Sunday, April 27, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 10:13:00 AM | No comments

Geliat Bakat Setelah 21 Tahun Terpendam



Ada yang bilang, seni itu tergantung bakat, bawaan lahir. Ada pula yang meyakini bahwa seni itu dapat dipelajari. Tak ada yang salah, tiap seniman mengalami proses berbeda. Kedua hal itu dialami Sinta Carolina (41) dalam perjalanan berkeseniannya.

Kemampuan Sinta dalam berkesenian baru menggeliat di usia yang tak lagi muda. Ia kini menjadi salah satu perupa paling produktif di Yogyakarta. Sinta mulai menggambar di usia SD, dengan coretan berbentuk buah-buahan. Gambar lain dibuat sebagai tugas pelajaran seni rupa di SMP hingga SMA, juga untuk majalah dinding sekolah. Lepas itu, ia tak lagi mencorat-coret.

Medio 2005, sarjana Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini justru menekuni dunia fotografi. "Awalnya hanya ikut-ikutan teman, lama-lama serius dan ikut kelas fotografi," katanya. Tahun 2011 ia bergabung dengan Kelas Pagi Yogyakarta (KPY), sebuah komunitas belajar fotografi rintisan Anton Ismael.

Dalam memotret, ia mengkhususkan diri pada makanan. "Orang bilang, aliran ini tidak mudah. Jadi kalau sudah bisa memotret makanan, memotret yang lain pasti bisa," jelasnya. "Lagi pula saya suka makan," lanjutnya. Sejak itu, Sinta menjadi fotografer lepas khusus kuliner di sela-sela pekerjaan rutinnya. Ia juga terdorong untuk menuliskan hobi icip-icipnya ke dalam blog, hingga muncul http://sintacarolina.blogspot.com/ di tahun 2011.
Diawali dengan ketertarikannya pada sketsa di majalah kuliner, sinta coba mecorat-coret lagi pada April 2013. "Saat selesai gambar pertama, suami saya bilang; lha itu gambarnya bagus kok! Akhirnya jadi pede dan terus menggambar." Istri dari  Pulung Fadjar Febrieka ini mencari referensi gambar di majalah dan internet. 

Dibanding masakan nusantara, Sinta lebih banyak menggambar makanan internasional. Menurutnya, menggambar detil makanan Indonesia sangatlah sulit, sebab biasanya platting tidak diatur dengan rapi--seperti soto dan gado-gado. Beda sekali dengan sushi dan burger, misalnya. Meski demikian, sudah ada sejumlah menu tradisional yang diabadikannya. "Masih belajar menggambar kuliner lokal, ini salah satu cara saya untuk melestarikan warisan pusaka kita."

Seiring waktu, Sinta tak hanya menggambar makanan, namun juga tumbuhan, hewan, dan benda keseharian semacam kamera dan alat dapur. Ia memilih doodle, metode gambar yang belum banyak dilirik perupa tanah air. [Baca "Doodling SiTukangJahit"] Hasil coretannya diunggah ke Facebook dan Instagram. Hal ini mengundang ketertarikan orang yang melihat, banyak yang ingin mengoleksi karyanya. Selanjutnya Sinta mencetak gambarnya dalam pernak-pernik seperti notes, pin, tas, kaos dan bantal. Produk ini dilabeli Bulbul, diambil dari nama burung bersuara merdu dalam kisah dongeng kesukaannya. 

Belum genap setahun sejak ia kembali menggambar, Independent Art-space & Management (I AM), sebuah galeri seni di Yogyakarta, mengajak Sinta untuk memajang karyanya. Jadilah Sinta memulai debut profesionalnya di dunia seni grafis, dalam pameran tunggal bertajuk "Menulis di Titik Nol". Tema ini mungkin dapat diartikan sebagai perjalanan barunya sebagai perupa, setelah 21 tahun vakum menggambar. 

Dalam pameran yang berlangsung 11 April hingga 3 Mei 2014 ini, Sinta menampilkan karyanya dalam beragam media. Jika selama ini ia menggambar pada media kertas HVS dalam buku gambar, kali ini Sinta juga menggores di kanvas bahkan tembok. Mural di tembok-tombok tersebut menjadi sudut yang paling banyak dibidik pengunjung untuk berfoto ria.

Baru kembali menggambar, langsung ditodong untuk berpameran tunggal. Meski awalnya tak yakin apakah ia mampu, Sinta menerima tawaran tersebut sebagai tantangan. Bagi banyak kalangan, perjalananya di dunia baru ini terasa begitu pesat. "Waks, masak sih? Mungkin karena saya coba tampil beda. Memilih yang tidak banyak dipilih orang, jadi terasa spesifik lalu seolah stand out among the crowd," katanya. 

Sinta belum merasa menjadi seniman. "Menurut saya, seniman itu bekerja penuh sebagai pekerja seni, sedangkan saya tidak," kata Staf Administrasi di Center for Heritage Conservation (CHC) Jurusan Arsitektur UGM ini. Ia pun membebaskan publik untuk menyebutnya sebagai apa. "Fotografer OK, tukang gambar OK, food blogger juga boleh; atau ketiganya juga nggak apa-apa."

Yang pasti, seorang seniman baru telah lahir. Perempuan berbakat yang terus belajar. Selamat datang di titik nol perjalanan baru, Sinta Carolina! 

Mlekom,
AZ


Categories:

0 comments:

Post a Comment

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata