Wednesday, March 25, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 10:33:00 PM | No comments

Daging Rendang yang Menipu

Dalam sebuah presentasi tentang kuliner Indonesia.

Aku: Laos itu bentuknya yang gimana? 
Nisa: Ituloh kalo makan rendang suka ketipu, dikira daging...
Aku: Oh iya! *langsung mudeng*

Suka bingung dengan laos yang aku lebih familiar dengan lengkuas. Ini seperti lada yang aku lebih familiar dengan merica.

Obrolan tentang daging rendang yang menipu ini, mungkin hanya lekas dipahami oleh manusia-manusia Sumatra. Manusia-manusia yang suka rebutan potongan rendang dari kuali Mamaknya, tiba-tiba kecewa dan jadi bahan ketawaan, jika potongan yang dikira daging itu, ternyata adalah lengkuas.

Gambar tempat bumbu, termausk laos (galangal) kering dari sini.

Mlekom,
AZ




Tuesday, March 24, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 2:45:00 PM | No comments

Mbak Jajan


Mbak Adri!

Perempuan paruh baya itu teriaki namaku. Kubalas teriakan sama, tentu dengan intonasi panjang. Mbak Jajaaaaaaan!

Mbak Jajan.

Semua mahasiswa UGM yang pernah menghuni Komunitas B-21 di kawasan Bulaksumur Yogya, pasti tahu siapa beliau. Akrab disapa Mbak Jajan, dari masa ke masa di tiap generasi yang silih berganti di B-21. Panggilan ini dihubungkan dengan kesehariannya sebagai penjual makanan kecil--yang oleh orang Yogya disebut jajanan.

B-21.

Ini adalah nama akrab bagi sebuah gubuk rumah reyot yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen UGM, Jalan Kembang Merak Blok B-21 Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta. Rumah ini menjadi markas bagi dua media mahasiswa tingkat universitas, yaitu Balairung (biasa disebut BAL) dan Bulaksumur (BUL). Keduanya hidup damai berdampingan *bahasa ala pegiat multikultural* sejak puluhan tahun lalu *ala pegiat heritage*.

Bagiku, rumah ini pernah menjadi rumah kedua. Aktivitas terbesarku dihabiskan di sana. Di rumah ini, selain mendapat keluarga baru, juga mendapat banyak pengalaman jurnalistik, dan tentu *ahem* pacar.

Saking bahagianya berasyik masyuk di komunitas ini, banyak alumni yang merasakan magnet untuk kembali. Meski sekadar mampir untuk melongok kondisi rumah, melihat terbitasn edisi terbaru, atau makan siang di Mbak Jajan.

Mbak Jajan adalah satu dari tiga legenda B-21, selain Mas Faris (yang sempat kukenal) dan Mas Kelik (yang sangat akrab denganku, sering nemenin makan dan jadi kenek waktu belajar nyetir manual). Keduanya menjadi penghuni tetap B-21 sampai mereka mengenal banyak generasi. 

Sebelum aku menjadi penghuni tak tetap rumah itu, Mas Faris sudah tidak tinggal di sana lagi. Sedangkan Mas Kelik (teman-teman memanggilnya Bapak, sebab memang paling senior di sana) meningalkan B-21 tahun 2010, saat keluarganya yang tinggal di kaki Gunungapi Merapi ikut menjadi pengungsi.

Mbak Jajan adalah legenda yang bertahan. Mungkin boso jowone "the survival". Konon beliau sudah berdagang di sana sejak 1994, waktu aku SD. Usia Mbak Jajan kini 50an, ah aku lupa mencatat obrolan kami kemarin.

Iya, kemarin aku ke kampus untuk mengurusi sekolahan. Sengaja jam makan siang mampir ke B-21 untuk menyantap isi tenong beliau. Sebenarnya, tenong tidak hanya berisi makanan ringan, namun juga bungkusan seporsi nasi kucing. Mbak Jajan juga membawa beraneka ragam minuman. Esteh dan es kopimik adalah andalan di masaku.

Kemarin.

Usai sesi teriak tadi, Mbak Jajan menghampiriku dengan sebelah telapak tangan mengatup bibir, entah malu entah terharu. Lalu kami cipika cipiki. Sambil membuka tenongnya, ia cerita tentang alumi B-21 yang terkadang mampir. Sambil menata dagangannya di atas meja halaman B-21, aku tanyakan bagaimana kondisinya sekarang, apakah putra semata wayangnya sudah mendapat kerja, dan seterusnya.

"Mbak Adri kok inget aku?" matanya berair pas ngomong ini.

"Lha, Mbak Jajan kok inget saya?"

"Ya inget lah Mbak..."

"Ya sama lah Mbak..."

Dan kami pun berhahahihi. Beliau tanyakan apakah adikku sudah lulus kuliah. Ah, dia masih ingat si bandel yang sering mengantar-jemput aku ke B-21 itu! Tanpa sepengetahuannya, aku ambil gambar dan kirim ke grup WA alumni BUL. Mereka semua sampaikan rasa kangen, dan masing-masing menyebut pesanan favoritnya masa itu.

Mbak, esteh nasi kuning.

Es kopimik satu sama lumpia.

Es teh tawar satu!

Semua kubacakan di depan beliau. Matanya makin berkaca-kaca. Semua ketjubh basjah, peluk erat dan sebagainya juga kusampaikan. Beliau menyeka mata.

"Memangnya masih kenal aku, Mbak?"

"Ya masih lah, kalau nggak ngapain mereka nitip salam."

"Kemarin Mas Sam datang, dari jauh udah senyum-senyum. Aku lihat-lihat ke samping, dia senyum ke siapa. Ternyata dia ingat aku, Mbak!"

"Iya donk Mbak. Siapa anak B-21 yang nggak inget sama Mbak."

"Aku lupa namanya, tapi aku inget wajah Mas Sam. Mas Fernan juga."

"Ini ada salam juga dari Mbak Indah dan Mas Imam. Mbak lupa ya?" Simbak lupa, tapi ingat pas kutunjukkan foto.

Mbak Jajan mengaku tak lagi ingat banyak orang. Aku beruntung dia ingat aku, wajah dan nama (yaiyalah, penghuni kampus 11 tahun gituloh!). Beberapa teman lain yang disebutnya adalah Ipeh, Tami, Nadia, dan beberapa lainnya dari angkatan setelahku.

Ia mengingat masa kebersamaan kami *tsaaaah*. Baginya, diundang dalam nikahan Mas Zaki dan Hayu adalah momen terindah. Saat itu, meski Mbak Jajan dan Alm. suami memilih bermotor berdua dibanding naik mobil yang kami sewa, dia sangat senang.

"Waktu itu ada Mbak Tiwi juga, ya." Sebelum berangkat kondangan di Wonosari itu, kami semua ngumpul di B-21.

"Wah, Mbak Jajan masih kenal Tiwie!"

"Iya, yang mukanya cantik banget itu, pakai jilbab."

"Pas selesai kawinan Iwan - Tiwie kami ngumpul juga Mbak di sini."

"Mbak Tiwie paling lupa sama aku Mbak..."

"Lha, ini tadi yang pesen es kopimik sama nasi bungkus kan dia nih," kataku sambil scroll obrolan WA.

"Nikahannya aku nggak diundang, mungkin dia udah lupa sama aku..."

"..." speechless to the max, jadi saking menganggap kami keluarga, dia juga senang menghadiri pernikahan kami, anak-anak yang beliau sediakan makannya. 

Lalu kubuka obrolan lain tentang rumah B-21. Konon, rumah yang sudah reyot ini (memang sih, kata "reyot" di sini cukup lebay) akan dihancurkan, lalu kedua 'rumah tangga' penghuninya diminta pindah. Bagaimana jika B-21 sudah tidak diperuntukkan bagi kegiatan mahasiswa lagi? Siapa yang akan membeli tenong Mba Jajan?

Kami sempat berbincang dengan Vikra, Pemimpin Umum BUL. Saat ini, ia sedang membantu proses pengumpulan dana dari beragam pihak, termasuk alumni. Uang ini untuk merenovasi rumah tersebut, agar memiliki posisi tawar kuat di depan Rektorat. Agar duet BAL-BUL tetap dapat tinggal di sana.

Seperti biasa, Mbak Jajan nggak pernah suka difoto. Jangan heran jika di foto ini beliau seperti terpaksa. Sebab memang dipaksa :) Fotonya kuunggah di Facebook, hingga siang ini setidaknya ada 39 komen dan 94 likes yang kebanyakan menceritakan tentang kerinduannya pada sosok Mbak Jajan. Mbak Jajan yang tidak berubah, tetap muda. Mbak Jajan yang kini berkerudung. Mbak Jajan yang masih cantik.

Kami cuma berjumpa setengah jam. Akupun pamit saat memberi selembar 50 ribuan untuk membayar makananku yang habis Rp 8.000. Kubisikkan, gak usah dikembalikan, Mbak. Dengan sigap, dia 'kunci' tanganku dengan lengan kirinya, sementara tangan kanan menghitung kembalian.

"Nggak boleh gitu Mbak, aku kan udah kerja," katanya.

Berusaha sekuat apapun melepaskan diri dari lengan kecilnya, aku kalah. Rp 42.000 diletakkan di telapak tanganku. Saat pamit, ia tak henti merapal doa untuk kesuksesanku, dan terus mengucap terimakasih untuk oleh-oleh tak seberapa yang kubawa.

Mbak Jajan. Nama aslinya Juminten. Yang mengetahui namanya, kadang memanggilnya Mbak Jum. Suaminya yang berptofesi sebagai penjaja rokok yang keliling di Malioboro, meninggal dunia awal 2011 lalu. Pengurus BUL saat itu menjual kaos untuk mengumpulkan dana. Ya, Mbak Jajan berdagang dengan sepeda berkeranjang ini.



Mbak Jajan, mengutip kata Mas Hasan Bachtiar, sang pemadam kelaparan B-21. Sampai ketemu lagi, Mbak. Salam sayang dari kami semua yang pernah bertahan hidup karena tenongmu...

Mlekom,
AZ

Saturday, March 7, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 7:40:00 PM | No comments

Kualitas yang Menjaga Tradisi


Asap berpendar pekat di seluruh ruangan, menyisakan perih bagi mata telanjang yang terpapar kepulnya. Seperti terkena gas air mata, kata seorang teman yang semasa mahasiswa menjadi aktivis Reformasi 1998. Perih ini seakan tak dirasakan belasan pekerja di ruangan itu. Sudah biasa, kata mereka. Kepulan asap ini berasal dari pembakaran kayu untuk memasak.

Sabtu (6/02) itu, belasan pekerja di pabrik Dodol Ny Lauw berpeluh keringat. Ada yang mengantar dan membelah kayu bakar. Ada yang melucuti daging buah durian dari bijinya. Ada yang memarut kelapa dan memeras santan. Ada yang menuang adonan ke dalam cetakan. Ada pula yang mengaduk adonan di wajan raksasa. Aktivitas terakhir sepertinya yang paling menguras tenaga, sebab proses mengaduk satu adonan saja membutuhkan waktu 4-6 jam.

Di ruangan lain tampak puluhan pekerja yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Dari proses menyiapkan alat dan bahan, memasak, mengeringkan, mengemas, mencuci cetakan, hingga menjual. Semua dilakukan di industri rumahan yang terletak di Kecamatan Neglasari Kabupaten Tangerang, Banten ini. 


Siti Lauw (Ouw Thio Nio) yang akrab disapa Nyonya Lauw, mulai berkecimpung di usaha ini tahun 1962 sebagai warisan mertua. Meski terkenal dengan nama Dodol Ny Lauw, pabriknya juga membuat kue keranjang (nian gao) dan kue bulan (hanzi) yang menjadi menu khas perayaan budaya Tionghoa. Dari skala kecil, usaha ini terus berkembang dan diminati hingga kini. Meski banyak peminat, Nyonya Lauw menilai pabriknya hanya sebagai usaha musiman. 


Kue bulan yang terus diproduksi.
Permintaan Dodol Ny Lauw hanya ramai di dua perayaan besar, yaitu Tahun Baru Imlek dan Lebaran Idul Fitri. Jelang dua hari besar tersebut, usahanya selalu kewalahan menerima pesanan, bahkan sering menolak permintaan yang datang sepekan sebelum perayaan. Dalam dua musim ini, keriuhan aktivitas produksi berlangsung selama hampir dua bulan. Lebih dari 100 tenaga kerja mampu terserap.

Sejak dulu, Nyonya Lauw mempekerjakan tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. Jika kaum pria banyak ditempatkan di pekerjaan berat seperti mengaduk adonan, para ibu mengerjakan urusan bungkus-membungkus. Mereka bekerja 18 jam tiap harinya, dimulai pukul 07.00 pagi. “Lumayan, dapat hampir empat juta (rupiah),” kata Sri (54), salah satu juru masak.

Angka Rp 4 juta itu merupakan upah juru masak yang menyiapkan makanan bagi para pekerja. Selain makan berat tiga kali sehari, mereka juga membuat makanan ringan dan minuman teh dan kopi. Jumlah juru masak ini ada tiga orang. Mereka bekerja disana sejak muda. Orangtua mereka dulu juga merupakan pekerja musiman di sana.

Besar upah masing-masing pekerja berbeda, sesuai dengan beban pekerjaan yang dipikulnya. Jumlah ini merupakan hitungan per hari, dikalikan banyak hari kerja. Upah akan dibayar menyeluruh di akhir musim ramai. Pekerja yang tak pernah bolos dan tak pernah meminjam uang, akan mendapat upah penuh. “Empat juta itu kalau nggak ngebon, tapi biasanya pada minjam duit untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Nanti tinggal dipotong upah,” jelas Sri.

Para pekerja tak hanya orang tua, banyak anak muda ikut membantu di sana. Bagi mereka, jumlah upah yang dibayarkan sangat besar dibanding hanya berdiam di rumah tanpa pekerjaan. Di luar dua musim tersebut, mereka hanya menjadi pekerja serabutan. “Yang laki-laki jadi tukang (bangunan) atau ojek, perempuan ya di rumah aja,” lanjutnya. Meski di hari biasa pabrik ini tetap berproduksi, mereka tak semuanya ikut bekerja. Hal ini diakibatkan permintaan di hari biasa hanya dodol dan kue bulan dalam skala kecil, untuk dijual toko kue. 

Cetakan bambu yang kini tak lagi digunakan.
Cetakan plastik yang lebih awet.
Jika dahulu kue keranjang dimasak dengan cetakan berbentuk keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, kini keranjang-keranjang itu terbuat dari plastik. Proses pembakaran pun sudah menggunakan oven modern, meski masih memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar. Meski demikian, para peminat kue keranjang meyakini bahwa tak ada perbedaan rasa dari perubahan berbagai alat produksi tersebut.

Soal rasa, Dodol Nyonya Liem selalu mengutamakan kualitas. Dodol produksi pabrik ini memiliki dua rasa, yaitu original dan durian. Durian yang digunakan bukan buah sembarangan, namun didatangkan langsung dari Sumatera Selatan yang terkenal dengan kenikmatannya. Tiap hari setidaknya datang dua truk berisi durian segar yang segera dikuliti para pekerja. Tiap mencapai satu masa kematangan tertentu, tiap adonan yang sedang diaduk harus ditunjukkan pada seorang pencicip. Ini semacam pengontrol kualitas, yang menentukan rasa dan tingkat kematangan.

Nyonya Lauw, kini berusia 82 tahun, tak lagi menjadi penggerak usaha ini. Di usianya yang kini memasuki 82 tahun, kondisinya tidak sekuat dahulu. Meski selalu didampingi kerabatnya, ia hanya bisa tersenyum jika diajak berbicara. Pabrik kini diurus oleh adik dan anaknya, dengan dua tempat produksi berbeda di lokasi yang sama. 

Tak banyak kisah usaha makanan tradisional yang masih bertahan digerus jaman. Dodol Ny Lauw adalah satu yang bertahan. Kualitas adalah kunci langgengnya. Dengan terus berproduksinya usaha ini, maka pusaka kuliner kita pun ikut terjaga.

Adriani Zulivan,
Pegiat Indonesian Heritage Inventory (IHI)

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata