Jarum jam melangkah ke angka tiga, ketika sore itu kami tiba di kediaman Pak Bas (72). Basis Hargito, begitu nama panjangnya, tampak sibuk di dapur. Pak Bas mengocok telur, sedang istrinya Bu Gidah (64) memanggang di oven. Formasi kerjasama ini telah mereka lakukan sejak 1983.
Dimulai pukul 07.00, tiap hari pasangan ini sambangi dapur meski di hari libur. "Ga ada libur, kan bukan pegawai," kelakar Pak Bas. Mengaduk telur dan gula dengan sendok kayu, mengocoknya dengan kocokan telur per, mencampur dengan terigu dan susu, menuang di cetakan, memanggang, menjaga api, melepas roti dari cetakan, mengoles kuning telur, membungkus, membagi sesuai jumlah pesanan dan memajang di rak jual.
Seluruh aktivitas itu mereka kerjakan berdua saja, dengan sesekali dibantu anak-anaknya. Urusan dapur akan selesai pukul 17.00, dilanjut melayani pembeli dan mencatat pembukuan. Tanpa disadari, keseharian ini menjadi kontribusi sangat berharga dalam melestarikan pusaka tak benda (intangible heritage) yang dimiliki Indonesia.
Pak Bas yang selalu tersenyum ramah. |
Pak Bas dan Bu Gidah merupakan satu dari hanya lima pengrajin roti kembang waru yang tertinggal. Kue (oleh warga setempat disebut roti) ini merupakan menu hajatan yang ditinggalkan oleh masa Kerajaan Mataram. Mulai upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan hingga kematian, roti kembang waru selalu ada dalam sajian makanan ringan dan hantaran atau bingkisan untuk dibawa pulang oleh tamu.
Awalnya Pak Bas, sebagaimana kebanyakan profesi di Kampung Basen, bekerja sebagai pengrajin blek. Blek merupakan sebutan untuk peralatan rumah tangga yang terbuat dari logam seperti ceret air, dandang penanak nasi, oven pemanggang dan sebagainya. Seiring waktu, peminat blek berkurang akibat serbuan produk rumah tangga berbahan plastik. Satu per satu pengrajin gulung tikar, termasuk Pak Bas.
Bersama istri, ia bertekad meneruskan usaha keluarga dengan menjual roti kembang waru. Saat itu mereka tidak sendiri, puluhan pengrajin blek lainnya juga beralih profesi menjadi pembuat roti kembang waru. Hingga penganan ini berhasil dikenalkan sebagai makanan keseharian yang tak hanya bisa dinikmati dalam upacara adat.
Pesanan utama datang dari keluarga yang mengadakan hajatan, lalu masyarakat umum yang sekadar ingin menyicipi. Hingga saat ini roti kembang waru bikinan Pak Bas telah melanglang ke sejumlah pulau di nusantara dan berbagai negara. "Ada saja orang yang memesan dan membawanya kembali ke daerah atau negaranya," terang Pak Bas.
Bu Gidah di depan oven dan tungku tradisional. |
Resep
34 tahun kini, meski puluhan pengrajin roti kembang waru telah lama berhenti berproduksi, Pak Bas dan keluarga terus mengepulkan dapur produksinya. Ia menerima mahasiswa, peneliti, pejalan maupun wartawan yang ingin belajar dengan tangan terbuka.
2 kg telor : 1 kg gula : 1 kg tepung. Begitu resep satu adonan roti kembang waru yang dibuat Pak Bas. Dalam 10 jam per hari itu, rata-rata ia mampu hasilkan 500 potong kue. Jumlah jam kerja ini bertambah jika mendapat banyak pesanan. Namun ada ataupun tak ada pesanan, ia akan selalu membuat roti kembang waru untuk masyarakat Yogyakarta.
Bagi Pak Bas, resep roti kembang waru yang dibuatnya tak hanya berbahan telur, gula dan terigu, namun juga kualitas rasa dan ketepatan waktu. "Saya jaga betul kualitas rasa roti buatan saya agar tidak ada yang berbeda sejak dahulu hingga sekarang, juga memastikan seluruh pesanan bisa diselesaikan tepat waktu agar kami terus mendapat kepercayaan pelanggan," jelasnya.
Kualitas bahan ini merupakan hal utama. Pak Bas menggunakan gula asli dan bukan pemanis buatan, tidak mengurangi jumlah telur meski ini merupakan bahan termahal, juga memastikan proses pematangan yang benar-benar sempurna. Ia sebagaimana pendahulunya, hanya mengganti bahan tepun menjadi terigu.
Di masa kerajaan tepung yang digunakan adalah tepung ketan, tentu akibat belum adanya teknologi untuk membuat gandum menjadi tepung. Penggunaan terigu tentu membuat rasa kue ini menjadi lebih enak dan proses pembuatan menjadi lebih murah. Dampaknya, harga jual tak pernah mahal. Di awal Januari 2017 ini masih dihargai sebesar Rp 1.600 per buah.
Generasi Kedua
Kampung Basen Kecamatan Kotagede terletak di kawasan perkotaan Yogyakarta dimana warganya kini memiliki beragam profesi. Kendala terbesar dalam melestarikan camilan ini adalah makin minimnya generasi Kampung Basen yang tertarik untuk meneruskan usaha tersebut, padahal para generasi kedua yang kini memegang kendali sudah tak lagi muda.
Ancaman hilangnya roti kembang waru bukanlah sekadar mengada-ada. Di masa jayanya, sejumlah pengrajin blek membuat cetakan dan oven pemanggang roti kembang waru. Pengrajin blek terakhir bertahan hanya hingga 2014 lalu, hingga pembuat roti kembang waru harus membuat sendiri cetakan dan oven yang mereka butuhkan.
Apakah kita hanya sedang menunggu roti kembang waru berhenti dibuat?
AZ
0 comments:
Post a Comment