Dengan susah payah kunaiki tangga kereta. Dua koper di tangan menjadi sebab sulitnya aku bergerak. Koper ini nantinya akan kubawa ke bandara.
Seluruh kursi di sekitar tempatku berdiri penuh. Memang pada tiket kereta lokal jarak pendek ini tertulis "tanpa tempat duduk", yang berarti aku harus berebut dengan ratusan orang untuk mendapatkan sebuah kursi.
Tak ada tanda-tanda kursi kosong. Dengan dua koper ini, aku tak mungkin pula bergeser untuk mencari kursi kosong ke gerbong lain. Maka kusandarkan badan di tiang penyangga, dengan kedua koper kuletakkan menyandar kaki. Di balik tiang ada sebuah bangku tunggal (single seat) yang diduduki lelaki muda. Kedua kakinya diletakkan di atas kursi, bersila.
Di depan lelaki muda yang duduk bersila di bangku tunggal ini, berdiri seorang bapak yang mengaitkan tanggannya ke dua bocah usia sekolah dasar. Bapak-anak ini clingak-clinguk mencari bangku kosong yang dapat mereka duduki. Tak ada. Sebagaimana aku, mereka pun mencari sandaran.
Pada lelaki muda yang duduk bersila di bangku tunggal ini, rasanya ingin kutanyakan: Apakah boleh jika bangkunya diberikan kepada bapak yang membawa anak itu?
Tapi kuurungkan. Entah mengapa.
Kereta jalan. Tak lama terdengar lantunan ayat suci. Merdu, sebagaimana yang sering kudengar dari rumah ibadah di lingkungan kami. Keras, di tempat yang tak semestinya ini. Suara merdu nan keras yang bersahutan dengan deru laju kereta. Tak hanya satu, tapi dua. Satu lantunan keluar dari lelaki muda yang duduk bersila di bangku tunggal, satu lantunan lain dari bangku di sampingku yang diduduki perempuan bercadar hitam. Keduanya memegang kitab yang sama dengan kondisi terbuka sebab sedang dibaca.
Bagiku, saking sucinya kitab itu, aku merasa membutuhkan privasi yang lebih ketika aku 'bercinta' dengannya. Kurang afdol rasanya membaca di tengah kerumunan orang yang merasakan ketidaknyamanan, sementara aku bisa duduk nyaman membacanya. Tak sudi pula aku membacanya dengan suara keras ketika aku berada di tempat umum yang bukan tempat ibadah, kitab ini terlalu suci untuk mengganggu ketenangan orang lain.
Namun justru itulah yang terjadi.
Belum setengah jarak kami tempuh dalam perjalanan sejam ini, kudengar suara lelaki muda yang duduk bersila di bangku tunggal berbicara kepada seorang lelaki berkulit putih bermata sipit. Lelaki muda yang duduk bersila di bangku tunggal berbicara dalam bahasa Indonesia, lalu bahasa Arab. Bahasa Indonesia, bahasa Arab. Terus begitu.
Kepada lelaki berkulit putih bermata sipit, si lelaki muda yang duduk bersila di bangku tunggal mempertanyakan soal agama. Memang lelaki berkulit putih bermata sipit sedang membaca buku tentang sebuah agama yang berbeda dengan agama lelaki muda yang duduk di bangku tunggal.
Apakah anda benar-benar membaca al-kitab dan memahami isinya?
Tahukah anda bahwa hanya Islam lah agama yang dirahmati Allah?
Lelaki muda yang duduk di bangku tunggal terus berbicara dengan suara yang dapat didengar penumpang di setengah gerbong kereta. Dalam bahasa Indonesia, lalu bahasa Arab. Lalu bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Begitu terus hingga kereta kami tiba di stasiun tujuan.
Meski sesekali ia anggukkan kepala, lelaki berkulit putih bermata sipit terlihat tak nyaman dengan obrolan itu. Tentu saja. Laki muda yang duduk bersila di bangku tunggal terbiasa membicarakan tentang keagamaan di mana pun, kapan pun. Dari penampilannya yang tampak seperti pekerja kantoran itu, lelaki berkulit putih bermata sipit ini tampak tak siap. Bukan 'lawan' yang sebanding.
Kubayangkan ketika aku sedang melakukan aktivitas keseharian, seperti naik kereta api, bertemu dengan seseorang dari negara yang sama denganku yang menanyakan:
Apakah anda benar-benar membaca kitab suci dan memahami isinya?
Tahukah anda bahwa Islam adalah agama pengembangan, bukan agama asli yang diturunkan Tuhan?
Aku pasti tidak nyaman. Bukankah agama/ajaran/kepercayaan adalah hal paling pribadi yang dianut tiap manusia? Bukankah ini merupakan urusan masing-masing manusia dengan penciptanya (hambluminallah)?
Lain hal jika akulah yang membuka obrolan tentang itu. Atau ketika aku menghadiri sebuah diskusi keagamaan. Itu pun rasanya tak elok jika ada kesan apalagi pernyataan yang menyudutkan keyakinan orang lain.
Dari pada mempertanyakan mengapa orang lain memeluk agama yang tidak sama dengan agamamu ( ingat lakum diinukum wa liyadiiin), lebih baik mengoreksi peran sosialmu (kewajiban hablumminannas) ketika tidak memberikan bangku pada orang yang lebih berhak, ketika mengganggu ketenangan orang lain di kendaraan umum, dan ketika 'menyerang' keyakinan orang lain di saat yang tidak tepat.
Tentang lelaki berkulit putih bermata sipit ini, temanku memberi komentar:
"Lagi apes aja!". Semoga Allah merahmatinya, juga merahmati lelaki muda yang duduk bersila di bangku tunggal.
Mari mendoakan agar segala tindak tanduk dan ibadah kita disempurnakanNya.
Gambar dari sini.
Mlekom,
AZ
0 comments:
Post a Comment