15 Juli 2009
-Pagi, 05.30
Aku. Bangun, ngulet-ngulet. Ke washtafel, bersihin muka, gosok gigi. Ke teras depan, ambil koran. Ke dapur, biikin susu. Balik ke tempat tidur, ngulet unit 2, baca koran.
Ke halaman samping (emang halamannya cuman satu, yak!), ke rumah anak-anak. Ough, pengen liat mereka dari luar dulu. Itu menyenangkan sekali, sebab mereka berdua selalu antusias kalau ada yang datang untuk mengeluarkan dari kandang—ya, rumah mereka. Mungkin mereka tahu bahwa makanan semalam akan diganti dengan yang baru, rumahnya akan dibersihkan (yaa, meskipun ini jarang, ini tugas Si Utha), dan yang terpenting: mereka akan dibiarkan berlarian di halaman!
Itu sebab mereka selalu berdiri denga dua kaki, kayak orang jinjit gitu, menegak-negakkan kepalanya ke atas (--kandang ditutup rapat untuk menghindari kucing, ‘pintu’ terdapat di bagian atas).
Pas lihat dari samping, yang kelihatan berdiri tegak cuman si coklat. Aku jadi takut: apa Si Utha lupa masukin si grey, yah? Pas buka kandang,,, mmmm, ternyata keduanya ada di sana. Si grey masih tiduran, dengan posisi lucu sekali. Badannya gepeng aneh. Si coklat sudah terus berdiri, tak sabar minta dikeluarkan, maka kukeluarkan dia.
Si grey masih saja diam di sana, sesekali mengulet. Tumben dia jadi pemalas begini, biasanya paling lasak.* Hummm, jahilku timbul, kukitik-kitik bagian bawah perutnya dan dia terus bergerak-gerak, mengulet. Aah, alhamdulillah enggak kenapa2, kirain sakit atau apa. Wong matanya juga masih terbuka cerah begitu. Ambil kamera ah, lucu banget posisi tidurnya.
Kembali ke halaman, aku masih menemukan si grey dengan posisi sama. Kucoba gelitikin lagi, lalu mencoba mengangkatnya. Kaki dan bagian badan lainnya bergerak nakal, seperti biasa. Tapi kenapa dengan kepala itu? Seakan berat sekali baginya untuk mengangkat kepala itu. Aku coba mengangkatnya, tapi kepala itu teleng.* Aku periksa seluruh badannya, apa ada luka, mungkin ada kucing jahil yang mencakar lehernya, atau apalah. Sebab, sewaktu masih SD dulu, kelinciku dicakar di bagian kening di suatu malam oleh kucing yang juga kami pelihara di rumah, namun keesokan siangnya dia mati meski sebelumnya seluruh anggota badannya bisa bergerak normal.
“Bang, anak lu kenapa tuh? Gak bergerak dia. Sakit apa?” aku bangunkan Si Utha. Tak seperti biasa, dia langsung bangun, dan melihat ke kandang. Dia angkat dan tidurkan di atas kain di dalam rumah, “Lu sih,,,, pake dimandiin segala! Ini tuh masih bayi, tauk!!!!” katanya marah.
“Kita bawa ke dokter ya.”
“Makanya lu, udah aku bilang juga, jangan bla bla bla….” sambil terus memegang si grey.
“Hey!!! Aku juga kesian,,, lu marah2 gitu ini juga udah kejadian. Bukannya dia sembuh lu tuh malah bikin aku stress!”
“Ude, cepetan!”
“Apa?”
“Cepetan kita ke dokter! Sekalian bawa si coklat vaksin…”
Aku alas si grey dengan kain tebal, aku tidurkan di jok belakang. Kakinya bergerak-gerak, tapi kepala itu tetap memaku. Si coklat dimasukkan si Utha di keranjang bambu tempat membawa mereka waktu baru dibeli, lalu ditaruh di bawah kakiku.
Perjalanan dari rumah ke RS sekitar 15 menit dalam kondisi normal, berhubung ini jam sibuk, kami membutuhkan hampir 25 menit untuk bisa mencapainya. Di jalan, sekitar lima menit lagi tiba di RS, kudengar suara teriakan yang ternyata dari si grey. Ah, dia masih aman! (Hmmm, meski dulu, dulu sekali, keluargaku pernah dua kali memelihara kelinci, yaitu saat aku SD dan SMP, aku lupa atau tidak tahu sama sekali bahwa kelinci juga bisa bersuara. Pagi itu, lewat teriakan si grey tadi, aku baru menyadarinya). Sepanjang jalan, tiga kali kudengar suaranya. Kupantau terus bagian bawah perutnya untuk memasikan bahwa ia masih bernafas. Matanya semakin sayu.
Tibalah kami di RS yang terletak persis di belakang gedung Wisma MM UGM. Kugendong si grey, Utha bawa si coklat. Nyampe di dalam, tempat pendaftarannya belum buka. Kuminta Utha mencari siapapun yang bisa melayani kami.
“Belum buka, mas. Mau tunggu sampai jam 8?” jelas seseorang yang ada di sana. Di sana ada tiga orang. Seorang perawat (terlihat dari pakaian dan nametag nya).
Tapi ini kelinci saya sudah sekarat,” kata Utha.
“Yaa belum ada dokternya, mas. Kami tidak berani.”
“Praktek dokter hewan, dimana?” tanyaku. Kaki si grey memberontak, menendang-nendang. Dia terus berteriak, menyayat sekali.
Para petugas medis itu saling berdiskusi, sementara si mbak Suster memegang si grey dalam dekapanku, sambil mencoba memeriksa2 dan bertanya: “Ini sudah berapa lama? Apa gejalanya? Bla, bla, bla…” Sial, orang lagi buru2 begini malah ditanyain macam2. Aku jawab sekenanya saja, dengan terus mendesak mereka untuk menyegerakan diskusi tentang alamat prakter dokter tsb.
“Di dekat RS Gigi”, katanya.
Kami melaju ke sana, tidak menemukan alamat yang dimaksud. Memang ada beberapa plang praktek dokter di daerah itu, tapi “dokter manusia”. Sekali lagi kami lewati kompleks itu, mengamati satu per satu rumah yang ada. Dan tetap tidak menemukannya. Lalu bertanya pada dua orang yang sedang menyapu di halaman sebuah rumah, tidak pernah tau dokter hewan warga di sana.
Kutelp Mas Kuntz, seorang teman yang akan (atau sudah?) menjadi drh. Tapi berulang kali tidak dijawab. Yes men, jam segini pasti masih tidur. Duuh, padahal si grey di pangkuanku terus berteriak-teriak, aku sampai bisa melihat lidahnya. Dia pun terus meregang-regangkan kaki dan anggota badan lainnya yang bisa digerakkannya. Matanya semakin sayu. Tidak ada lagi kilau jernih di dalam sana.
Lalu bertemu orang lewat, pejalan kaki. Juga tak tahu alamat drh, tapi mengetahui bahwa di dekat sana, daerah Sekip ini, ada RS Hewan. Syip!
Tak sampai lima menit, kami tiba di sana. Kami parkir langsung di depan pintu masuk. Kuminta Utha menanyakan apakah ada UGD atau dokter jaga. Satpam bilang, “Biar saya hubungi, mas”. Ah, berapa lama lagi kami harus menunggu?
Kuamati Si Grey, perutnya sudah tidak bergerak seperti tadi. Matanya sudah merapat. Beberapa saat sebelum ini aku mendengar dia mendesah/berteriak panjang beberapa kali sambil meronta-ronta. Entah mengapa, aku merasa kini ia sudah “pergi”.
Ternyata, tak terlalu lama dokter muncul, langsung menghampiri kami. Aku turun, memberikan si grey padanya. Di ruang periksa, begitu diletakkan di meja, “Sudah mati itu”, kata Utha.
Dokter terus memeriksa jantungnya dan mengambil stetoskop. “Mati, mas”, katanya. “Mencret, kah?” tanyanya sambil menekan-nekan bagian perut si grey.
“Iya.”
“Ya, ini perutnya kembung.”
Aku? Ya nangis lah! Meski baru 10 hari hidup bersama kami. Apalagi, dia kelinci yang paling aku sayang, sebab sangat hiperaktif dan aku suka warna bulunya. Dan entah mengapa, ternyata aku tidak mempunyai satu foto pun bersama si coklat--sebaliknya dengan si grey. Bahkan dua kali kujadikan foto profil di Facebook. Hummm, huge lesson: jangan pilih kasih!
Aku sedih, sebab sehari sebelumnya aku mandikan dia. Kebodohan besar! Sebab dia masih sangat kecil. Lihatlah tulang kakinya yang tidak lebih besar dari tulang ayam! Itu terlihat sewaktu bulu-bulunya basah. Memang, saat itu Si Utha langsung mengeringkannya dengan hairdryer, tapi ya namanya saja masih kecil, pasti kedinginan. Apalagi katanya, sudah dua minggu ini Jogja sedang dingin-dinginnya.
Ya, meski dokter menyatakan bahwa penyebab kematiannya adalah mencret, aku dan keluarga yakin bahwa dengan memandikan bayi kelinci itu sama dengan menurunkan daya tahan tubuhnya. Sebab, si coklat yang notabene kotorannya lebih cair dan lebih lama menderita mencret saja masih bisa bertahan!
Lalu si coklat diperiksa kesehatannya. Mencret. Diberi obat bubuk (sudah digerus pak dokter) untuk diminumkan (dengan spet semacam suntik tanpa jarum). Obat ini berfungsi sebagai pembunuh bakteri jahat yang terlanjur masuk dalam tubuhnya.
Dokter menganjurkan agar kelincinya di dalam kandang saja, tidak dikeluarkan ke halaman, agar tidak memakan rumput. Meski kami menjamin bahwa rumput di halaman bersih (bahkan sejak memelihara kelinci, Utha tidak mau lagi mencuci mobil di halaman, takut air sabun nempel di rumput yang dimakan kelinci), namun bakteri bisa saja muncul di sana, dibawa oleh siput. Hmmm, kayanya sih enggak pernah lihat siput di halaman. Kalo siPut-ra sih, ada.
Dianjurkan juga untuk tidak terlalu banyak memberi makanan basah seperti kangkung, sawi dan sayuran basah lainnya. Untuk wortel, apel hijau dan pur (sejenis makanan yang sudah diolah, bentuknya sepeti makanan burung –ada di pet shop) boleh diteruskan. Jikapun kelincinya bosan, bisa sesekali diselingi kangkung.
Oh ya, FYI, di Indonesia belum ada vaksin kelinci! Jadi yang dilakukan, menurut dokter, hanya menjaga agar kelinci tidak bersentuhan dengan bakteri.
--07.45
Aku menunggu Utha menyelesaikan urusan administrasi. Utha meng-SMS keluarga, mengabarkan kemalangan ini. Kubuka Facebook. “Adriani menyaksikan anaknya mati di pangkuannya tepat di parkiran RS. Pukul 07.15 tadi.” Begitu status baru yang ku-update di sana (trims untuk ucapannya).
Kemudian aku berpikir, bahwa tadi, ketika aku mendengar desah panjang si Grei—nama ini pernah kuberikan pada si grey—aku meyakini bahwa itulah hembuhasan nafas terakhirnya, ujung hidupnya. Tapi aku masih belum yakin, sebab sepanjang jalan perutnya terus bergerak. Ya tentu saja, karena kami sedang berkendara.
Kalau diingat2, kesal juga dengan RS pertama yang tidak ada dokter jaganya! Nunggu jam 8? Sejam sebelumnya dia sudah meregang nyawa, bos!
--08.00
Kami pulang, dengan hanya membawa Minie—ini adalah nama yang kubaca di kartu rekam medis untuk si coklat yang ditulis Utha. Si Billy—ini nama pemberian kakakku untuk si grey sewaktu dia datang ke Jogja minggu lalu (ini adalah nama kelinci yang pernah kami pelihara waktu kami kecil)—kami tinggalkan di RS. Penguburannya diserahkan pihak RS, “Saya enggak tega kalau harus menguburkannya sendiri,” kata Utha pada dokter.
Sewaktu membawanya dari rumah, aku mengalas tempat dia berbaring dengan potongan bekas selimutku. Selimut merah itu dulu milik papa, lantas kuminta, karena dari sana aku bisa membaui aroma tubuh papa—orang yang paling kucinta di dunia ini.
Itu kemudian menjadi selimut kesayanganku. Sangat JARANG dicuci, sebab aku tidak ingin aromanya berubah. Ketika dicuci, aku terpaksa memakai selimut pengganti yang jarang kugunakan, sebab ‘beda’ rasanya. Selimut merah ini, ketika sudah sobek kemudian kujahit, sobek lagi, kujahit lagi, begitu berulang-ulang sampai mama memotongnya untuk dijadikan kain lap.
Pagi ini, ketika kami menyerahkan tubuh kaku si Grei pada dokter, dokter membungkusnya dengan selimut kesayanganku itu. Semoga bagian lain dariku masih ada bersamanya.
***
***
Di jalan, kami hanya diam. Aku nyalakan radio, ada lagu dari sebuh grup band yang selama ini norak bagiku: ST12.
“Inilah saat terakhirku melihat kamu, jatuh hati padamu, menangis pilu saat kuucapkan selamat jalan kasih…”
Tisu di tanganku basah lagi.
***
***
Di rumah, Mama langsung nelp. Sebenarnya Mama dan Papa tiap pagi punya rutinitas menelepon kami. Hanya saja, sejak tadi aku tidak sempat menjawab telp mereka yang berdering berulang-ulang. Utha sempat menjawab telp, tapi hanya sebentar, dan berjanji akan menelepon balik jika keadaan sudah lebih tenang. Maka mama menelepon lagi. Kemudian papa. Tadi di RS sempat ditelepon kakak.
“Yaudah dek, enggak usah nangis, habis ini beli lagi ya…”, kata papa. Dueh pa, bukan itu persoalannya.
“Itu harus beli lagi yang jantannya. Jangan sampai dia kesepian sendiri,” kata mama. Ya, ma…
“Kandangnya yang bersih, jangan terlalu dekat dengan tanah, jangan dibiarkan makan rumput, bla, bla, bla…” kata kakak.
Aku nangis lagi waktu mereka nelp. Yah, tadi di RS pun enggak peduli dilihat orang-orang. ~Btw (‘gak-nyambung-mode’), sepertinya aku kenal itu dokter. Pernah satu organisasi denganku di kegiatan kampus.
Grei sayang, aku merasa berdosa dengan tertutupnya mata bundarmu yang tak lagi bercahaya bening itu. Semoga kamu memafkan aku ya, nak…
“Well now she’s gone
Even though I hold her tight
I lost my love, my life, that night
Oh where, oh where, can my baby be?
The Lord took her away from me
She’s gone to heaven, so I’ve got to be good
So I can see my baby when I leave this world”
*lasak (bahasa orang Medan) = hiperaktif
*teleng = seperti tidak bertulang