Salah satu resolusi 2014 ku adalah "tinggal tidak di bawah ketek ortu, demi keluar dari zona nyaman". Cara asyik untuk cabut dari rumah adalah dapat beasiswa. Emang dipikir mudah, sejak 2013 belom ada harapan. Akhirnya di bulan Mei aku berubah pikiran: sambil terus cari beasiswa, mari kerja di luar kota.
Aku pengennya kerja di tempat yang indah. Harus Indonesia timur, sebab Sumatra kayanya bisa aku kunjungi kapan saja, sebab sebagian besar kerabat tinggal di sana. Papua belum berani, sudah kebayang ongkos mudik yang bikin kantong bolong.
Kebetulan ada bukaan di salah satu el es em di Kupang. Woaaaa keterima donk! Trus cerita sama Mamak Awak, "Enggak, mama nggak mau, di sana masih ada malaria, di sana jauh, di sana gini gitu gini gitu..." yang mengakibatkan aku mengundurkan diri.
Mengapa tidak Jakarta seperti kebanyakan tamatan Yogya (baca: biasanya sih anak2 UGM) lainnya? Duh, kota itu. Macet adalah hal yang paling bikin anti sama kota satu ini. Pernah sih cinta sama Jakarta, waktu aku kuliah dan keluarga tinggal di sana. Jadi tiap ke Jakarta senang, karena ketemu keluarga. Gak peduli kemacetan.
Tapi akhirnya aku keterima di Jakarta. Mamak Awak nggak khawatir. Memang, kotanya jauh dari kata i-n-d-a-h. Tapi berbagai strategi bisa buat hidup di Jakarta tidak-seburuk-pikiranku. Misal: kembali ke ketek ortu saban akhir pekan smile emoticon #balikmaningbalikmaning
Dah 3 minggu gak pulang. Kangen mudik. Banget.
*Ini gambar halaman samping rumah kami, digambar kakakku yang baru belajar nyeket.
Aku pengennya kerja di tempat yang indah. Harus Indonesia timur, sebab Sumatra kayanya bisa aku kunjungi kapan saja, sebab sebagian besar kerabat tinggal di sana. Papua belum berani, sudah kebayang ongkos mudik yang bikin kantong bolong.
Kebetulan ada bukaan di salah satu el es em di Kupang. Woaaaa keterima donk! Trus cerita sama Mamak Awak, "Enggak, mama nggak mau, di sana masih ada malaria, di sana jauh, di sana gini gitu gini gitu..." yang mengakibatkan aku mengundurkan diri.
Mengapa tidak Jakarta seperti kebanyakan tamatan Yogya (baca: biasanya sih anak2 UGM) lainnya? Duh, kota itu. Macet adalah hal yang paling bikin anti sama kota satu ini. Pernah sih cinta sama Jakarta, waktu aku kuliah dan keluarga tinggal di sana. Jadi tiap ke Jakarta senang, karena ketemu keluarga. Gak peduli kemacetan.
Tapi akhirnya aku keterima di Jakarta. Mamak Awak nggak khawatir. Memang, kotanya jauh dari kata i-n-d-a-h. Tapi berbagai strategi bisa buat hidup di Jakarta tidak-seburuk-pikiranku. Misal: kembali ke ketek ortu saban akhir pekan smile emoticon #balikmaningbalikmaning
Dah 3 minggu gak pulang. Kangen mudik. Banget.
*Ini gambar halaman samping rumah kami, digambar kakakku yang baru belajar nyeket.
0 comments:
Post a Comment