Oleh ADRIANI ZULIVAN
Amerika Serikat di Tepi Jurang Resesi Ekonomi. Begitu headline di media-media internasional. Kondisi ini dikhawatirkan menjadi pemicu resesi global yang dampaknya akan dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Bagi kita, resesi itu akan berdampak besar, terutama di bidang ekspor dan konsumsi. Bila raksasa ekonomi AS mengalami krisis, secara otomatis ekspor Indonesia akan dibatasi. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri yang mengandalkan bahan impor akan melambung harganya, atau kekurangan stok. Untuk mendapat gambaran krisis nanti, tak perlu berpikir jauh mengenai harga saham di kancah perekonomian dunia. Mari memikirkan nasib tempe. Ya, tempe. Makanan yang memiliki banyak penggemar di negeri asalnya, Indonesia, ini akan hilang jika pengusaha kesulitan mendapat kedelai sebab kedelai, bahan baku utama panganan ini, juga diimpor.
Ah, cuma tempe! Jika itu yang ada di pikiran Anda, mari membuka kembali file-file mengenai krisis kedelai. File-file yang bahkan belum ditutup itu mengingatkan kita bagaimana eksistensi produk pertanian yang selama ini tak begitu diacuhkan tiba-tiba menjadi perhatian. Bukan hanya oleh petani, produsen tempe, tukang gorengan, dan orang Jawayang notabene penggemar berat tempemelainkan juga bagi orang-orang yang masuk kategori tidak doyan dan tidak peduli tempe. Tiba-tiba semua file itu merujuk pada tempe. Tukang angkringan menghilangkan lauk oseng-oseng dalam menu nasi kucing makanan sehari- hari kitamahasiswa?
Masih ada nasi kucing lauk sambal teri! Memang, kita tak akan mati hanya karena tak bisa makan tempe. Begitu suara yang tak berpihak pada orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada jenis makanan berposisi kasta terendah dalam kelompok makanan kaya protein itu. Urusan tempe urung usai, kini bahan bakar minyak (BBM). Konversi minyak tanah ke gas, misalnya, membuat sebagian besar masyarakat menjerit. Jika tempe dan minyak tanah tak juga menggugah peduli, mari menakar krisis ini dari perspektif lain. Bagaimana jika dengan alasan efisiensi, krisis itu kemudian membatasi kita untuk berinternet ria di hotspot kampus, jika pada jam tujuh-belas-dua-dua seluruh mal dan kafe ditutup demi kebijakan hemat listrik, atau jika kendaraan kita tak bisa membawa kita wira-wiri untuk gaul dan mejeng sana-sini akibat pembatasan subsidi bensin?
Krisis tempe dan minyak tanah serasa jauh dari kitaanak mudakarena tidak dihadapi sehari-hari: Itu kerjaan ibu-ibu! Akan tetapi, jika menyentuh aktivitas keseharian kita, dari kebutuhan pendidikan (internet untuk mencari bahan kuliah) hingga kebutuhan hiburan (mal, kafe), barulah kalang kabut. Mengapa kalang kabut? Ketidaksiapan menjadi penyebab. Untuk itu, perlu persiapan dini dengan membangun kesadaran diri. Krisis bisa jadi bukan hal baru bagi kita. Sejarah negeri ini baru saja bangkit dari keterpurukan krisis moneter yang masih membekas trauma bagi orang-orang yang 11 tahun lalu sumber penghidupannya terenggut. Itu cakupan lokal. Bagaimana jika krisis global benar- benar terjadi? Penting untuk membangun sense of crisis agar kita siap. Jangan menunggu Amerika Serikat terpuruk. Sudah basi jika mendengungkan Belanda masih jauh karena Amerika yang secara geografis letaknya lebih jauh lagi dari Indonesia itu kini seolah berada di depan mata untuk menghantam perekonomian kita. Maka, bersiaplah!
Foto Dok. Pribadi
Dimuat di Rubrik Akademia - Forum, Harian KOMPAS Edisi Jateng - DIY pada 4 April 2008.