Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vredeburg.
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu, Mataram...
Ingat-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang--seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang bisa diterangkan, rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali ke Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma"?)
mambutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebar lagi warna mainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
[Di Malioboro, Goenawan Mohamad]
Itu salah satu puisi dalam buku ini. Jika GM bisa sepuitis ini melihat Malioboro tahun 1997, apakah ia juga akan menciptakan bait-bait indah dengan Malioboro kini? Malioboro yang bertabur crane pembangunan hotel-hotel menjulang. Hotel-hotel yang menghabiskan air tanah untuk warga, yang memperburuk kemacetan kota.
Ah sudahlah, mari menikmati keindahan puisi-puisi ini...
Mlekom,
AZ
di sisi Benteng Vredeburg.
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu, Mataram...
Ingat-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang--seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang bisa diterangkan, rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali ke Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma"?)
mambutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebar lagi warna mainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
[Di Malioboro, Goenawan Mohamad]
Itu salah satu puisi dalam buku ini. Jika GM bisa sepuitis ini melihat Malioboro tahun 1997, apakah ia juga akan menciptakan bait-bait indah dengan Malioboro kini? Malioboro yang bertabur crane pembangunan hotel-hotel menjulang. Hotel-hotel yang menghabiskan air tanah untuk warga, yang memperburuk kemacetan kota.
Ah sudahlah, mari menikmati keindahan puisi-puisi ini...
Mlekom,
AZ
0 comments:
Post a Comment