Kemarin, Sabtu (10/07) ada dua undangan pernikan dua teman dekat kita: Mas Ichwan dan Mbak Hani. Mas Ichwan menikah di Klaten, sekitar setengah jam perjalanan dari Jogja. Mbak Hani di kota Jogja. Kita tak ingin melewatkan keduanya, untuk itu kita coba mengatur waktu agar keduanya bisa kita hadiri. Kawinan Klaten pukul 09.00, sedangkan di Jogja pukul 11.00.
Dengan tanpa kesasar–yeah thx God, since Cindil hobi baca peta–kita buru-buru pamit ke manten Klaten untuk ke Jogja. Sesampainya di Jogja, acara sudah bubar. Ya, manten sedang foto-foto. Tapi untunglah kami masih sempat bertemu keduanya.
Keluar dari areal pesta di seputaran Babarsari Jogja, di jalan aku membaca baliho tentang Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM) Festival dan nyeletuk “Waa, pasti seru deh!” yang ditanggap serius oleh Cindil dengan ajakan “Ayo kesana kalo mau.”
Setelah mengantarkan Mbak Uma dan Cleo (anaknya), ke rumah mereka di pusat kota, kita pun bergegas ke Solo. Haha, sehari itu kita empat kali melewati jalan yang sama antara Jogja-Klaten.
Sampai di Solo, pertunjukan belum dimulai. Bahkan tak terlihat keramaian di Stadion Sriwedari, lokasi pertunjukan. Kiya memutuskan untuk mencari makan, sebab pertunjukan akan berlangsung hingg amenjelang tengah malam. Kita mampir ke loket, mengambil tiket dahulu. Ternyata, tiket masih banyak. Dan HTM itu berharga Rp 0,-.
Ah, sudah sesore ini, pertunjukan sebesar ini (ini merupakan event musik tahunan bertaraf internasional), dan HTM se-gratis ini, kok terlihat adem-ayem, yah? Apakah masyarakat Solo tidak tertarik dengan pertunjukan-pertunjukan seperti ini? Waah, kalau saja digelar di Jogja, jauh-jauh hari pasti tiket-tiket tersebut sudah habis, atau bisa didapatkan lewat calo yang berbayar.
Kita pun keliling kota, mencari makanan. Pilihan jatuh pada Nasi Liwet di kawasan Keprabon, makanan khas Solo yang dapat diterima lidah Sumateraku. Secara acak, Cindil memilih salah satu di antara sekian warung yang berjajar di sepanjang Jalan Tengku Umar. Di warung tersebut begitu banyak foto selebritas Indonesia yang mampir kesana. Terkenal, ternyata.
Selesai makan, kita kembali ke Sriwedari. Aah, perkiraan awal mengenai minim antusiasme masyarakat Solo untuk menonton langsung terpatahkan. Yaa, Sriwedari mendadak riuh. Kita sempat bingung dimana harus meninggalkan mobil. Akhirnya ada juru parkir yang mengarahkan untuk parkir di luar stadion, persis di Jalan Slamet Riyadi.
Dengan tanpa kesasar–yeah thx God, since Cindil hobi baca peta–kita buru-buru pamit ke manten Klaten untuk ke Jogja. Sesampainya di Jogja, acara sudah bubar. Ya, manten sedang foto-foto. Tapi untunglah kami masih sempat bertemu keduanya.
Keluar dari areal pesta di seputaran Babarsari Jogja, di jalan aku membaca baliho tentang Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM) Festival dan nyeletuk “Waa, pasti seru deh!” yang ditanggap serius oleh Cindil dengan ajakan “Ayo kesana kalo mau.”
Setelah mengantarkan Mbak Uma dan Cleo (anaknya), ke rumah mereka di pusat kota, kita pun bergegas ke Solo. Haha, sehari itu kita empat kali melewati jalan yang sama antara Jogja-Klaten.
Sampai di Solo, pertunjukan belum dimulai. Bahkan tak terlihat keramaian di Stadion Sriwedari, lokasi pertunjukan. Kiya memutuskan untuk mencari makan, sebab pertunjukan akan berlangsung hingg amenjelang tengah malam. Kita mampir ke loket, mengambil tiket dahulu. Ternyata, tiket masih banyak. Dan HTM itu berharga Rp 0,-.
Ah, sudah sesore ini, pertunjukan sebesar ini (ini merupakan event musik tahunan bertaraf internasional), dan HTM se-gratis ini, kok terlihat adem-ayem, yah? Apakah masyarakat Solo tidak tertarik dengan pertunjukan-pertunjukan seperti ini? Waah, kalau saja digelar di Jogja, jauh-jauh hari pasti tiket-tiket tersebut sudah habis, atau bisa didapatkan lewat calo yang berbayar.
Kita pun keliling kota, mencari makanan. Pilihan jatuh pada Nasi Liwet di kawasan Keprabon, makanan khas Solo yang dapat diterima lidah Sumateraku. Secara acak, Cindil memilih salah satu di antara sekian warung yang berjajar di sepanjang Jalan Tengku Umar. Di warung tersebut begitu banyak foto selebritas Indonesia yang mampir kesana. Terkenal, ternyata.
Selesai makan, kita kembali ke Sriwedari. Aah, perkiraan awal mengenai minim antusiasme masyarakat Solo untuk menonton langsung terpatahkan. Yaa, Sriwedari mendadak riuh. Kita sempat bingung dimana harus meninggalkan mobil. Akhirnya ada juru parkir yang mengarahkan untuk parkir di luar stadion, persis di Jalan Slamet Riyadi.
Pertunjukan berlangsung menyenangkan–ya, harus dengan kata apalagi? Menurut Cindil, sekelompok anak muda Singapura yang membawakan musik etnik bernuansa techno sangat biasa saja. “Aah, pada belom lulus di Malang, nih. Kalo di Malang pasti dilemparin penonton,” komentarnya.
*menurut Cindil, band-band rock yang kalo manggung di Malang tidak dilempari penonton, pasti sudah lolos uji kualitas. Ah ah, gatau deh kebenarannya*
Yang pasti, pertunjukan malam itu banyak yang bagus. Apalagi yang punya lokal alias dari negeri sendiri. Alat musik tradisionalny aitu lhooo, seru betul!
Oh ya, pertunjukan sebesar itu, yang pastinya dirancang dengan berbagai rencana matang (terlihat dari tata panggung, tiket masuk, bentuk promosi, dst) itu, oleh publik Solo direspon tidak terlalu antusia. Ya, para penampil, yang kebanyakan sangat interaktif ke penonton tidak dibalas secara responsif. Ini pertunjukan jadi kurang ramai.
Tak ada sahut-menyahut meriah antara artis yang mengajukan pertanyaan atau menguraikan ajakan kepada penonton. Tak terdengar pula interaksi menyegarkan antara pembawa acara dan penonton. Adem ayem, deh. Solo banget kali, yah? Hal sebaliknya pasti terjadi jika pertunjukan sejenis diselenggarakan di Jogja ;)
Bahkan, silih berganti penonton pulang ketika pertunjukan masih berlangsung. Termasuk kita ;) Kita pulang di tengah-tengah pertunjukan terakhir (Pipa Woman dari Taiwan) yang memainkan gitar tradisional China. Itu sudah pukul 10.30. Sebab, kita harus menempuh jalan kembali ke Jogja yang memakan waktu hampir dua jam. Ada untungnya pulang duluan, parkiran belum riuh!
“Kamu ngantuk?” tanyaku pada Cindil. Aku khawatir dia mengantuk ketika meneyetir.
“Enggak!” jawabnya.
Mobil diparkir tepat pukul 12.03 di depan garasi rumahku.
“Kamu ngantuk?” tanyaku lagi padanya yang masih akan menempuh perjalanan pulang dengan sepeda hingga setengah jam.
“Ya, tadi di jalan. Tapi setiap lampu merah, aku sempatkan tidur,” jawabnya.
“Huuh, kamu ya, itu bahaya banget, tau!”
“Tapi kita gpp, kan? Aku cuman mau tepatin janji untuk mulangin kamu sebelum tengah malam.”
“Siapa yang janji?”
“Aku sendiri.”
Aah Cindilku, bagaimana mungkin aku enggak sayang kamu???
0 comments:
Post a Comment