Sunday, December 3, 2017

Posted by adrianizulivan Posted on 11:50:00 PM | No comments

Jakarta Biennale 2017: Menjiwai Seni, Menyenikan Jiwa

Karya paling bermakna adalah karya yang muncul dari kedalaman jiwa. Saya meyakini hal ini, termasuk dalam hal berkesenian. Karya seni yang muncul dari kedalaman jiwa, bagi saya, merupakan produk seni terbaik yang dapat dihasilkan oleh seorang seniman.

Jika demikian, maka tak mengherankan jika karya seni yang ditampilkan dalam Jakarta Biennale 2017 (JB 2017) miliki kedalaman makna yang sangat sarat pesan. Dari soal identitas kebangsaan, pembalakan hutan, penggusuran warga, hingga kegelisahan akan kebhinekaan hadir di dalamnya. Hal tersebut sesuai dengan tema yang diambil pada penyelenggaraan tahun ini: jiwa.


Gambar di atas merupakan karya seniman Robert Zhao Renhui asal Singapura. Karya berjudul “The World will Surely Collapse, Trying to Remember a Tree (III)” ini mencoba memberi makna berbeda atas peristiwa penebangan pohon yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Sang seniman kerap meneliti makna semantik pada mahluk hidup di sekitar, serta bagaimana manusia merekayasa alam.

Patung Gus Dur yang meniru "The Sleeping Buddha", karya Dolorosa Sinaga.
Patung besar berwarna emas yang membentuk sosok Gus Dur sedang rebahan dengan kopiah dan sarungnya itu, merupakan salah satu karya favorit saya. Patung ini meniru karya populer dunia "The Sleeping Buddha", yang mengundang pikir tentang keluwesan sang Guru Bangsa tersebut dalam memaknai perbedaan. Makna yang sangat kekinian untuk menggambarkan kegelisahan sang seniman akan kerinduan kita pada sosok pluralis seperti kyai besar Nahdlatul Ulama tersebut.

Dokumentasi proses berkarya seniman Semsar Siahaan.
Dokumentasi berupa hasil karya dan proses berkarya seniman besar Semsar Siahaan pun menjadi koleksi pameran yang paling saya minati. Selain memajang karya berupa lukisan, ditampilkan pula coretan sketsa yang mengawali kerja sang seniman dalam pembuatan karya, juga didukung dengan dokumentasi berupa foto koleksi keluarga yang membuat kisah hidupnya menjadi lebih hidup.

Khusus koleksi ini, saya memiliki kebanggaan tersendiri. Saya baru tahu bahwa ternyata, Semsar Siahaan lah yang membuat gambar yang sangat terkenal di masanya itu yang muncul dalam ingatan saya hingga hari ini. Ini adalah gambar dalam poster yang menjadi ikon pergerakan buruh Indonesia di masa itu.

Poster advokasi perjuangan buruh gambarkan
sosok Marsinah, karya Semsar Siahaan.
Poster tiga warna itu gambarkan sosok perempuan mengepalkan tangan, yang berdiri di depan memimpin barisan buruh. Ialah Marsinah, buruh pabrik yang merupakan aktivis gerakan buruh yang ditemukan meninggal pada 1993. Goresan dalam poster ini kemudian menjadi genre gambar dalam banyak poster gerakan perlawanan kaum tertindas lain. Dari kasus wartawan Udin tahun 1996, aktivis Munir tahun 2004, hingga penggusuran lahan untuk calon bandara baru Yogyakarta yang tengah bergulir kini.

Beserta puluhan karya lainnya, ketiga karya tersebut seakan mengajak kita untuk ikut menjiwai karya seni, dengan memaknainya sebagai bentuk suara jiwa yang disenikan. Kegelisahan, peringatan, hingga perayaan akan peristiwa yang dialami jiwa, dalam JB 2017 muncul sebagai bentuk karya seni.


Sebagaimana penyelenggaraan sebelumnya, JB 2017 hadirkan seniman dari berbagai kota dan negara. Dari dalam negeri, saya mengagumi karya Ni Tanjung 
berjudul "Dunia Leluhur" berupa wayang yang membentuk wajah para dewa mitologi Hindu Bali. Tak main-main, karya yang dibuat dengan bahan sederhana berupa kardus bekas ini telah menarik perhatian dunia art brut Eropa. Art brut merupakan karya seni ciptaan mereka yang memiliki gangguan kejiwaan.

Karya Nikhil Chopra merupakan penampilan terbaik seniman asing yang saya kagumi. Seniman asal India ini menampilkan beragam unsur seni sekaligus dalam karyanya "Land Water", yaitu seni lukis, kriya dan teater. Selain wujud yang menarik, karya ini ditampilkan dengan pesan mendalam soal kesewenangan yang dilakukan penguasa politik.


Saya pada JB 2017 di Gudang Sarinah Ekosistem.
Yang menjadi pembeda antara penyelenggaraan JB 2017 dengan yang sebelumnya adalah, bertambahnya lokasi penyelenggaraan. Jika sebelumnya terpusat hanya di Gudang Sarinah Ekosistem, kali ini juga diselenggarakan di Museum Sejarah Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik, serta Institut Français d’Indonésie (IFI). Penambahan tempat penyelenggaraan ini potensial untuk makin mendekatkan masyarakat Jakarta pada karya seni.

Selain pameran, JB 2017 yang berlangsung sejak 4 November hingga 10 Desember 2017 ini, juga menampilkan seni pertunjukan dan simposium. Puluhan agenda hadir untuk memanjakan masyarakat dan pecinta seni, yang dapat diikuti secara gratis.

Categories:

0 comments:

Post a Comment

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata