Friday, August 29, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 1:15:00 PM | No comments

Kamu Binatang dan Masuk Anjing


Seorang bos bulek yang baru belajar Bahasa Indonesia, mendatangi karyawannya. 

Bos: Kamu benar-benar BINATANG! 
Staf: *bingung* salah saya apa? 
Bos: ? 
Staf: ... 
Bos: I mean, you are a star. 

Maksud hati memuji kerja karyawanya... 

*
Cerita lain. Seorang teman Jepang, bersin-bersin. 

Aku: Kamu flu? 
Dia: Tidak, saya hanya sedikit masuk ANJING. 
Aku: *ngakak abis*

Gambar kueh chocolate mousse di farewell party si bos bulek siang ini. 

Mlekom,
AZ

Monday, August 25, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 12:12:00 PM | No comments

Paint the Office Red and White



Paint the Office Red and White
Lebaran, Pilpres dan HUT RI Berbalut Merah Putih

Peringatan Hari Kemerdekaan RI tahun ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Selain berdekatan dengan momen Hari Raya Idul Fitri, juga pasca Pemilihan Presiden RI. “Saya terpikir untuk membuat acara kekeluargaan, sekaligus halal bil halal usai Lebaran. Perbedaan pilihan calon Presiden RI beberapa waktu lalu sempat pula membuat jarak antar kita,” jelas Syane Luntungan, Office Manager Program EMAS Jakarta yang menggagas agenda ini.

Dibawah tema “Paint the Office Red and White”, berbagai masukan hadir untuk menyemarakkan peringatan ini. Sushanty, Senior Program Manager, usulkan agenda nonton bareng film “Inerie Mama yang Cantik”, tentang tingginya tingkat kematian ibu melahirkan di Flores. Peserta diwajibkan berpakaian nuansa merah-putih. Dengan iming-iming hadiah bagi padu-padan busana paling kreatif, obrolan tentang kostum menjadi santapan wajib jelang Hari-H.

15 Agustus 2014. Hari yang dinantikan pun tiba. Lampu penerangan di ruang rapat dimatikan, berondong jagung dan minuman bersoda dikeluarkan. Semua untuk mendukung terciptanya suasana bioskop. Ruangan penuh makanan, semua orang membawa makanan masing-masing untuk berbagi (potluck). 

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, penjurian kostum paling kreatif. Lenny Trisnandari, HR Manager dan Dian Widjanarko, IT Manager bertindak sebagai juri. Evodia Iswandi, Senior Advisor for Scale Up and Outreach, keluar sebagai pemenang. Baju merah dan rok putih dengan aksesoris tas dan sepatu berwarna merah, membuat Bu Evo terpilih. Hadiah berupa coklat pun diberikan padanya.

Inilah nuansa lebaran, pilpres dan HUT RI, dalam balutan merah-putih. Merdeka!

[AZ]

Friday, August 22, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 10:12:00 AM | No comments

Bapakku (yang) Bukan Zulivan



Aku terlahir dari seorang bapak bernama Zulivan, yang kupanggil Papa. Meski begitu, ada bapak lain dalam keseharianku. Seorang bapak yang kupanggil Bapak...
Petugas kebingungan dengan permintaan ayahnya. Dissa diharuskan mengikuti seluruh tes untuk mendapatkan SIM. Awalnya petugas hanya mensyaratkan serangkaian tes sebagai sesuatu yang disebut ”formalitas”. Sang ayah bersikeras bahwa mahasiswi semester dua ini harus ikuti seluruh proses, sesuai aturan yang berlaku.

Petugas bingung. Mengingat siapa sang ayah, mestinya Dissa hanya tinggal mendaftar lalu pulang dengan SIM di tangan. Dengan mudah. Tanpa tes ataupun menyuap petugas. Ini yang membuatku tak heran, jika 
seorang Danang Parikesit, ayah Dissa, mendapat penghargaan sebagai "Pelopor Keselamatan Berlalu-lintas" tahun 2013 lalu. 

Biasanya Dissa ke kampus naik sepeda. Belakangan ia membutuhkan kendaraan untuk mengangkut maket arsitektur bangunan yang dibuatnya. Tak seperti kampus-kampus di luar negeri, Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak memiliki studio/bengkel representatif bagi mahasiswanya untuk mengerjakan maket. Akibatnya, mereka harus membuat di rumah lalu membawa hasilnya ke kampus. Jika harus membawa maket, maka Dissa harus meninggalkan sepedanya, dan mengendara city car sederhana pemberian ayahnya itu.


Hope and Dream
Perkenalanku dengan Dissa diawali dengan obrolan tentang sebuah program. Suatu hari Pak Danang, begitu aku memanggil ayahnya, bilang ingin menabung untuk mengisi masa pensiun. Tabungan ini bukan berupa deposito atau sejenisnya, melainkan tabungan akhirat lewat kegiatan sosial.


Idenya berawal dari obrolan bapak-anak ini. Lalu mereka mencari orang yang dapat membantu menerjemahkan ide tersebut. Disanalah aku berperan. Lalu di tahun 2012 muncul Hopes and Dreams Indonesia (HDI), nama yang kami sepakati untuk mewadahi program ini.


Nama yang unik. HDI memokuskan diri pada upaya untuk mencari pribadi atau kelompok yang memiliki mimpi (dreams) dan mempunyai harapan (hopes) kuat untuk mewujudkan mimpinya. Nama ini lalu diterjemahkan dengan menemui pihak-pihak yang kami nilai memiliki kriteria HDI.



Gus Nas (Pesantren Ilmu Giri), Mas Saptu, Pak Danang dan aku.
Kedua foto milik Mas Saptu di sini dan sini.
Diantaranya adalah Saptuari Sugiarto, pengusaha asal Yogyakarta yang mendirikan Sedekah Rombongan untuk membantu warga kurang beruntung yang kesulitan berobat. Dari Mas Saptu--begitu ia biasa dipanggil--kami dikenalkan dengan Mbak Putri Herlina, seorang tuna daksa berprestasi dari Yayasan Sayap Ibu.
Bersama Mbak Putri Herlina.
Bersama ibunda Mas Saptu, di Yayasan Sayap Ibu.


Bersama anak-anak Ledhok.
Selanjutnya mengunjungi komunitas Ledhok Timoho yang menjadi area mukim pemulung, Yayasan FSG Tuna Bangsa yang mengurusi anak-anak penderita kanker di RS Sardjito, menemui anak penderita hydrocephalus yang diajak mengemis oleh ibunya di Magelang, Jawa Tengah, dan berbagai kegiatan lain.


Di bengkel UCP.
HDI kemudian berperan aktif dalam sejumlah kegiatan terkait warga berkebutuhan khusus (difabel); Seperti ikut berperan dalam perjalanan Sri Lestari, seorang paraplegia pengguna sepedamotor modifikasi dalam tur Jawa-Bali; ikut andil dalam peringatan Disability Day 2013, hingga mengawal proses pembuatan SIM khusus bagi pengendara sepedamotor modifikasi di Yogyakarta.

Tampaknya ini akan menjadi agenda masa pensiun yang menyenangkan, sekaligus tabungan akhirat yang lumayan, ya.


Soal Transportasi
Berbicara tentang akhirat, tentu bicara tentang kematian. Tahun 2007 lalu Pak Danang menjadi salah satu target utama kelompok tertentu di Yogyakarta. Ia yang saat itu menjadi Ketua Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, disebut-sebut akan dibunuh kelompok yang tidak menginginkan terwujudnya Malioboro Yogyakarta sebagai kawasan pedestrian. Mengapa? Silahkan baca buku hasil penelitiannya.


Penolakan atas pemikirannya di bidang tata transportasi tak hanya berakhir di situ. Beberapa tahun terakhir, Pak Danang menentang rencana pembangunan 6 ruas tol dalam kota dan proyek deep tunnel di Jakarta. Hingga hari ini, dua proyek tersebut masih menjadi diskusi parapihak.


Perhatian Pak Danang tidak hanya pada persoalan transportasi di kawasan urban. Dalam sebuah konferensi di Jepang, tim JALIN Merapi--komunitasku--bertemu dengan Ibu Dewanti. Ia memaparkan persoalan transportasi di lereng Gunungapi Merapi. Ada nama Danang Parikesit di slide presentasinya. Ternyata, ia adalah mahasiswa doktoral bimbingan Pak Danang. Akhirnya kami bersua di Desa Kemalang yang berjarak 4 kilometer dari puncak Merapi.

Bu Dewanti menceritakan alasan ketertarikannya meneliti Merapi. Keterbatasan angkutan umum yang sebabkan sepedamotor menjadi moda paling banyak peminat. Bocah-bocah tak cukup umur yang mengemudi sepedamotor. Anak-anak sekolah yang gelayutan di bak-bak truk untuk pulang ke rumah. Hingga persoalan jalan bolong di sepanjang jalur evakuasi.


Pak Danang pernah meneliti hal ini, lalu menyarankan Bu Dewanti untuk mendalaminya. Akhirnya Bu Dewanti jatuh cinta pada Merapi. Ia kerap mengajak putranya ikut serta, untuk melihat kehidupan warga dan keindahan alam setempat.


Bersama Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Pak Danang juga membahas persoalan angkutan antar pulau di kawasan terpencil. Dari tahun ke tahun, urusan mudik Lebaran pun selalu mendapat perhatian khusus organisasi ini.


Mudik Lebaran tahun 2011 bisa jadi merupakan pengalaman berharga buat Pak Danang. Saat itu ia habiskan banyak waktu untuk memantau proses pembangunan jalur Nagreg. Merelakan banyak masa libur yang mestinya menjadi hak keluarga. 



Keluarga
Di samping kesibukan sebagai Ketua MTI dan Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum, ia selalu ciptakan akhir pekan menyenangkan bersama keluarga dan kerabat di Yogya.





Pagi akhir pekan sering dihabiskan dengan bersepeda atau memasak bersama. Keluarga ini kerap pula mengundang mahasiswa ke rumah, untuk main musik bersama. Meski biasa memegang bahan konstruksi bangunan berat, Pak Danang juga mahir memainkan berbagai alat musik tiup. Dengan kemahiran lain para tamunya, jadilah sebuah konser orkestra kecil di rumah.






Aku sendiri merasa beruntung bisa mengenal Bu Dani, istri Pak Danang yang sempat menjadi Wakil Dekan di Fakultas Hukum UGM ini. Banyak pelajaran darinya tentang merawat keluarga, dengan suami yang memiliki sedikit waktu untuk keluarga. Bersama kedua putri mereka, aku kerap diundang makan bersama sambil membicarakan program kami di HDI. 


Galak
Perkenalanku dengan Pak Danang berlangsung sejak enam tahun lalu. Di samping kuliah, saat itu aku menjadi Staf Honorer di Bidang Kolaborasi Riset Internasional pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM. Saat itu, Pak Danang menjabat sebagai Ketua LPPM. Masa-masa menjadi staf ini bukan pengalaman menyenangkan. Pak Danang adalah seorang perfeksionis, sehingga sangat galak dengan seluruh stafnya. 
Tiap detil pekerjaan selalu ia pantau. Ia akan menunggui koreksi pekerjaan yang belum beres, hingga tengah malam di kantor. Yang tidak kuat dengan cara kerjanya, biasanya akan mengundurkan diri.

Aku pernah bikin heboh 80-an pegawai LPPM, hanya karena menyapa pejabat dengan gelar yang salah, dalam surat elektronik. Pak Danang langsung memerintahkan Kepala Bidang untuk menarik surat tersebut. Menarik surat elektronik? Mana bisa! Bu Kabid lalu meminta maaf kepada pejabat ybs, lalu mengingatkanku. 

Apa tindakan yang dilakukan Pak Danang padaku? Menyindir,  dengan berbagai pertanyaan terkait pengetahuan umum: Siapa nama menteri ini, siapa nama pejabat itu, apa nama ini dan itu, dan sebagainya. Ini berlangsung sekitar 5 menit. Terjadi di pagi hari, begitu aku tiba di kantor, setelah mudik akhir pekan yang nyaman bersama keluarga di Jakarta. Hiks :(


Segalak-galaknya Pak Danang, ia peduli pada stafnya. Tiap ulang tahun, kami mendapat kue tar yang diedarkan ke seluruh ruangan. Bahkan, seluruh staf LPPM—mulai dari Ketua sampai staf honorer, mendapat kesempatan wisata ke Bali pada 2010 lalu. Untuk pertama kalinya, pegawai LPPM diajak 'plesir' jauh. Meski dalam rangka rapat kerja, perjalanan ini menyisakan kenangan khusus bagi stafnya, apalagi para pegawai rendahan seperti Office Boy.


Coba hitung, sudah berapa kali aku menggunakan kata “galak” untuk mendeskripsikan seorang Danang Parikesit? Bagaimanapun, aku merasa mendapat pelajaran berharga tentang tanggungjawab kerja dari sosoknya. Oh ya, meski galak banget (nah lho, dipakai lagi kata ini), ia adalah seorang pemimpin yang fair, bersedia mengakui kesalahan dan mau mendengar saran orang lain, termasuk saran dari bawahan

Dalam banyak obrolan antar staf di LPPM, disimpulkan bahwa Pak Danang merasa nyaman bekerja dengan staf yang berani berargumen, tidak sekedar berprinsip "asal-bapak-senang". Meski karirku di LPPM tak berlangsung lama, aku dan seorang teman lain bekerja sebagai Asisten Pribadi beliau. Kami berdua dikenal sebagai orang keras kepala, cukup sepola dengan cara kerja Pak Danang.


*
Dalam perjalanan sebagai asisten pribadi, aku tetap mengalami tekanan kerja yang sama berat dengan semasa di LPPM. Saat masih mengeringkan rambut di suatu pagi, Pak Danang ’teriak’ di BBM, minta kami segera menemuinya di restoran hotel. Tentu butuh perjuangan untuk mencapai hotelnya dari hotel kami--hotel para asisten tentu tak sama jumlah bintangnya dengan hotel yang ditempati Pak Danang--di tengah suasana pagi kota Surabaya yang teramat macet.


Aku terpaksa menjinjing higheels untuk dapat berlari. Setelah tiba di restoran, kami dipersilahkan duduk, di antara pejabat MTI lainnya. Lalu ditanya apakah sudah sarapan. Kujawab belum lalu disuruh sarapan dan duduk di meja itu kembali. Kuambil makanan seadanya, agar cepat. Sambil makan, aku di-brief agar ikut pertemuan dengan Gubernur, sebagai persiapan kedatangan Presiden di acara kami.


Aku hanya menjawab OK, Pak. Baik, Pak. Ya, Pak. Malah dimarahi: ”Apa kamu ingat jika tidak ditulis?” Arrrgh... ”Apa Bapak mau menyuapi makanan ini, sementara tangan saya menulis?” tanyaku dalam hati. Akhirnya aku berangkat sendiri hanya diantar sopir. Asisten lain disuruh mengerjakan pekerjaan yang tak ada habisnya.


Meski demikian, usai suatu pekerjaan panjang, kami tak luput dari perhatian. Para asisten selalu berhak memilih tempat makan yang kami inginkan. Kami juga diizinkan memperpanjang masa tinggal, jika sedang perjalanan kerja ke luar kota atau luar negeri. Kurang galak apalagi, coba? :)

Tanggung jawab
Masih banyak cerita deg-degan lain, yang membuatku terus belajar arti tanggungjawab. Termasuk tanggungjawab untuk beribadah. Meski kesibukan teramat-sangat, Pak Danang selalu mengerjakan kewajiban lima waktunya. Dalam sebuah perjalanan, aku bingung mengapa ia tiba-tiba diam di bangku pesawat. Ternyata sedang tayamun dan shalat.

Sebagai perempuan, tentu aku mengenakan riasan wajah lengkap di tiap pertemuan penting pekerjaan. Ini biasanya membuatku malas shalat, sebab wudhu akan merusak riasan. Dengan bos yang rajin shalat dalam situasi apapun, aku menjadi malu. 

Beliau juga kerap mengimami shalat di kantor. Dalam suatu sore akhir pekan, kami harus rapat di kantor. Sebab Pak Danang bersepeda mengenakan celana ¾ dan tidak membawa sarung, maka ia mengenakan rok putih bagian bawah mukena yang ada di mushalla. Hahaha...

Dosen
Sebaliknya, sebagai dosen Pak Danang tidak pernah mendapat julukan ’killer’ atau sejenisnya. Banyak mahasiswa dekat dengannya. Bahkan hingga mereka melanjutkan kuliah di negeri orang, banyak yang menyempatkan bertemu ketika sang dosen sedang melawat ke sana. 


Bersama mahasiswanya.
Satu yang mengagumkan pada sosok Pak Danang sebagai akademisi adalah, produktivitasnya dalam menulis dan ikut konferensi. Sila cek jurnalnya di https://danangparikesit.wordpress.com/ dan aktivitasnya sebagai blogger tetap di Tempo.


Atas: Tim basket versi reuni. Bawah: Tim Putri UGM.
Kedekatan pada mahasiswa tak hanya terjadi di kelas perkuliahan. Pak Danang yang semasa mahasiswanya masuk dalam Tim Basket UGM ini, kini menjadi penasehat di klub tersebut. Kegiatan lain bersama anak muda dilakukan lewat Pondok Alam Hifzhul Bi’ah, sebuah pesantren berwawasan lingkungan yang dikembangkan bersama sejumlah pendidik lain.

Menteri
Di paruh kedua pemerintahan SBY, nama Pak Danang disebut-sebut dalam daftar calon menteri. Meski saat itu telah menjabat sebagai Chairman of the Executive Committee dan Board of Directors dari the International Forum for Rural Transport and Development (IFRTD), ia tak terlalu serius menanggapinya. Dalam pertemuan awal Juli lalu di Jakarta, aku sempat bertanya bagaimana jika Bapak masuk ke dalam kabinet Presiden baru? ”Saya selalu bilang, kepada siapapun. Saya akan selalu membantu pemerintah, dimanapun posisi saya.”



Sumber: @Jokowi_Ina di sini.
Sepekan kemudian muncul tiga jajak pendapat dari tiga lembaga bonafid, yaitu ”Polling Menteri Kabinet Alternatif Usulan Rakyat” dari Jokowi Center, Kabinet Rakyat 2014-2019" dari PDI-P dan ”Prediksi Susunan Kabinet Jokowi-JK 2014-2019” dari Indobarometer. Pada ketiganya muncul nama Danang Parikesit. Pekan lalu muncul hasil polling internal tim Jokowi-JK, Presiden dan Wapres terpilih—seperti dapat dilihat pada gambar atas, dimana Pak Danang memperoleh suara terbesar.

Sebagai orang yang sudah dinggapnya sebagai anak dan telah menganggapnya sebagai bapak sendiri, tentu aku ikut bangga. Kebanggaan lainnya tentu saja dari urusan romantisme berupa satu almamater di UGM dan satu kota tempat tinggal di Yogyakarta. Ini merupakan hal remeh-temeh yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tak beda dengan kebangganku di hari pertama Pemilihan Presiden Agustus lalu, saat nama Jokowi keluar sebagai pemenang versi hitung cepat. Jika nantinya resmi terpilih, Jokowi akan menjadi alumni UGM pertama yang menjadi RI 1. Hari itu Mars UGM ’menggema’ di media sosial. Bakti kami mahasiswa Gadjah Mada semua...


Sosok
Bagi yang belum mengenal sosok Danang Parikesit--selanjutnya kita sebut dengan DPR--mari kuberitahu mengapa ia pantas menjadi seorang Menteri Perhubungan--sebagaimana tersebut dalam ketiga polling, dibanding kandidat lain:

  1. Merupakan ahli di bidang perhubungan, baik dalam kaitannya dengan transportasi serta sarana-prasarana terkait. Membandingkan dengan calon lain, ini analisa permukaanku: DPR memahami isu transportasi, tak hanya soal perkeretaapian, angkutan udara, ataupun keselamatan transportasi. Ia memahami persoalan transportasi dari hulu ke hilir.
  2. Mempunyai perhatian pada isu perkotaan dan perdesaan. Salah satu hasil yang sangat menarik minatku adalah aplikasi tentang kondisi jalur pedestrian bernama Walkability ini.
  3. Ini yang terpenting: DPR seorang yang jujur dan masih idealis. Dalam pertemuan dengan Pak Marco Kusumawijaya akhir pekan lalu, ini pendapatnya tentang DPR sebagai kandidat menteri: Danang baik, nggak ada yang salah dengannya.
Ini tentu saja tafsir personal, hasil pembacaan atas kedekatan hubungan personal. Ingin  menyebut ini sebagai kampanye? Silahkan, siapapun bebas memaknai. Toh cerita seorang Adriani Zulivan tak akan pengaruhi proses Jokowi memilih para menterinya, bukan? :)

Ini hanya ceritaku, tentang bapakku yang bukan bernama Zulivan. Satu yang pasti, aku mengenalnya dengan baik. Dengan tulisan ini, kuharap kalian juga dapat mengenalnya dengan baik.

Bagi Pak Joko dan Pak Jusuf, selamat memilih pembantu untuk lancarkan proses pelaksanaan tugas di lima hingga sepuluh tahun mendatang. Aku padamu! :)


Mlekom,

AZ


Catatan: Kecuali yang menyertakan keterangan sumber, seluruh foto diambil dari akun Facebook dan Twitter Pak Danang, serta koleksiku pribadi.


Thursday, August 14, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 3:53:00 PM | No comments

Colorfun Cendol Medan


Rindu kali aku sama Cendol Medan. Mamakku malas bikin, karna susak kali nyarik cendol beras di Yogya ini, yang banyak cendol sagu. Nggak enak kata Mamakku. Saking kepingin kali, kucari-cari lah esepnya di Gugel. Cobak ko bikin pakek kata kunci yang sama dengan judul di atas, pasti keluar banyak. Jadi kuambek beberapa, jadilah resep ini.

Pada nggak ngerti ya? :p Itu bahasa Medan, kakak!
Pekan lalu ada arisan di rumah. Lalu Mama ke Jakarta, meninggalkan banyak bahan makanan yang potensial membusuk jika nggak diolah. Salah satunya bahan-bahan pembuat Es Buah yang disajikan di arisan itu.Kalau buah sih bisa dimakan begitu saja. Kalau cincau, kolang-kaling dan gulamerah cair? :)

Jadilah kepengen mencendol-ria. Setelah dapat resep di inet, aku belanja di Pasar Kotagede, cari cendol (dawet kata orang sini). Sudah pasrah kalau ketemunya cuma cendol sagu, bukan beras. Aku nggak tau juga di mana ada penjual cendol beras. Mau bikin sendiri belum pede, takut nggak bagus.

Di pasar ini ada beberapa penjual cendol mentah. Cendol sebenarnya nggak ada yang mentah sih, kan sudah jadi tinggal pakai--adanya, cendol yang belum di racik. Aku beli cendol sagu sebungkus hanya Rp 1.000 saja (beratnya sekita 300 gr). Yang tersedia ada wana putih (tanpa pewarna), merah dan hijau. Sempat bimbang pengen beli yang hijau (sesuai dengan 'syarat' cendol Medan yang biasanya diwarnai hijau daun suji dan pandan), tapi lihat pewananya nggak berani. Akhirnya beli yang purih, nanti diwarnai sendiri di rumah, dengan pewarna makanan.

Jalan ke tengah, ada Mbah-mbah pedagang dawet siap minum. Dawet yang sudah diracik itu terbuat dari cendol beras. Aku tanya, apakah boleh dibeli hanya cendolnya saja, Simbah bilang boleh, mau berapa? Ternyata stoknya di baskom masih ada dan nggak dibungkus, kusebut Rp 2.000 diberi sebungkus dengan ukuran sama dengan bungkusan cendol sagu seharga Rp 1.000. Rasanya bahagia banget, meski cendolnya jadi kebanyakan. Hahahahaha, tak ape lah!
Kiri: beras. Kanan: sagu.
Bahan-bahan lain juga kubeli di sana. Coba kucatat dengan harganya, ya.

Bahan:
  • 300 gr cendol sagu | Rp 1.000
  • 300 gr cendol beras | Rp 2.000
  • 300 gr kacang merah | *
  • 100 gr biji delima/manik-manik sagu | Rp 3.200
  • 200 gr nangka manis | Rp 2.500 (ini murah banget. Di lapak Timoho dan Kotabaru, per ons Rp 6.000)
  • 200 gr tape singkong | Rp 2.500 dapat sebungkus berat hampir 450 gr
  • 300 gr kolang-kaling, rebus sebentar | *
  • 300 gr cincau/camcau | *
  • 250 ml santan dari 1/2 butir kelapa | Rp 3.500
  • 1 sdt garam
  • 2 lembar daun pandan | gratis, ditanam di halaman
  • 300 gr gula merah | Rp 4.500
  • 300 ml air
  • Susu kental manis | Rp 7.000 per kaleng, nggak habis satu kaleng
  • Pewarna makanan | *
  • Es batu
Tanda * artinya aku nggak tau harganya, sebab sudah tersedia di rumah.
Searah jarum jam: nangka, sagu mutiara, cendol beras, cendol sagu, kacang merah, cincau. Tengah: Tape.
Cara:
  • Masing-masing cendol masukkan dalam dua wadah berbeda, beri pewarna. Biasnaya cendol warna hijau dan merah. Kali ini, warna merah kuganti ungu, sebab biji delima sudah berwarna pink. Beri 1-2 tetes pewarna. Rendam 15 menit sampai warna benar-benar rata. Bilas dengan air matang. Tiriskan.
  • Lakukan hal sama pada kolang-kaling.
  • Rendam kacang merah sekitar 3 jam (lebih lama lebih baik), lalu rebus sampai benar-benar empuk. Tiriskan.
  • Rendam biji delima sampai mengembang, lalu rebus sebentar sampai menjadi bening. Sisihkan.
  • Masak santan + garam dengan api kecil. Masukkan 1 lembar pandan. Aduk terus agar tidak pecah santan. Matikan api jika sudah mendidih. Dinginkan.
  • Iris-iris gula merah agar mudah lumer. Masukkan dalam rebusan air + 1 lembar pandan, aduk sampai rata. Saring. Dinginkan.
  • Potong dadu bahan-bahan ini: kolang-kaling, nangka, singkong, cincau.
Penyajian:
  • Tata semua bahan di mangkok/gelas saji.
  • Siram dengan kuah santan.
  • Berita es, baiknya es serut. Namun jika tidak punya serutan, bisa pakai es blok dari cetakan kulkas (aku pakai ini) atau es batu yang dipecah-pecah.
  • Di atasnya, siram gula merah dan susu.
Di gambar lupa naroh kolang-kaling. Hari ini, esnya sudah bertahan di hari ketiga, gegara di rumah sepi nggak ada yang makan. Bahan-bahan tetap bertahan baik jika disimpan dalam wadah terpisah. Panaskan santan tiap ingin digunakan (tunggu dingin saat akan disajikan).

Colorful cendol, so much fun. What a colorfun! :)

(bahasa inggerisnya "cendol" apa, kakak?)

Mlekom,
AZ


Monday, August 11, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 10:04:00 PM | No comments

Mie Keling/Rebus Medan


Jangan pulak ko tanyak sama aku, mana makanan paling enak di dunia. Karna, nantik bisa protes aku sama si CNN itu. Masak dibilangnya rendang! Sini cobak kubilang dulu sama kao, Mie Keling Medan inilah yang enak kali!

Udahan ah, ngomong Medannya. Nanti kalok gak adak yang ngerti, buat apalah pulak aku tulis ini! :p

Jadi gini, meski setengah darahku adalah Minangkabau, buatku rendang bukan makanan terenak sedunia. Meski Mamakku lebih sering masak rendang, buatku Mie Keling inilah juara selera!

Mie Keling. Disebut begini konon karena dua alasan. Satu, warnanya hitam, keling (kata orang Jawa: ireng geteng). Dua, karna yang jual orang Keling (orang keturunan India), yang jumlahnya banyak di Kota Medan, sampai ada Kampung Keling.

Nama lainnya Mie Rebus Medan. Ya sukak-sukak kao ajalah, mau nyebut macamana. Yang penting, ko catat cara bikinnya ini. Akupun cuma nyontek nya, dari mamak-mamak orang Medan ini. Aku cuman gak pakek tomat aja, dan gak ada mie lidi di Jogja ini. Aku cumak mau ngasih resep sambal cabe rawit yang disebut di resep itu saja.

Bahan:
10 cabe rawit merah
3 bawang putih
1/2 jeruk nipis

Cara:
Goreng cabe dan bawang, lalu angkat, haluskan dengan blender/ulekan. Tambahkan sedikit garam dan perasan jeruk nipis.

To ko cemana rasanya Mie Keling ni? Macam dibawak keliling dunia sama CNN! Inilah Makanan terenak sedunia. Versiku lah pulak! :)

Mlekom,
AZ

Posted by adrianizulivan Posted on 7:57:00 PM | No comments

Pengen Nyubit Orang Jepang


Aku nggak pernah pakai MSG dalam bahan masakan. Yang namanya kaldu instan itu enak banget, bikin kerja ringan. Memang. Tapi aku nggak pernah mau pakai vetsin, kaldu bubuk/blok, perencah, dan beragam nama lainnya. Kalau masak sih bisa bebas bahan berbahaya ini, nah kalau makanan beli?

"Tanpa vetsin ya, Mas." begitu selalu pesanku di warung baso/mie ayam/soto. Biasanya, ketiga jenis makanan ini kan akan ditambahkan vetsin di mangkok saji, sebelum diberi kuah. "Tapi ini di baso dan kuahnya sudah ada vetsin Mbak," biasanya gitu kata Mas-masnya."GPP, gak usah ditambahin lagi."

Untungnya, aku bukan bangsa rewel dengan pervetsinan ini. Aku cenderung nggah ngeh kalau di makanan ada atau nggak ada vetsinnya. Jadi kalau dibohongin ya bisa aja, hehehe. Aku baru tau makanan bervetsin, jika porsi vetsinnya keliwat banyak. Rasanya jadi kaya bumbu indomi. Biasanya di kripik-kripik gitu.

Ngomong soal kripik bervetsin, ada cerita mengagetkan dari suatu desa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Nggak usah pakai nama desanya ya, ini soal perut banyak umat sih :) 

Ceritanya, aku lihat proses pembuatan kripik singkong (orang sana menyebutnya "criping"). Ternyata, mereka samasekali nggak pakai bawang (biasanya bawang putih) dan bumbu lain. Hanya garam dan... Royko. Royko ini adalah perasa bubuk yang paling populer kedua di Indonesia setelah Ajinomoto (sepertinya sih, survey ala aku saja). Kenapa nggak pakai bumbu basah? Nanti minyaknya kotor, hitam. Jadi nggak hemat. Gitu katanya. Mengagetkan, ya.

Nah, kesulitanku mencicipi rasa vetsin juga membuat aku gak paham omelan temanku pecinta vetsin yang bilang, "aduh, rasa bumbunya kurang vetsin banget nih!" atau "Tadi vetsinnya kebanyakan, aku sampai pusing gini," buat yang nggak tahan vetsin. Beruntung ya aku! Mmmm, semoga! Soalnya, Jawa kayanya jadi konsumen vetsin terbesar. Kayanya, survey ala aku lagi.

Kata Mama, orang Minang nggak pakai vetsin, sebab bumbunya kuat. Itu dulu. Sekarang, bikin balado aja pakai vetsin. Gulai nangkai yang penuh lemak santan itupun dikasi vetsin! Ini juga mengagetkan. Entah kapan mulainya vetsin-vetsin ini di Sumatra.

Sejak kecil, aku sering lihat billboard dan... apa ya namanya? Semacam 'patung' bentuk bungkusan Ajinomoto, di jalan-jalan di kota Medan. Iklan luar ruang itu nancep banget di kepala, melengkapi iklan di TV yang dibawain orang yang didandan ala Jepang.

Aku kecil sering bertanya-tanya, apa rasanya bumbu yang digantung berenteng-renteng di dapur tetanggaku yang orang Jawa itu. Seingatku, waktu itu Mama nggak pernah pakai vetsin. Sekarang Mama sih pakai, merk favoritnya Sasa dan Royko rasa ayam. Dipakai untuk masak soto ayam bening ala Jawa (masakan yang hanya disukai Mama) dan entah apalagi, lupa.

Vetsin-vetsin ini sering kusembunyikan, lalu buang. Ya tapi tiap bulan tetap dibeli juga. Ajinomoto ukuran lumayan besar, dengan Royko satu pack berisi entah berapa renteng. Yaampun!

Teman kantorku pernah marahi pembantunya yang ketahuan nyimpan Royko. Pembantu ini bertugas memasakkan makanan untuk anaknya, dengan peringatan untuk nggak pakai vetsin apapun. Ternyata, Simbak nggak pede tanpa bubuk itu.
Coba Googling dengan "pengganti MSG", ada banyak saran yang bisa dilakukan. Tapi aku yakin, selama orang belum merasakan derita sakit kronis akibat bahan ini, pasti nggak akan mau mengubah makanannya. Persis kaya rokok, ya. Kalau belum bolong itu paru-paru, nggak akan berhenti! Jadi agak nggak heran juga, kalau para aktivis pro industri tembakau sering menyejajarkan urusan pertembakauan dengan "Kalau rokok dianggap penyebab penyakit, larang juga donk produk vetsin yang bikin kanker itu". Weleh-weleh...

Mungkin satu-satunya penyebab berkurangnya konsumsi vetsin di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, terjadi pada tahun 2000. Diduga terdapat kandungan babi pada produk Ajinomoto. Waktu itu aku duduk di bangku sekolah Islam, maka guru Fisika sepertinya merasa perlu untuk menjelaskan persoalan ini.

Jadi, kandungan babi itu bukan berupa bahan pembuat (ingredient), melainkan bakteri pengurai. Untuk mengurai daging diperlukan bakteri. Bakteri yang bekerja baik adalah bakteri yang berasal dari daging babi. Jadi, semacam  kegelianku makan ikan lele yang dipelihara dalam kolam yang di atasnya ada jamban. Babi dan kotoran dari jamban adalah haram. Semoga logikanya sesuai.

Saat itu, Ajinomoto terus menggencarkan kampanye halal. Konferensi pers terkait penggantian bakteri, pembuatan iklan yang benar-benar memperlihatkan orang muslim mengonsumsi bubuk kristal ini, dan berbagai upaya lainnya. Ini pasti kerja keras yang luar biasa, sebab Ajinomoto hingga malam ini tetap memiliki konsumen besar di Indonesia.

MSG ada di mana saja sih? Aku pernah bahas ini sama Mama. Meski tanpa survei bahan-bahan bumbu masak yang kami gunakan, kami yakin bahwa bahan itu juga terkandung dalam kecap, saos sambal, saos tiram, dan seterusnya. Kecap dan saos kan sulit untuk mencari penggantinya, ya (hey, Mama dulu sering bikin saos sendiri, jauh lebih enak dari saos botolan!). Jadi Mama kekeuh terus gunakan vetsin untuk hanya sedikit jenis makanan, dan aku kekeuh untuk gak akan menggunakan ini. Sebab...

Sebab aku masih sering makan indomi, kerupuk (meski digoreng sendiri, proses pembuatannya pasti penuh vetsin), saos tiram, kecap asin, dan masih banyak lagi sepertinya. Dulu waktu Mama belum tinggal di Yogya dan aku belum bisa masak, aku selalu bikin ayam goreng dengan bumbu instan yang diiklanin Farah Quinn. 

Rasanya, pengen banget nyubit orang Jepang penemu vetsin. Tapi dia kan udah almarhum ya? Pengen demo orang-orang Cina yang populerin vetsin. Tapi bakal lucu kan ya. Ya sudahlah...

Ini baru ngomongin MSG. Belum pengawet. Belum bleng (bahan pembuat kerupuk). Belum pemanis. Belum pewarna. Ya sudahlah...

Gambar atas dari sini, yang bawah dari sini.

Mlekom,
AZ

Sunday, August 10, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 9:31:00 PM | No comments

Bikin Pengganti MSG Itu Mudah!

Bener lho, mudah! Aku sih sudah khatam saran-saran di dunia maya tentang "bahan pengganti MSG", tapi baru kali ini benar-benar bikin kaldu sendiri dalam jumlah banyak. Gegara nonton video ini nih.

Kaldunya kubikin yang banyak, biar kalau masak-masak gitu mudah. Yang kepengen, bisa nyoba. Mudah banget!


Bahan:
1 ons tulang sapi, bersihkan dari segala gajih
1 ons tulang ayam, kulit ikut gak apa-apa asal buang lemak di baliknya
1 ons udang, jangan dikupas dan jangan buang kepala

Bumbu:
3 ruas jahe
5 siung bawang putih

Cara:
  • Cuci bersih dan potong-potong semua bahan, kecuali udang disayat saja belakang badan.
  • Rajang halus seluruh bumbu, jangan diulek agar air kaldu tidak keruh
  • Rebus air 3 L sampai mendidih.
  • Masukkan seluruh bahan + bumbu.
  • Tutup panci. Masak dengan api kecil sampai harum.
Hasilnya, satu kontainer ini penuh.
Setelah dingin, saring. Simpan airnya di dalam wadah, masukkan kulkas. Tinggal keluarkan jika butuh. Segala bahan sisa jangan dibuang. Bisa untuk campuran mie, nasgor, dll. Kalau suka ceker ayam, bisa tuh pakai itu daripada tulang lain. Penjual bakmi Jawa biasanya pakai kaldu ceker.

Sisa terbuang, segala kulit ayam dan kepala udang serta bumbu.
Mudah, ya. Aromanya enak banget, terutama karena udang. Masaknya memang agak lama, mungkin sejam. Tapi waktu itu tak seberapa, dibanding derita yang harus kau tanggung akibat terlalu banyak mengonsumsi MSG, Esperanja! Tsaaaah.

Mlekom,
AZ
20140811

Friday, August 1, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 11:22:00 PM | No comments

Fitnes PHP


Semoga ini menjadi awal dari tercapainya salah satu cita-citaku. Dimulai dari obrolan yang berakhir... menghinakan ini.Setelah hitung-hitung modal dan sebagainya, lanjut ke pembagain tugas. Dia:

Segala urusan gambar dan web aku yang urus. Kamu urus pemotretan produk saja
OK. Nanti pakai manekin saja, gak ada budget buat bayar model.
Kamu lah.
Ogah! *elus-elus gundukan di perut* #taudiri
Ya itu tugasmu. Fitness. Deal, ya!

... cuma mau nyuruh fitness aja, pakai PHP mau bantu... Oh, aku terhina! :(

PHP itu pemberi harapan palsu. Gambar dari sini.

Mlekom,
AZ
20140803
  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata