Keluarga Budhe di pernikahan Kakak akhir tahun lalu, minus Paman. |
Aku gak minat membahas tentang RS ini. Namun alasan "urang awak rentan penyakit stroke, akibat makanannya dituduh sebagai penyebab utama penyakit stroke". Keluargaku punya pengalaman ini.
Mamaku punya kakak angkat, kupanggil Paman. Paman tinggal dengan keluarga Mama sejak mereka masih SD di Pulau Telok, Nias, Sumatera Utara. Keluarga Mama adalah pengusaha, menjual berbagai macam hasil tani dan membuka toko panglong. Paman bertugas menjaga toko dan merawat dua adik barunya: Mamaku dan Etek (adik Mama yang juga perempuan).
Masa kecil mereka begitu menyenangkan. Hidup sebagai anak pantai yang mengayuh sampan untuk memetik kelapa di pulau milik Ayah mereka, sembunyi di ladang saat bolos mengaji, hingga menggoda para pelanggan toko yang singgah.
Paman merantau ke Jawa, ambil sekolah kedokteran di Yogya. Sayang, Pendidikan Kedokteran Paman terputus akibat Ayah Mama meninggal. Tak ada lagi biaya sekolah. Akhirnya Paman pindah ke Solo, ambil Pendidikan Keguruan yang biaya sekolahnya lebih murah. Paman membiayai dirinya sendiri.
Paman menjadi guru di SMA Al-Islam Solo. Lalu menikah dengan muridnya (semoga aku tak salah ingat!), yang kini kupanggil Budhe. Bukan pernikahan mudah, sebab Paman adalah anak sebatangkara yang tidak memiliki orangtua dan kakak-adik kandung. Terlebih lagi, dia datang dari negeri antah-berantah di pulau seberang yang tak pernah tercatat dalam kisah pewayangan, atau jazirah nabi.
"Dia shalat-nya baik, orangnya santun, apalagi guru di sekolah Islam," kata Ayah Budhe tentang Paman. Aku tahu kisah ini tahun lalu, diceritakan Budhe. Pernikahan ini melahirkan empat sepupuku yang semuanya perempuan. Aku baru bersua dengan mereka 16 tahun lalu, saat keluargaku menjadi turis di Jawa.
Saat pertama ke Solo, aku tinggal di sebuah rumah joglo yang sangat cantik. Rumah milik keluarga besar Budhe ini berdiri di tengah sebuah pekarangan luas. Sayang, rumah ini kemudian dibongkar saat pembagian warisan. Kini ada banyak bangunan di tanah itu, banyaknya sejumlah anaknya Simbah.
Kalian tentu tahu bagaimana kehidupan guru di zaman itu. Paman, meski sempat menjadi Kepala Sekolah, tidak berpenghasilan besar. Namun keempat sepupuku diterima di sekolah negeri--berturut-turut Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro (Undip). Ini tentu menjadi kebanggan bagi keluarga besar kami, apalagi kemudian mereka lulus cum-laude dan mendapat pekerjaan yang baik.
Paman terkenal sangat disiplin di sekolah. Banyak murid takut padanya. Ini kudengar dari muridnya yang berkunjung. Tiap Lebaran tiba, murid-murid Paman, terutama yang sudah lulus, tak pernah putus berkunjung ke rumah. Mereka selalu membawa oleh-oleh dari kampungnya.
Mungkin faktor gen Sumatera yang membuat Paman memang keras. Mungkin pula karena kehidupan kecilnya yang memang keras. Meski begitu, banyak orang bilang kalau Paman 'sangat Jawa'. Tutur bahasanya halus, tak pernah kasar. Paman juga sering bergurau dengan Adikku, satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar Mama.
Ketika kami pindah ke Jawa, hubungan dengan keluarga Paman semakin dekat. Terutama setelah kedua orangtuaku tinggal di Yogya. Tiap Lebaran kami ke Solo, sebagai kunjungan terhadap orang tertua di keluarga. Keluarga Solo adalah keluarga dengan jarak terdekat dengan kami. Memang Etek tinggal di Jakarta, adapula sepupu Papa yang di Bandung. Namun kami tentu sowan kepada yang lebih tua.
Budhe yang asli Solo tentu tak biasa memasak makanan Sumatera. Maka Paman sering membeli makanan di Warung Makan Padang, untuk mengobati rindunya pada kampung. Budhe juga belajar menu-menu tertentu. Jika berkunjung ke Solo, Mama juga selalu memasakkan makanan kesukaannya. Tiap kami berkunjung ke Solo, Paman selalu mengajak Adikku makan di Warung Padang.
Sampai Paman terkena penyakit stroke ringan. Paman mulai membatasi makannya. Tidak lagi memilih jeroan dan santan. Budhe sangat protektif. Mama hanya membawakan menu bebas santan dan daging, seperti Ikan Sampade. Kepada Mama, Budhe pun meminta resep beberapa masakan Sumatera yang bebas kolesterol.
Namun, jika di luar rumah, tentu sulit mengontrol Paman. Setelah sehat, daging dan santan kembali disantap. Seingatku, dalam 1.5 tahun, Paman tiga kali mondok di RS akibat strokenya kambuh. Hingga akhir 2011 lalu.
Hari ini dua tahun lalu, kami sekeluarga berangkat mendadak ke Solo. Paman sudah tidak ada, kata sepupuku di telepon. Ini setelah seminggu terbaring tak sadarkan diri di RS akibat pendarahan otak.
Hari itu adalah 25 November, Hari Guru, sebagaimana hari ini. Pergi seorang Azril, si pendidik dari negeri antah-berantah.
Selamat Hari Guru, Paman. Terimakasih sudah mendidik orang yang melahirkanku!
Mlekom,
AZ