Tuesday, March 19, 2013
Posted by adrianizulivan
Posted on 8:50:00 PM | No comments
Pejalan Kaki dalam Romantisme Yogyakarta
*Malioboro: Pejalan kaki yang berebut tempat dengan parkir sepeda motor. |
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
[Yogyakarta, Kla Project]
[Yogyakarta, Kla Project]
Lirik berjudul "Yogyakarta" milik Kla Project ini diliris tahun 1991. Bayangkan, betapa lama sudah Yogyakarta "menyemai" benih PKL dan pengamen di ruang publiknya.
Mungkin, kala itu warung lesehan dan pengamen justru menambah kesyahduan kota. Romantisme ala Yogyakarta yang menghanyutkan siapapun yang merasakan. Mungkin, kala itu pedagang makanan dan musisi ini dibutuhkan, tak ada rasa terganggu di hati para penikmat suasana.
Berbeda dengan hari ini.
Tikar-tikar warung lesehan digelar hingga ujung trotoar, tak peduli resiko makanan tercemar kotoran dari jalan. Air buangan cuci piring menggenangi trotoar, minyak jelantah menempel permanen. Jalur pejalan menjadi licin dengan warna hitam menjijikkan.
Hari ini.
Pemusik jalanan ngamen secara berombongan, dalam jumlah banyak. Mereka kerap tak merasa sungkan ketika merebut hak pejalan kaki dengan menutup areal pedestrian. Bukan satu-dua jam, namun sepanjang hari-malam.
Dulu, bait di atas membuat kita terlena. Bait yang seolah membiarkan ketidakberesan tata ruang kota kita, lewat alunan musik indah nan syahdu. Bait yang 20 tahun kemudian digugat, oleh para penikmatnya sendiri.
Siapa yang pantas disalahkan? Ah, ini urusan panjang yang tak akan ada habisnya. Lihat Malioboro. Dulu pedagang "dibersihkan" demi dalih kenyamanan pejalan kaki. Yang terjadi kini, pejalan kaki dikalahkan pakir sepeda motor dan PKL.
Tahun 2008 terjadi penolakan sengit atas rencana Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman DIY membersihkan PKL di sejumlah ruas jalan. Demi 'mengusir' para PKL agar tak menghuni trotoar lagi, Pemda membangun pot-pot besar di Jalan Colombo Samirono dan memagari trotoar di sepanjang jalan depan RS Sardjito.
Sayangnya, langkah ini justru tak berpihak pada pejalan kaki, sebab menutup trotoar. Tak perlu menunggu lama, para PKL kembali lagi menghuni kawasan tersebut. Dalam hitungan bulan, satu-dua-tiga PKL kembali (atau, mereka pedagang baru yang tidak termasuk PKL yang direlokasi?). Ketika jumlah mereka masih sedikit, Pemda tak kuasa menghalau. Tak heran jika jumlah ini lekas beranak-pinak dan makin menjamur. Parahnya lagi, jika dahulu mereka menghuni trotoar, kini menempati bahu jalan.
Tentu saja di bahu jalan, sebab trotoar ditutup. Akibat lain, pejalan kaki makin sengsara akibat ruas jalan yang makin sempit. Bayangkan sebuah jalan dua lajur yang digunakan untuk berbagi antara kendaraan (dari sepeda hingga bus kota), tenda PKL, parkir mobil dan sepeda motor, serta pejalan kaki yang tak lagi punya trotoar.
Itu lima tahun lalu. Pemerintah seakan tak punya daya untuk menegakkan peraturan. Papan-papan bertuliskan perda tentang kawasan larangan berjualan hanya menjadi pajangan tak bermakna, dikalahkan entah kekuatan mana. Mungkin preman yang menguasai kawasan tersebut. Mungkin pula kong-kalikong oknum pemerintah. Kita tak pernah tahu. Yang kita tahu, oknum-oknum ini tak berpihak pada tata kota yang baik, yang ramah pada pejalan kaki.
Kita butuh pedagang, juga musisi jalanan. Mereka memudahkan dan mewarnai hidup. Namun, ada harga yang dibayar untuk kenyamanan ruang publik kota kita, ketika tak ada pengaturan atas keberadaan mereka.
Inilah romantisme ala Yogyakarta...
Mlekom,
AZ
*Gambar dari Tribun Jogja.
Inilah romantisme ala Yogyakarta...
Mlekom,
AZ
*Gambar dari Tribun Jogja.
Foto: Mira Afianti. |
- Kawasan Kompleks UGM. Namun, hanya bagian kampus timur (Bulaksumur). Jalur sepeda pun sangat baik di sini.
- Kawasan Balai Kota, Timoho. Namun, hanya jalan di depan dan samping, yaitu bagian trotoar yang 'menempel' pada tembok dan/atau pagar Balkot dan rumah dinas Walikota.
- Kawasan Kotabaru. Hanya bagian dalam. Kawasan ini sangat nyaman untuk berjalan kaki. Kawasan hunian tua ini cenderung sepi, jauh dari hingar bingar kesibukan bisnis. Akibatnya, trotoar tak dirampas pedagang kaki lima (PKL). Pohon-pohon tua nan rindang turut menambah kenyamanan.
- Kawasan Bintaran. Mirip Kotabaru: pemukiman zaman Belanda yang bukan pusat kegiatan ekonomi, maka cenderung teratur. Meski demikian, kini areal yang hanya berjarak kurang dari dua kilometer dari Malioboro ini, secara ekonomi terus menggeliat. Trotoar mulai dihuni PKL. Bahu jalan mulai dikuasai preman parkir.
- Malioboro? Mangkubumi? Ah, meski ada trotoar yg baik, hak pejalan kaki dirampas PKL, parkir, pemusik jalanan yang ngamen rombongan (berjumlah banyak, menutup areal pedestrian hingga sehari-semalaman), dst.
Sekali lagi, benarkah Jogja ramah pejalan kaki?
Mlekom,
AZ
* Provinsi DIY terdiri atas lima kabupaten/kota. Kota Jogja adalah salah satunya. Jadi, penyebutan "Kota Jogja" bukan berarti Yogyakarta secara keseluruhan. Penyebutan ini kerap membingungkan non penduduk Jogja :)
Monday, March 18, 2013
Gambar dari sini. |
- Tercukupi kebutuhan hariannya
- Mampu membeli apapun yang dia inginkan
- Dimanjakan oleh pasangannya, dengan menyediakan apapun yang dia mau
Perempuan yang tiba-tiba mendapat kejutan sepatu cantik yang selama ini ditaksir, traktiran makan mewah di hari ulang tahunnya, dan sekadar dibelikan buku-buku terbaru yang diinginkan. Atau perempuan yang diantar membeli baju, ditemani jalan-jalan dan dibelikan tiket liburan.
Mengapa semua berbau material? Apakah itu perempuan biasa? Ya, menurutku. Perempuan biasa. Biasa saja. Sangat biasa, seperti banyak perempuan di sekelilingku. Tapi temanku tak setuju. "Kukira bahagia itu sederhana, ternyata bahagia itu berbiaya," katanya.
Bahagia. Apakah aku bahagia dengan kriteria "perempuan biasa" versiku itu? Bagaimana jika suatu hari nanti, aku, atau pasanganku, tak dapat memenuhi kriteria itu? Apakah kemudian aku tak akan berbahagia?
Setelah kupikir lagi, kriteria "perempuan biasa" tadi adalah bentuk keegoisanku sebagai seorang... seorang apa? Perempuan? Tidak, tak semua perempuan mewakili itu. Itu egoisku semata, sebagai seorang Adriani.
Jika begitu, aku tak mau lagi hidup sebagai perempuan biasa. Aku harus menjadi perempuan luar biasa, yang:
- Punya pekerjaan dan kegiatan menyenangkan.
- Dekat dengan sahabat dan keluarga yang selalu mendukung.
- Ada pasangan yang selalu membantu, melindungi, mencintai.
- Mampu membahagiakan orang lain, berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak, sekecil apapun peranmu.
Obrolan ini menguras pikir. Trims untuk kamu. Selalu butuh orang lain untuk mengingatkan. Aku tak lagi ingin sekadar menjadi perempuan biasa. Semoga aku bisa.
Mlekom,
AZ
Tuesday, March 5, 2013
Gambar dari sini. |
Jika digaji enam juta, apa yang dapat kamu lakukan di tiap bulannya?
- makan 3 x sehari di warung yang sehat-bersih
- makan 1-2 x sehari di resto/cafe mediocre
- makan di resto mewah (plus ngajak satu orang lain) seminggu sekali
- nonton 2 x seminggu
- nyalon 1 x seminggu
- beli buku hingga 250 ribu
- beli baju/sepatu/tas hingga 500 ribu
- bensin 1 juta
- isi pulsa hape 2 x 200 ribu
- nabung 500 ribu
Ini masih bersisa. Bisa digunakan untuk:
- beli tiket PP seharga 2 juta
- bayar hotel 1 juta untuk dua malam
- beli oleh-oleh 500 ribu
- bayar angkot di kota lain 500 ribu
Ini di Jogja.
Mlekom,
AZ
udan lungo o
teko o liyo dino
aku arep dolanan
udan lungo o
"Hujan, pergilah. Datanglah lain hari. Aku ingin bermain. Hujan, pergilah." Begitu artinya.
Itu senandung hujan murid-murid PAUD Gajahwong. Anak-anak itu bingung, sebab kelas belajarnya bocor. Jogja seharian tadi memang hujan deras, sejak pagi hingga siang. Bahkan sejak kemarin siang. Lebat sekali. Langit pekat. Beberapa wilayah menjadi becek dan terendam (meski tak sampai banjir).
Kelas PAUD terbuat dari dinding gedhek (jalinan bambu) beratap seng. Mungkin tak terlalu tangguh menahan deras hujan tadi pagi. Cukup sedih membaca bait tersebut. Bait yang kudapat dari status Facebook Sekolah Gajahwong
Ada yang mau bantu mereka? Bangunan sekolah bukan kebutuhan utama. Coba cek info berikut untuk ikut berperan serta:
Tentang PAUD Gajahwong pernah kutulis di sini.
Udan, lungo o. Adik-adik Gajahwong mau belajar...
Mlekom,
AZ
*) Kedua gambar dari Facebook Sekolah Gajahwong.
Friday, March 1, 2013
Pic from here. |
- Reputable government university graduated
- Married, one child-girl
- Place of origin: Big city
- Outlook: Thin-tall, Asian brown, pretty
- Dress like a noble: long skirt, long sleeves
- Comes from wealthy families
- Worked in a local NGO, in a big town in Java
- Working as an at-home-mom and wife, in abroad
- Do shalat
Girl Number Two:
- Infamous private university graduated
- Unmarried, yet
- Place of origin: Small town
- Outlook: Short stature, Asian fair, not that beauteous
- Dress: Anything looks mini-mini from top to toe
- Comes from mediocre families, barely below the average
- Worked in a local company, in the capital city
- Working in a multi-national agency, in the capital city
- Never do shalat
Which one is me? None! :)
Which one do I want to be? None.
Which one I like? Both, in between, not all, some. They are my models.
Hahaha.
Mlekom,
AZ
Subscribe to:
Posts (Atom)