Jakarta pernah menjadi sebuah kota yang kunanti. Kunanti kedatanganku ke sana. Terutama di tiap hari raya. Aku dan adik mudik ke Jakarta, tempat di mana kakak dan Papa kami tinggal, juga Mama yang mondar-mandir Yogya-Jakarta.
Jakarta terasa nikmat jika kamu punya keluarga. Keluarga selalu menjadi alasan bagiku buat kembali. Meski sekadar "kembali" untuk mudik seminggu. Mudik? Hummm, tidak juga. Home-base kami di Yogya, bukan Jakarta.
Meski selalu menanti masa 'mudik' ke Jakarta, aroma Yogya selalu ngangenin. Itu, aroma yang bisa kamu hirup ketika tiba di bandara atau stasiun kereta. Jangan tanya bagaimana aromanya, ini tak akan pernah tergambarkan.
Waktu kuliah, aku selalu mendoktrin diri untuk tidak-pergi-ke-Jakarta-setelah-lulus, sebagaimana kebanyakan teman kampusku. Sebagian besar teman kuliahku yang bukan orang Jakarta, semacam terobsesi untuk bekerja di Jakarta. Mimpi menjadi bagian dari kultur sebuah kota besar tentu menjadi alasan utama.
Aku tak tertarik, sampai-sampai Mama sering menyebutku sebagai orang yang tidak memiliki obsesi. Saat itu, Mama lebih senang hidup di Jakarta sebab semua serba ada. Setelah pindah ke Yogya pun, Mama masih sering ke Jakarta untuk... belanja.
Macet. Macet. Macet. Padat. Riuh. Copet. Debu. Ini selalu menjadi alasanku malas hidup di Jakarta. Tiga kata pertama menjadi alasan utama. Aku tak tahan macet. Apalagi saat itu rumah kami di pinggiran Jakarta.
Tiga bulan lalu di hari ini, aku harus meninggalkan Yogya dengan segala hal yang kupunya di sana: kamar, keluarga, masakan Mama, mesin jahit, sahabat, ambisi, dan segalanya, you name it. Meninggalkan semuanya, untuk ke kota ini. Jakarta.
Kenapa Jakarta? Kenapa harus Jakarta? Ini pertanyaanku bagi banyak kejadian di masa lalu. Dulu aku tidak dapat menerima jawaban atas pertanyaan itu, yang diutarakan orang lain. Sekarang, aku berusaha menjawabnya sendiri, dengan bentuk penerimaan sedikit demi sedikit: Aku melakukan hal yang kusuka!
Ya, aku melakukan hal yang kusuka. Bagaimana mungkin aku dapat menyukai Jakarta? Jakarta harus disiasati, pikirku. Paling tidak, meredam hal-hal yang tidak kusuka dari kota ini.
Macet!
Aku tinggal tak jauh dari kantor. Berada di jalan yang sama jika aku berjalan berjalan kaki lima menit. Naik Trans Jakarta kurang dari 10 menit, tak akan alami kemacetan sebab melewati busway.
Macet!
Tempat tinggalku semacam 'melawan arus' kepadatan. Di jam sibuk kota Jakarta, posisi tempat tinggalku dan kantor adalah: menuju arah luar pusat kota di pagi hari, dan menuju tengah kota di sore hari. Arus kepadatan jakarta tentu para pekerja yang ngantor ke arah pusat kota, dan sebaliknya di jam pulang kantor.
Macet!
Kecuali bajaj yang kena larangan Dishub, semua moda transportasi dapat kugunakan me dan dari kantor. Pulang sebelum pukul 4.30 hanya membayar taksi Rp 11.000an diantar sampai depan pagar. Meski ketakutan di atas boncengan, ojek selalu menjadi pilihanku di sebulan pertama tinggal di sini. Kini TiJe menjadi pilihan, menabung dari selisih PP Rp 40.000 dengan ojek :)
Tiga bulan sudah, sejak Mama mengantarku ke sini. Masih ada tiga bulan lain untuk merasakan kemacetan Jakarta. Kemacetan yang nyaris tak pernah kurasakan, sebenarnya :)
Tiga bulan lagi. Jakarta, aku masih menghitung hari...
Gambar itu adalah tweet sebelum berangkat ke Jakarta. Miss that smile, always. Yeah, 'that' smile (you know what I mean). Tunggu aku di sana, ya! :)
Mlekom,
AZ
Jakarta terasa nikmat jika kamu punya keluarga. Keluarga selalu menjadi alasan bagiku buat kembali. Meski sekadar "kembali" untuk mudik seminggu. Mudik? Hummm, tidak juga. Home-base kami di Yogya, bukan Jakarta.
Meski selalu menanti masa 'mudik' ke Jakarta, aroma Yogya selalu ngangenin. Itu, aroma yang bisa kamu hirup ketika tiba di bandara atau stasiun kereta. Jangan tanya bagaimana aromanya, ini tak akan pernah tergambarkan.
Waktu kuliah, aku selalu mendoktrin diri untuk tidak-pergi-ke-Jakarta-setelah-lulus, sebagaimana kebanyakan teman kampusku. Sebagian besar teman kuliahku yang bukan orang Jakarta, semacam terobsesi untuk bekerja di Jakarta. Mimpi menjadi bagian dari kultur sebuah kota besar tentu menjadi alasan utama.
Aku tak tertarik, sampai-sampai Mama sering menyebutku sebagai orang yang tidak memiliki obsesi. Saat itu, Mama lebih senang hidup di Jakarta sebab semua serba ada. Setelah pindah ke Yogya pun, Mama masih sering ke Jakarta untuk... belanja.
Macet. Macet. Macet. Padat. Riuh. Copet. Debu. Ini selalu menjadi alasanku malas hidup di Jakarta. Tiga kata pertama menjadi alasan utama. Aku tak tahan macet. Apalagi saat itu rumah kami di pinggiran Jakarta.
Tiga bulan lalu di hari ini, aku harus meninggalkan Yogya dengan segala hal yang kupunya di sana: kamar, keluarga, masakan Mama, mesin jahit, sahabat, ambisi, dan segalanya, you name it. Meninggalkan semuanya, untuk ke kota ini. Jakarta.
Kenapa Jakarta? Kenapa harus Jakarta? Ini pertanyaanku bagi banyak kejadian di masa lalu. Dulu aku tidak dapat menerima jawaban atas pertanyaan itu, yang diutarakan orang lain. Sekarang, aku berusaha menjawabnya sendiri, dengan bentuk penerimaan sedikit demi sedikit: Aku melakukan hal yang kusuka!
Ya, aku melakukan hal yang kusuka. Bagaimana mungkin aku dapat menyukai Jakarta? Jakarta harus disiasati, pikirku. Paling tidak, meredam hal-hal yang tidak kusuka dari kota ini.
Macet!
Aku tinggal tak jauh dari kantor. Berada di jalan yang sama jika aku berjalan berjalan kaki lima menit. Naik Trans Jakarta kurang dari 10 menit, tak akan alami kemacetan sebab melewati busway.
Macet!
Tempat tinggalku semacam 'melawan arus' kepadatan. Di jam sibuk kota Jakarta, posisi tempat tinggalku dan kantor adalah: menuju arah luar pusat kota di pagi hari, dan menuju tengah kota di sore hari. Arus kepadatan jakarta tentu para pekerja yang ngantor ke arah pusat kota, dan sebaliknya di jam pulang kantor.
Macet!
Kecuali bajaj yang kena larangan Dishub, semua moda transportasi dapat kugunakan me dan dari kantor. Pulang sebelum pukul 4.30 hanya membayar taksi Rp 11.000an diantar sampai depan pagar. Meski ketakutan di atas boncengan, ojek selalu menjadi pilihanku di sebulan pertama tinggal di sini. Kini TiJe menjadi pilihan, menabung dari selisih PP Rp 40.000 dengan ojek :)
Tiga bulan sudah, sejak Mama mengantarku ke sini. Masih ada tiga bulan lain untuk merasakan kemacetan Jakarta. Kemacetan yang nyaris tak pernah kurasakan, sebenarnya :)
Tiga bulan lagi. Jakarta, aku masih menghitung hari...
Gambar itu adalah tweet sebelum berangkat ke Jakarta. Miss that smile, always. Yeah, 'that' smile (you know what I mean). Tunggu aku di sana, ya! :)
Mlekom,
AZ