Mungkin tak semua orang memahami arti judul tulisan ini. Difabel merupakan singkatan dari different ability people, yang diartikan sebagai orang dengan kemampuan khusus. Istilah lain untuk pemaknaan tersebut adalah disability dan handicapped.
Semua istilah tersebut belum populer di telinga masyarakat kita. Kita lebih familier dengan istilah penyandang cacat, individu yang mengalami kelainan fisik, dan orang berkebutuhan khusus. Meski tampak sama, ragam istilah tersebut memiliki dampak psikologis berbeda. Tanpa disadari, istilah-istilah ini seringkali menciptakan diskriminasi bagi penyandangnya.
Terlepas dari istilah, ada banyak hal penting yang wajib diberikan negara sebagai hak difabel. Diantaranya adalah aksesibilitas ruang publik, fasilitas khusus terkait ketersediaan informasi dan transportasi, hingga pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan bagi siswa difabel di sekolah umum--bukan Sekolah Luar Biasa (SLB). Pada dasarnya, pendidikan inklusi tak hanya menyasar pada penyediaan sarana khusus bagi difabel, namun juga mengajarkan siswa non difabel tentang keberadaan disabilitas di sekitarnya.
Bentuk pendidikan ini semestinya diajarkan pula kepada masyarakat umum, melalui jalur-jalur informal. Perlu disadari, masih banyak di antara kita yang belum memahami isu ini. Bagaimana cara berinteraksi dengan difabel dalam keseharian, misalnya. Jika ada pengguna kruk--tongkat alat bantu jalan--yang berdiri di dalam bus, bersediakah kita memberikan tempat duduk? Apa yang harus kita lakukan ketika menyeberangkan seorang tunanetra?
Banyak hal yang menunjukkan ketidaksiapan kita dalam memberikan hak bagi difabel. Memarkir kendaraan di atas trotoar, lalu duduk di warung tenda yang berdiri di atas trotoar. Ini sering kita lakukan, tanpa menyadari bahwa hal ini membahayakan penyandang tunanetra. Kendaraan-kendaraan dan warung tenda yang berdiri di atas trotoar akan menutup akses tunanetra terhadap guiding block--fasilitas berupa ubin berstruktur menonjol sebagai pengarah jalan. Coba bayangkan, bagaimana jika mereka terbentur pintu mobil atau tersandung kompor di warung!
Bahkan ruang publik yang diatur negara pun tidak memihak difabel. Informasi di stasiun tak ramah tunarungu, sebab pengumuman kedatangan kereta api hanya menggunakan pengeras suara. Toilet umum tidak memiliki pintu yang lebar, sehingga tak bisa dimasuki kursi roda. Itu sedikit persoalan yang kerap kita temui.
Mungkin tak bijak juga jika menyalahkan orang-orang yang menutup akses trotoar ini. Menyalahkan pemerintah? Kebijakan yang tidak peka difabel tentu muncul dari ketidaktahuan para pengambil kebijakan. Minimnya pendidikan disabilitas yang didapat masyarakat, bisa menjadi penyebab. Untuk itu, pendidikan terkait pengenalan disabilitas sangat diperlukan. Proses diseminasi pengetahuan ini tak hanya menjadi pekerjaan pemerintah, namun juga seluruh masyarakat.
Gambar dari sini.
Mlekom,
AZ
0 comments:
Post a Comment