Wednesday, January 20, 2010
Posted by adriani zulivan
Posted on 4:56:00 PM | No comments
Mohon Masukan: Pengalaman Empiris Manfaat Situs Jejaring Sosial dalam Kondisi Bencana
Dear All,
Berada di pertemuan tiga lempeng besar aktif yang pergerakannya mampu menghasilkan gempa menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia termasuk dalam wilayah rawan bencana. Tak hanya itu, salah satu penanda pertemuan kedua lempeng tersebut adalah keberadaan gunungapi yang berpotensi menimbulkan berbagai bencana vulkanik. Hal itu masih ditambah lagi dengan kondisi nusantara yang dua pertiga wilayahnya merupakan lautan, sehingga gempa-gempa yang terjadi sangat potensial menimbulkan tsunami.
Sebagai warga negara yang tinggal di negeri penuh bencana ini, sepertinya akan cukup sulit untuk menemukan orang yang belum pernah merasakan bencana. Mulai dari bencana yang mengakrabi sebagian penduduk kota besar kita seperti banjir, angin ribut yang belakangan ini marak, hingga kejadian gempa bumi yang seringkali dilabeli bencana nasional.
Bayangkan apa yang dilakukan seseorang ketika ia berada di tengah bencana? Seperti kejadian gempa bumi yang berpusat di Ujung Kulon pada 16 Oktober 2009 lalu. Gempa itu turut mengguncang Jakarta, Banten dan sebagian Jawa Barat. Setelah berlarian menyelamatkan diri, masing-masing orang akan berusaha menghubungi kerabat untuk mengabarkan kondisinya. Beruntung memang, ketika gempa berkekuatan 6,4 SR tersebut tidak sampai menyebabkan putusnya jaringan informasi seperti yang jamak terjadi di daerah-daerah lain yang mengalami gempa. Hingga dapat dipastikan bahwa saat itu jaringan BTS sangat padat karena orang terus menelepon dan berkirim SMS.
Nah, ada hal baru di kejadian gempa Ujung Kulon kali ini, yaitu selain langsung memanfaatkan ponselnya untuk berkomunikasi langsung, tak sedikit orang Jakarta yang beberapa saat setelah terjadinya gempa langsung mengupdate status mereka yang menggambarkan kejadian gempa yang baru saja mereka alami di situs jejaring sosial (social networking) tempat mereka bergabung. Sampai-sampai muncul status kocak seperti "Orang Jakarta begitu gempa langsung ambil HP, update status FB", yang di-post oleh salah seorang yang saat itu juga mengalami kejadian gempa tersebut.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, masyarakat kita sering berbagi berita bencana di situs jejaring sosialnya lewat cara memperbarui status. Secara psikologis, hal ini sangat membantu orang-orang dekat yang berada dalam jarak yang tidak dekat dengan kita untuk mengetahui tentang kondisi kita. Misalnya saja, seorang adik yang berada di Yogyakarta tidak akan khawatir dengan kondisi kakaknya yang berada di Jakarta saat kejadian gempa Ujung Kulon, sebab si kakak meng-update kondisinya di status FB.
Untuk hal yang lebih luas, pemilik akun di situs jejaring sosial yang terus memperbarui statusnya di saat bencana seperti ini—tentunya jika ketersediaan jaringan komunikasi mencukupi—mampu menjadi semacam informan strategis. Posisi mereka disebut strategis, sebab berada langsung di tempat kejadian, sehingga mampu melaporkan kejadian tersebut berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan secara langsung. Bahkan dalam banyak kejadian, orang-orang yang aktif di situs jejaring sosial sudah mengetahui informasi terjadinya suatu bencana di daerah tertentu, lebih cepat dibanding pengumuman resmi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan United States Geological Survey (USGS).
Tentu saja, ini menjadi salah satu alasan mengapa kemudian USGS membuat akun twitter berlabel Twitter Earthquake Detector (TED) yang bagi seluruh penghuni bumi bisa dijadikan tempat berbagi dan memperoleh informasi dengan mem-follow @usgsTED (http://www.usgs.gov/corecast/details.asp?ep=113 ). Akun ini dibuat untuk menghasilkan data gempa bumi secara real time.
Secara mudah, itulah salah satu fungsi dari situs jejaring sosial. Tentu ada berbagai fungsi dan peranan lain yang dengan atau tanpa sengaja turut membantu berjalannya arus informasi di tengah daerah bencana.
Saat ini combine.or.id sedang menyusun terbitan yang terkait tentang bencana dan pemanfaatan media. Untuk itu, kami membutuhkan cerita-cerita mengenai pengalaman empiris anda ketika mersakan betapa sebuah situs jejaring sosial sangat membantu terjalinnya komunikasi anda dengan kerabat pasca bencana. Anda bisa berpartisipasi lewat bercerita dengan alur sebagai berikut:
Salam,
AZ
Berada di pertemuan tiga lempeng besar aktif yang pergerakannya mampu menghasilkan gempa menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia termasuk dalam wilayah rawan bencana. Tak hanya itu, salah satu penanda pertemuan kedua lempeng tersebut adalah keberadaan gunungapi yang berpotensi menimbulkan berbagai bencana vulkanik. Hal itu masih ditambah lagi dengan kondisi nusantara yang dua pertiga wilayahnya merupakan lautan, sehingga gempa-gempa yang terjadi sangat potensial menimbulkan tsunami.
Sebagai warga negara yang tinggal di negeri penuh bencana ini, sepertinya akan cukup sulit untuk menemukan orang yang belum pernah merasakan bencana. Mulai dari bencana yang mengakrabi sebagian penduduk kota besar kita seperti banjir, angin ribut yang belakangan ini marak, hingga kejadian gempa bumi yang seringkali dilabeli bencana nasional.
Bayangkan apa yang dilakukan seseorang ketika ia berada di tengah bencana? Seperti kejadian gempa bumi yang berpusat di Ujung Kulon pada 16 Oktober 2009 lalu. Gempa itu turut mengguncang Jakarta, Banten dan sebagian Jawa Barat. Setelah berlarian menyelamatkan diri, masing-masing orang akan berusaha menghubungi kerabat untuk mengabarkan kondisinya. Beruntung memang, ketika gempa berkekuatan 6,4 SR tersebut tidak sampai menyebabkan putusnya jaringan informasi seperti yang jamak terjadi di daerah-daerah lain yang mengalami gempa. Hingga dapat dipastikan bahwa saat itu jaringan BTS sangat padat karena orang terus menelepon dan berkirim SMS.
Nah, ada hal baru di kejadian gempa Ujung Kulon kali ini, yaitu selain langsung memanfaatkan ponselnya untuk berkomunikasi langsung, tak sedikit orang Jakarta yang beberapa saat setelah terjadinya gempa langsung mengupdate status mereka yang menggambarkan kejadian gempa yang baru saja mereka alami di situs jejaring sosial (social networking) tempat mereka bergabung. Sampai-sampai muncul status kocak seperti "Orang Jakarta begitu gempa langsung ambil HP, update status FB", yang di-post oleh salah seorang yang saat itu juga mengalami kejadian gempa tersebut.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, masyarakat kita sering berbagi berita bencana di situs jejaring sosialnya lewat cara memperbarui status. Secara psikologis, hal ini sangat membantu orang-orang dekat yang berada dalam jarak yang tidak dekat dengan kita untuk mengetahui tentang kondisi kita. Misalnya saja, seorang adik yang berada di Yogyakarta tidak akan khawatir dengan kondisi kakaknya yang berada di Jakarta saat kejadian gempa Ujung Kulon, sebab si kakak meng-update kondisinya di status FB.
Untuk hal yang lebih luas, pemilik akun di situs jejaring sosial yang terus memperbarui statusnya di saat bencana seperti ini—tentunya jika ketersediaan jaringan komunikasi mencukupi—mampu menjadi semacam informan strategis. Posisi mereka disebut strategis, sebab berada langsung di tempat kejadian, sehingga mampu melaporkan kejadian tersebut berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan secara langsung. Bahkan dalam banyak kejadian, orang-orang yang aktif di situs jejaring sosial sudah mengetahui informasi terjadinya suatu bencana di daerah tertentu, lebih cepat dibanding pengumuman resmi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan United States Geological Survey (USGS).
Tentu saja, ini menjadi salah satu alasan mengapa kemudian USGS membuat akun twitter berlabel Twitter Earthquake Detector (TED) yang bagi seluruh penghuni bumi bisa dijadikan tempat berbagi dan memperoleh informasi dengan mem-follow @usgsTED (http://www.usgs.gov/corecast/details.asp?ep=113 ). Akun ini dibuat untuk menghasilkan data gempa bumi secara real time.
Secara mudah, itulah salah satu fungsi dari situs jejaring sosial. Tentu ada berbagai fungsi dan peranan lain yang dengan atau tanpa sengaja turut membantu berjalannya arus informasi di tengah daerah bencana.
Saat ini combine.or.id sedang menyusun terbitan yang terkait tentang bencana dan pemanfaatan media. Untuk itu, kami membutuhkan cerita-cerita mengenai pengalaman empiris anda ketika mersakan betapa sebuah situs jejaring sosial sangat membantu terjalinnya komunikasi anda dengan kerabat pasca bencana. Anda bisa berpartisipasi lewat bercerita dengan alur sebagai berikut:
- Pernahkan anda mengalami kejadian bencana alam? Atau, pernahkah kerabat Anda menjadi salah seorang yang berada di tempat kejadian bencana?
- Apakah Anda menggunakan situs jejaring sosial untuk mengirim kabar dan/atau mencari kabar seseorang?
- Bagaimana efektifitas media situs pertemanan dalam perannya sebagai penyampai berita dari/ke lokasi bencana?
Salam,
AZ
Wednesday, January 13, 2010
Monday, January 4, 2010
“Mama ngambil (kuliah) S2 untuk menopang hidup kami.”
Keterangannya itu membuatku tersentak. Bahwa seorang perempuan menghidupi diri dan anaknya dari bantuan dana pendidikan! Ya, awalnya, aku berpikir betapa hebatnya perempuan satu ini. Di usianya yang tak lagi muda (late 40), dia beresemangat meneruskan pendidikannya. Mungkin karena dia (mantan) seorang pendidik, pikirku sebelumnya.
Nah, kamu tahu apa? Perempuan itu adalah ibu kandung dari salah seorang sahabat yang sudah kukenal sejak LIMA tahun lalu. Sahabat yang sudah kuanggap adik sendiri. Hebatnya, meski aku tahu banyak hal tentang keluarganya, tapi tidak dengan cerita ini. Too bad, bahwa kita sebenarnya begitu dekat, namun ternyata begitu jauh!
Then Scallopteakwood
Sebut saja namanya begitu. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara dengan urutan gender laki-laki, laki-laki, dan perempuan. Dia tinggal bersama ibu dan adiknya, sedang kakaknya sudah tinggal terpisah dari keluarga sejak berwirausaha. Apalagi tahun lalu telah menikah.
Dia adalah mahasiswa semester akhir di universitas negeri tertua di negeri ini. Sedang adiknya masih duduk di bangku SMU. Ibunya adalah mantan seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) yang memilih mengakhiri jabatannya karena tidak sepikiran dengan atasannya.
Ya, sekitar dua tahun lalu sang ibu mengajukan pengunduran diri sebagai tenaga pengajar di sebuah PTS. Bukan karena permintaan suami, bukan pula karena gaji yang tak mencukupi.
Bukan alasan permintaan suami, sebab ia dan ketiga anaknya sudah belasan tahun ditinggal tanpa kabar dan tanggung jawab. Ke mana sang ayah? Jangan ditanya ke mana dia pergi,,, jangan ditanya dia tak kembali... Sebagai single parent, ia menghidupi sendiri anak-anaknya. Maka tak mungkin alasan gaji yang tak mencukupi.
Sebagai seorang dosen yang sudah memiliki jabatan cukup penting di jurusan tempat ia mengabdi, perempuan ini berani bersuara lantang untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan pikiran dan ideologinya. Hingga suatu saat, suara lantangnya itu membuat ia bermasalah dengan atasannya. Daripada diam dan terus bekerja dengan sistem yang tidak sesuai dengan hatinya, ia pun memutuskan untuk mengakhiri karier di tempat itu.
Dia memutuskan berhenti tentu saja dengan berbagai pertimbangan matang. Saat itu, aplikasinya untuk melanjutkan studinya diterima. Itu artinya, ia akan memperoleh dana bantuan pendidikan sebanyak Rp 1,5 juta per bulan dan Rp 4 jt selama menyelesaikan tesis. Baginya, jumlah itu dirasa cukup untuk membiayai rumah tangganya. Kebetulan, sejak selesai kuliah S1 dua tahun lalu, si sulungnya berwiraswasta—meski belum mampu membantu ibunya membiayai kedua adiknya, ia mampu membiayai kehidupannya sendiri. Jadi yang masih ditanggungnya dua anak terakhir.
Namun secara logika, seorang anak laki-laki yang duduk di semester VI—meski di PT negeri—pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Begitu pula gadis kecilnya yang saat itu masih duduk di bangku SMU. Belum lagi kebutuhan harian rumah tangga. Bagaimana keluarga itu bisa bertahan jika tidak mempunyai sumber penghasilan lain?
Sembari kuliah, sang ibu menjadi caleg di Dapil tempat tinggalnya. Keluarga ini sangat berharap pada terpilihnya sang ibu sebagai anggota legislatif, sebab hidup mereka benar-benar membutuhkan itu: gaji bulanan dan rumah.
Ya, selama ini mereka menumpang di rumah salah seorang kerabat sang ibu yang ternyata tidak terlalu bisa menerima kehadiran mereka di sana. Itu sebab mengapa si anak kedua ini lebih memilih untuk menginap di kamar kos salah saorang sohib karibnya di kampus, dan sesekali pulang ke rumah tanpa menginap hanya untuk menemui ibunya. *Terimakasih untuk sang sohib!*
Alasan lain mendompleng di tempat kos temannya adalah karena jarak rumah ke kampus cukup jauh, sehingga dia membutuhkan bea lebih banyak untuk bensin sepeda motornya. Sedangkan dari kos-kosan ia bisa menggenjot sepeda saja.
Akhir Tahun 2008
“Aku takut aku tidak bisa membalas kebaikan mama,” lirih si anak kedua ketika suatu hari bercerita padaku.
“Lho, kenapa enggak bisa? Kalo sekarang ya belum, lah. Kamu kan masih kuliah.”
“Justru karna itu...”
“Lho, lho? Kamu balasnya nanti donk, setelah lulus, terus kerja. Bantu deh mama untuk kebutuhan harian di rumah dan sekolah adek.”
“Tapi apa aku bisa?”
“Bisa! Kamu sekarang kuliahnya sudah sampai mana?”
Menurutnya, ini merupakan semester terakhirnya mengambil mata kuliah. Semester depan tinggal skripsi. Jadi, sekitar Oktober tahun depan dia bisa tamat kuliah kalau nilai tidak rusak. Sedangkan sang ibu akan lulus pada November 2009 yang artinya, setelah lulus tidak akan ada lagi aliran dana untuk keluarga itu. Jadi, Si Tengah ini harus segera lulus!
Ya, dia satu-satunya harapan termungkin dari keluarga itu untuk hidup. Lihat kakaknya, kini berkeluarga, tak bisa lagi berbagi penghasilan. Lihat adiknya, masih sekolah. Lihat ibunya, tak mudah mencari pekerjaan baru di usianya sekarang.
Tengah 2009
Pemilu selesai. Nama sang ibu tidak tercantum dalam susunan anggota DPRD terpilih. Itu berarti bahwa mereka tidak jadi mendapat rumah dinas yang bisa digunakan sementara oleh keluarga ini, agar tidak berstatus menumpang tempat tinggal lagi. Itu juga berarti bahwa mereka tetap tidak memiliki penghasilan bulanan.
Saat kampanye, sang ibu yakin dengan konstituennya. Ia yakin bahwa mereka akan memilih dia. Karena ketiadaan dana, dia berkampanye dengan membuat berbagai program yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat dusun/desa, terutama kaum perempuan. Hal ini, tentu saja, mendapat simpati luar biasa dari masyarakat setempat.
Tapi siapa sangka, mungkin benar bahwa uang selalu menang. Berbagai atribut kampanye dibagikan tiap kampanye caleg saingannya. Belum lagi jika berbicara mengenai bagi-bagi sembako dan amplop. Kalah, lah!
Akhir 2009
Aku akan berangkat ke Kupang. Diterima menjadi MT di perusahaan semen. Selama OJT ia digaji Rp 3,5 jt dengan pesawat PP ditanggung perusahaan. Itu artinya, ketika menjadi pegawai tetap nantinya, gajinya akan bertambah.
“Rp 3,5 jt itu buatku kok kegedean, yah?” katanya bersungguh-sungguh.
Alhamdulillah, dia hanya sempat menganggur beberapa bulan setelah wisuda November 2009 lalu.
Selamat, dek. Pencapaianmu ini menjadi salah satu kado terindah buatku di tahun baru ini. Love you, my “Then Scallopteakwood” :)
AZ
Subscribe to:
Posts (Atom)