaku menginjak sebuah bangunan besar-mewah-megah bernama mal –mari menyebutnya dengan artikulasi khas lokal: emol. Besar-mewah-megah ini, jika dibandingkan dengan rumahku :)

Papaku pernah cerita tentang aku kecil yang pipis di sebuah emol di Medan, Sumut. Mungkin itu jaman-jaman awal aku menginjak emol, pertengahan tahun 80-an.

Aku yang lahir di Medan dan tumbuh di Aceh ini tidak terlalu sering merasakan emol. Di Kutacane, kota kecil tempat papaku bertugas, tak ada emol. Aku masuk emol hanya jika ke Medan, memang cukup sering ke Medan, minimal satu atau dua bulan sekali.

Bersama keluarga, aku ke Medan untuk mengunjungi Nambo (: kakek, Minang) yang menetap di sana. Hampir tiap ke Medan kami berkunjung ke emol. Biasanya sebelum kembali ke Kutacane, untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Semacam belanja bulanan.

Entah mengapa harus belanja ke emol. Mungkin karena di Kutacane tak ada toko yang lengkap, mungkin juga sekalian mengajak kami, anak-anak, untuk jalan-jalan. Yang pasti, di mobil akan penuh dengan mi instan, sabun, coklat, dan seterusnya.

*

Di Kutacane saat itu tak ada emol. Tiap tahun ajaran baru banyak teman sekolahku yang minta dibelikan alat tulis. Mereka titip uang, aku belikan di emol. Selain itu, keluargaku juga ke emol untuk beli buku (ke Pustaka Obor) dan makan ayam keriting pak brewok. Toko buku besar dan KFC juga tak ada di Kutacane.

Seingatku, hingga aku pindah ke Jawa, emol di Medan hanya sedikit: Deli Plaza (ini favorit keluargaku, selain dekat rumah, sepertinya juga merupakan emol pertama), Medan Plaza (jauh dari rumah), Olympia Plaza (sempat terbakar), dan Matari (CMIIW, lupa namanya; ini belakangan jadi emol favorit keluargaku, sebab lebih dekat dibanding Deli Plaza).

Oh iya, sebenarnya dulu aku tidak mengenal sebutan emol, tapi plaza, sebab semua pusat perbelanjaan besar-mewah-megah ini diberi nama “Plaza”. Orang Medan kerap melafalkannya dengan “plaja”.

Pertengahan tahun 1990-an mulai tumbuh berbagai minimarket di kota Medan. Beberapa diantaranya berlokasi di dekat rumah Nambo. Micky, ini yang kuingat.

Sebagai anak yang tinggal di kota kecil, aku suka emol, juga jenis toko swalayan lainnya yang  kala itu terkesan modern. Hahaha, ya demikianlah. Emolbuatku begitu luar biasa. Selain bisa membeli buku dna makan ayam keriting, di sana juga ada tangga jalan (eskalator) dan lift. Banyak orang Kutacane tidak tahu rasanya naik tangga jalan!

Saking hebatnya emol di benakku, kakakku—yang tinggal di Medan bersama kakek-nenek—sering menggodaku sampai membuatku marah dan menangis.

“Nih de, kaka beli di Micky,” kata kakakku suatu hari ketika dia berlibur ke Kutacane.
Melihat raut mukaku yang seperti iri sebab dia bisa kapanpun jajan di minimarket, dia makin menggodaku:
“Waktu papa ke Medan, kami ke Pustaka Obor,” godanya.
Aku diam.
“Trus, makan di Kentaki”
Aku diam.
“Semalam juga belanja di Deli Plaza,” sulutnya.
“Paaaaaaa, kaka ini Pa!” aduku pada Papa.
“Adenya jangan digangguin, kan kasian di sini gak ada Plaza,” sahut papaku

*
Kini, entah sejak kapan, aku menghindari emol. Bukan karena alasan “emol mematikan ekonomi kecil”, namun lebih ke ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan apa? Bukannya emol selalu sangat nyaman? Ah, inipun sulit kujelaskan.

21 Mal Baru Dibangun Tahun Ini. Begitu bunyi berita Kompas tadi. Yaampun, aku merasa makin kasihan dengan anak-anakku nanti, ketika mereka hanya mengenal emol, emol dan emol sebagai tempat bermain. Kata Jokowi, Walikota Solo tentang emol:

Kenapa kita harus mikir sebuah kota harus mall, harus mall, apa itu. Kepala daerah bangga kalau mallnya banyak, tapi saya tidak. Identitas dan karakter kota itu penting sekali. Karena ini membangun brand kota. Untuk branding kita harus memposisikan kota sebagai apa? diferensiasinya apa? Kita harus ngerti. Itu yang sering tak dibangun oleh pemimpin sebuah kota. Akhirnya setiap kota mirip-mirip, hampir sama.*)

Aku setuju. Untung aku tak lagi hidup di zaman ketika emol kuanggap ‘sesuatu banget’!


*) Sumber: Yahoo!

Friday, February 24, 2012

Posted by adrianizulivan Posted on 9:24:00 PM | No comments

Toponim Kota Yogyakarta

Toponim Kota YogyakartaToponim Kota Yogyakarta by Dharma Gupta
My rating: 5 of 5 stars

Bahasanya baik. Penggambarannya runut. Sangat berguna untuk mempelajari sejarah kampung-kampung Jogja.

View all my reviews
Posted by adrianizulivan Posted on 8:49:00 PM | No comments

Sriwijaya, Slamet Muljana

SriwijayaSriwijaya by Slamet Muljana
My rating: 3 of 5 stars

Baca ini karena memang benar-benar tertarik pada kisah Sriwijaya, pasca saya mengenal Kompleks Percandian Muarojambi. Tapi sayang, buku ini terasa seperti benar-benar co-pas laporan riset. Bagi pembaca awam yang memaksakan diri untuk membaca sejarah, seperti saya, buku ini terasa sangat berat.

Namun, terimakasih untuk penulis yang telah mendokumentasikan sejarah sepenting ini.

View all my reviews

Saturday, February 18, 2012

Posted by adriani zulivan Posted on 9:27:00 AM | No comments

Berburu Durian Merapi

Suasana Manisrenggo

Hari ini Ndil ada kegiatan ke Desa Deles dan Desa Talun di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dia mengajakku dengan iming-iming berburu durian.

Jadilah aku dan Ndil bertualang. Kami berburu ke wilayah lereng Merapi. Kabupaten Klaten dikenal sebagai salah satu daerah di Jawa Tengah yang memiliki durian sebagai hasil unggulan. Durian yang banyak dijajakan di jalan-jalan di Jogja pun biasanya didatangkan dari Klaten, selain Purworejo.

Di daerah Manisrenggo terdapat sebuah kebun durian yang dibuka untuk umum. Pengunjung tinggal membayar tiket masuk yang entah berapa rupiah, lalu bebas makan dan memetik durian sepuasnya. Informasi ini kami dapat dari Novi, teman kantor Ndil. Novi mengetahui kebun tersebut dari orangtua salah seorang teman sekolah anaknya *hah, ribet!* yang sudah berkunjung ke sana.

Kami tak mendapat alamat pasti lokasi yang dimaksud. Berbekal pengalaman Ndil bekerja dengan warga Merapi di sejumlah desa di Klaten dan hafalan rute ke lokasi-lokasi tersebut, kami pun berangkat. Diniatkan pukul 8, agar jikapun tak menemukan kebun tersebut, kami akan sempat berburu di Pasar Manisrenggo yang menurut Novi juga banyak duriannya. Rp 10.000 per buah, berjajar di sepanjang pasar. "Jangan kesiangan agar durian bagus tak keburu diborong pedagang," pesan Novi.

Satu dan lain hal memaksa kami untuk memulai perjalanan sejam kemudian. Semalam Ndil sudah menelepon Pak Jumarno, Kepala Desa Talun untuk urusan pekerjaan. Dia juga menyelipkan pertanyaan apakah beliau pernah mendengar tentang kebun durian tersebut. Ternyata beliau tak tahu, malah mengajak untuk mencari di desanya saja.

Dari Jogja, kami menempuh jalan Solo menuju Prambanan. Perempatan pertama di samping timur kompleks percandian Prambanan, kami berbelok ke kiri. Terus mengikuti jalan, sejam kemudian tibalah kami di 'pusat kota' Manisrenggo. Mampir di sebuah warung untuk sarapan. Pemilik warung juga tak pernah mendengar keberadaan kebun durian, malah menyarankan kami mencari ke Pasar Prambanan atau Pasar Kembang.

Di Pasar Prambanan memang terdapat banyak durian, namun harganya pasti lebih mahal dibanding harga jual di lereng Merapi, tempat di mana durian ini dikumpulkan dari kebunnya. Sedangkan Pasar Kembang adalah pasar besar di Kecamatan Kemalang. Pak Jumarno juga sempat menyebutkan pasar ini sebagai pasar kulakan (grosir) durian.

Dari pemilik warung, kami peroleh informasi tentang lokasi Pasar Manisrengo yang ternyata berada sekitar 1 km ke barat dari warung tersebut. Ke barat, berarti kembali ke arah Jogja. Kami pun memutuskan untuk mencari di Pasar Kembang saja, sebab pasar ini memang akan kami lewati dalam perjalanan menuju Deles.

Meneruskan perjalanan ke utara, tibalah kami di Pasar Kembang. Pasar ini terasa begitu ramai. Berbeda dengan kondisi di siang hari usai kegiatan pasar, pagi ini jalan yang terletak di depan pasar itu begitu padat. Jalan utama menuju Kecamatan Kemalang ini menjadi sempit akibat pedagang yang berjualan di badan jalan. Beberapa di antara pedagang ini adalah penjual durian yang kami cari.

Setelah sekali melewati jalan utama tersebut, kami berbalik lagi sebab tak menemukan tempat parkir. Tak mudah memarkir mobil, di pasar ini memang tak ada lahan parkir. Mobil diparkir seadanya di pinggir jalan, sedangkan motor di teras-teras toko. Kami sedikit ke timur, 300 meter menjauhi pintu utama pasar. Lalu berjalan kaki memasuki pasar yang pukul 09.30 itu mulai sepi di bagian dalamnya.

Menyusuri nyaris semua lorong, tak satupun pedaang durian kami temukan. Kami pun bergerak ke depan, menuju jalan utama tempat pedagang durian yang kami lihat tadi. Kami pilih pedagang dengan durian yang paling banyak. Awalnya si bu pedagang menawarkan Rp 25.000 per buah ukuran sedang. Aku menawar Rp 50.000 per lima buah dan ditolak. Cindil sempat berpikir bahwa tawaranku kelewat murah. Ketika mulai melihat-lihat di tempat lain, si ibu memanggil kami dan... parfum mobil pun berubah aroma menjadi durian :)

Kami habiskan dua jam di Deles. Setelah insiden terperosok di tanjakan menuju Talun, kami pun tiba di rumah Pak Jumarno. Di sana beliau ternyata sudah menyiapkan enam buah durian yang begitu dimasukkan ke bagasi langsung mengubah parfum mobil menjadi beraroma makin mantap.

"Wah, pasti matang di pohon tuh," kataku pada Ndil.

Numpang shalat, disuguhi teh dan berbagai cemilan, sejam kemudian pamit pulang. Di jalan Wonosari Jogja, mampir ke bengkel ketok magic. Kami berjalan kaki ke warung mie ayam di dekat bengkel, mengisi perut yang sudah berontak.

Bamper ditinggal, kami lanjutkan perjalanan pulang. O iya, rasa durennya tidak mengecewakan, lho. Meski dengan insiden kecil, petualangan berburu duren hari ini sangat seru :)

5 + 6 = 11 buah! :)

Ah, akhirnya ngeduren juga! Trims buat Ndil yang mau berburu durian meski tak ikut menikmatinya.



Friday, February 17, 2012

Posted by adriani zulivan Posted on 10:51:00 AM | No comments

Gagal, Berburu Durian Temanggung


Hari ini Ndil ada pekerjaan ke Temanggung. Karena menyetir sendiri, aku menawarkan diri (ahemmm) untuk ikut. Lagipula, di Jawa Tengah masih musim durian, pikirku.

Selama Ndil bekerja, aku sibuk googling mengenai potensi daerah Temanggung. Beberapa yang menarikku: Candi Pringapus, prasasti Gondosuli, dan kopi robusta juga sejumlah makanan tradisional. Namun, semuanya tak mungkin kutemui hari ini, sebab kami tak memiliki waktu panjang. Siang tadi kami makan di warung dekat Bali Desa. Ada menu Rica-rica Entok yang enak namun sangat pedas. Di warung ini, untuk pertama kalinya, Ndil melihat wujud jengkol yang siap makan :)

Durian tak kutemukan di direktori Google. Kutanyakan pada staf Kantor Desa, Temanggung memang tidak memiliki durian, biasanya didatangkan dari Magelang. Beliau menanyakan mengapa baru bertanya saat pamitan, sebab jika tidak, ia akan mencarikan urian ke tempat penjualan di tengah kota. Kandanga, desa yang kami kunjungi ini, terlateak di sudut kota, untuk mencapainya dari Magelang memang tak harus melewati pusat kota.

Pak Taufik, Staf Desa ini, malah tertarik untuk mencari bibit durian di daerah Kaliurang Jogja. Bibit yang dimaksud adalah bibit Durian Menoreh. Beliau ingin menanam di desanya.

Kami pulang dan berencana membeli durian di dekat Jembatan Kranggan. Jembatan ini terletak di ujung Kabupaten Magelang yang berbatasan dengan Temanggung. Di lokasi ini selalu ada pedagang durian di tiap musim tibaa. Lagipula, di seberangnya ada sebuah kebun pembibitan. Tadi saat berangkat kulihat sebuah pohon kelengkeng setinggi sekitar 1 m yang sudah berbuah. Ingin rasanya membawa dan menanamnya di rumah.

Namun sayang, akibat hujan yang tak berhenti sejak siang, kami melewati sesi durian jembatan. Lewat pula kelengkeng yang ranum. Ah tak apa, besok dijanjikan sesi berburu durian di lereng Merapi. Kita tunggu besok, ya! :)

Wednesday, February 15, 2012

Posted by adriani zulivan Posted on 10:45:00 PM | No comments

Cinta yang Besar





Kemarin aku begitu bahagia, bisa main lagi ke CC, lihat anak-anak, mama dan cucu-cucu :)
Dari CC, aku dan Ndil ke RK. Sebelumnya kita sempatkan belanja buah-buahan dan biskuit untuk bahan puding. Hummm, aku juga ditraktir eskrim sama Ndil :) Ya, sore ini kami bikin agar-agar!
Tadinya aku sempat membeli bubuk agar-agar bening. Akan kujadikan seperti sebuah etalase toko yang bening, tampak barang pajangan toko. Barang pajangan toko di agar-agar ini berupa buah-buahan dan bahan makanan lain yang akan kususun di dalamnya. 
Ini yang berhasil kami dapatkan dari Super Indo sore itu:
  • buah naga
  • melon
  • jeruk
  • rumput laut hijau
  • biskuit coklat selai
Tiba di RK pukul 4 sore, langsung bersiap untuk misi ager-ager. Ndil bersihkan rumah, aku bersihkan barang-barang dapur dan alat masak lain yang sudah lama tidak digunakan. Proses memasak sendiri butuh dua jam. Namun hasilnya tidak mengecewakan, meski ini adalah baru kali keduaku membuat puding, meski aku tak sempat membaca buku resep puding yang sudah kubuka sejak pagi.

Jika orang lain punya coklat dan bunga di Hari Kasih Sayang, kita punya cinta yang besar. Saking besarnya, susah dipotong... Begitu kata Twitter dan Facebook Ndil :)

Ah Ndil, kita tak pernah minat merayakan tanggal 14 Februari. Ini hanya kado untuk kamu yang sudah menemani aku sepanjang hari kemarin dengaan... membolos. Ya, kamu bolos! :)


Malam ini di Twitter dan Facebook Ndil:

Semalam (14/02), mendapat cinta yang besar dari Adriani Zulivan. Saking besarnya, susah dipotong :)) 


Trims, sayang! 
*orang bolos kok didukung :)
Posted by adriani zulivan Posted on 12:01:00 PM |

Gummy Candle Shop

I don't know how is Bahasa Indonesia translate the words "gummy candle". In Indonesia, it is popular with "Yuppie", but it is not its name, but the name of the product given by the factory, like "Pilot" for pen.I've been googling and find it out as "Juppy", here.

Ya, whatever you called it. I don't like this kind of gum since I was a little kid. It is like... hummm, hard to explain, I just don't like it even they are always there in my home. My parent buy them since my siblings love it.

In Singapore, I saw so many shop sells it. At the market, station, restaurant, shopping mall, anywhere. I like to see the design. It is not just ball, tetragon, or triangle like you can find in Indonesia, but any shape. Youy name it. They are displayed in attractive containers, also.Who's not interested in buying, then?

At MRT station
At 7-11 shop

Mlekom,
AZ

Thursday, February 9, 2012

Posted by adriani zulivan Posted on 2:27:00 PM |

Spice Brasserie, the Spice of Singapore




My friend and I are lucky when we got Parkroyal on Kitchner Rd as our place to stay for this weekend in Singapore. One of the lucky thing is that we can get great food here for our breakfast, in one of the restaurant of this hotel called "Spice Brasserie".

You can find many flavour of different tribe in Asia, like the taste of food from Malay, India, China. You can also find western taste. Call it Singapore, the place where you can find every ethnics!

Me and Echa

It's hard to find Indian food which has good taste in Jogja. Great that I find it here. Too bad that Echa --my friend, a Javanese-- does not like it. She eats western food everyday. "This taste is more familiar to me than Indian," she said when she tried curry.

Me? I like it so much. There are many Indian in Medan, so some of the local food gets influence of Indian spice. Oftentimes, my mom cook lamb curry with special 'netty bread' from wheat like the pic below.

Pic from here.

Mlekom,
AZ

Posted by adriani zulivan Posted on 12:18:00 PM |

Ice Cream Corn with Whitebread

Corn flavour with bread. Yummm...
Man! I am happy to live in a city where you can do walking without barrier. I mean, hard to do it in big cities in Indonesia, since the street-vendor make the sidewalk paving as place to display their goods.

Ow man, do you know what will a city like without street-vendor?
For me, it rather means that you have to taking care of your stomach before you go. Since street-vendor is banned in Singapore, you can't feed your stomach anywhere.

But man, you can find ice cream seller in many corner, just like you can find Abang Bakso in Indonesia (yeah, not that many, indeed). But they are not selling on the sidewalk, but on area of something, like shopping mall, market, park.

It is Wall's bicycle cart. They sell many ice cream flavour, like chocolate, vanilla, corn and durian, serve on horn or whitebread. It remainds me about ice cream in Medan, my Mom's favourite: The corn icecream. You can't vine corn ice cream easily in Jogja. It is also not common in Jogja to eat icecream with slice of whitebread, even there are many ice cream cart provide chopped whitebread with pearlsago.

Tulilut, tulilut... Remember the Wall's jingle?

Back to the ice cream here. For SGD 1.20 you can get a portion of ice cream as big as a half slice of whitebread. The taste is good, very different with the Wall's in Indonesia. I like it.

Man, it's like going back to Medan, my hometown...

Mlekom,
AZ
  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata