Aku tak ingat kapan kali pertamaku menginjak sebuah bangunan besar-mewah-megah bernama mal –mari menyebutnya dengan artikulasi khas lokal: emol. Besar-mewah-megah ini, jika dibandingkan dengan rumahku :)
Papaku pernah cerita tentang aku kecil yang pipis di sebuah emol di Medan, Sumut. Mungkin itu jaman-jaman awal aku menginjak emol, pertengahan tahun 80-an.
Aku yang lahir di Medan dan tumbuh di Aceh ini tidak terlalu sering merasakan emol. Di Kutacane, kota kecil tempat papaku bertugas, tak ada emol. Aku masuk emol hanya jika ke Medan, memang cukup sering ke Medan, minimal satu atau dua bulan sekali.
Bersama keluarga, aku ke Medan untuk mengunjungi Nambo (: kakek, Minang) yang menetap di sana. Hampir tiap ke Medan kami berkunjung ke emol. Biasanya sebelum kembali ke Kutacane, untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Semacam belanja bulanan.
Entah mengapa harus belanja ke emol. Mungkin karena di Kutacane tak ada toko yang lengkap, mungkin juga sekalian mengajak kami, anak-anak, untuk jalan-jalan. Yang pasti, di mobil akan penuh dengan mi instan, sabun, coklat, dan seterusnya.
*
Di Kutacane saat itu tak ada emol. Tiap tahun ajaran baru banyak teman sekolahku yang minta dibelikan alat tulis. Mereka titip uang, aku belikan di emol. Selain itu, keluargaku juga ke emol untuk beli buku (ke Pustaka Obor) dan makan ayam keriting pak brewok. Toko buku besar dan KFC juga tak ada di Kutacane.
Seingatku, hingga aku pindah ke Jawa, emol di Medan hanya sedikit: Deli Plaza (ini favorit keluargaku, selain dekat rumah, sepertinya juga merupakan emol pertama), Medan Plaza (jauh dari rumah), Olympia Plaza (sempat terbakar), dan Matari (CMIIW, lupa namanya; ini belakangan jadi emol favorit keluargaku, sebab lebih dekat dibanding Deli Plaza).
Oh iya, sebenarnya dulu aku tidak mengenal sebutan emol, tapi plaza, sebab semua pusat perbelanjaan besar-mewah-megah ini diberi nama “Plaza”. Orang Medan kerap melafalkannya dengan “plaja”.
Pertengahan tahun 1990-an mulai tumbuh berbagai minimarket di kota Medan. Beberapa diantaranya berlokasi di dekat rumah Nambo. Micky, ini yang kuingat.
Sebagai anak yang tinggal di kota kecil, aku suka emol, juga jenis toko swalayan lainnya yang kala itu terkesan modern. Hahaha, ya demikianlah. Emolbuatku begitu luar biasa. Selain bisa membeli buku dna makan ayam keriting, di sana juga ada tangga jalan (eskalator) dan lift. Banyak orang Kutacane tidak tahu rasanya naik tangga jalan!
Saking hebatnya emol di benakku, kakakku—yang tinggal di Medan bersama kakek-nenek—sering menggodaku sampai membuatku marah dan menangis.
“Nih de, kaka beli di Micky,” kata kakakku suatu hari ketika dia berlibur ke Kutacane.
Melihat raut mukaku yang seperti iri sebab dia bisa kapanpun jajan di minimarket, dia makin menggodaku:
“Waktu papa ke Medan, kami ke Pustaka Obor,” godanya.
Aku diam.
“Trus, makan di Kentaki”
Aku diam.
“Semalam juga belanja di Deli Plaza,” sulutnya.
“Paaaaaaa, kaka ini Pa!” aduku pada Papa.
“Adenya jangan digangguin, kan kasian di sini gak ada Plaza,” sahut papaku
*
Kini, entah sejak kapan, aku menghindari emol. Bukan karena alasan “emol mematikan ekonomi kecil”, namun lebih ke ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan apa? Bukannya emol selalu sangat nyaman? Ah, inipun sulit kujelaskan.
21 Mal Baru Dibangun Tahun Ini. Begitu bunyi berita Kompas tadi. Yaampun, aku merasa makin kasihan dengan anak-anakku nanti, ketika mereka hanya mengenal emol, emol dan emol sebagai tempat bermain. Kata Jokowi, Walikota Solo tentang emol:
Kenapa kita harus mikir sebuah kota harus mall, harus mall, apa itu. Kepala daerah bangga kalau mallnya banyak, tapi saya tidak. Identitas dan karakter kota itu penting sekali. Karena ini membangun brand kota. Untuk branding kita harus memposisikan kota sebagai apa? diferensiasinya apa? Kita harus ngerti. Itu yang sering tak dibangun oleh pemimpin sebuah kota. Akhirnya setiap kota mirip-mirip, hampir sama.*)
Aku setuju. Untung aku tak lagi hidup di zaman ketika emol kuanggap ‘sesuatu banget’!
*) Sumber: Yahoo!