Untung buangnya di tempat sampah kering. Kukutip lagi. Mama lagi telepon, nanti saja kuberi tahu. Kacang panjangnya kuambil, kutaruh di meja. Dua jam kemudian kutanya Mama, kenapa dibuang.
"Sayur sudah gak pantas makan begitu."
"Ya tapi itu dari grebeg kemaren, Ma..."
"Lha kenapa Adek gak bilang? Barusan Mama buang lagi."
"Kan udah Dek simpan di kulkas..."
"Emangnnya ada bilang itu dari mana? Lagian buat apa sih percaya yang gitu-gituan?"
.... (yaudahlah ya, gak usah dibantah lagi)
Akhirnya aku buka tempat sampah di dapur, ambil kacang panjangnya. Untung tempat sampah basah ini masih kosong dan baru ganti plastik. Kuletakkan dalam baskom berlubang, guyur air, kucek-kucek per lembar, dst. Pokoknya sampai bersih banget!
Tadi pagi aku sengaja ke pasar, cari bahan tambahan (terutama kacang panjang segar) meski belum tau mau dimasak apa. Mungkin lodeh, mungkin tumisan. Lalu Googling pakai kata kunci "sayur lombok ijo gunungkidul". Keluarlah resep ini, dengan modifikasiku:
Lihat beda kacang panjang segar dan tidak :) |
10 batang (lembar?) kacang panjang, iris 0,5 cm
2 tahu (biasanya tempe, tapi aku nggak suka)
1 genggam daun katu (biasanya daun melinjo, aku gak punya)
10 butir telur puyuh
1 sdm udang rebon/ebi, rendam air panas sampai mengembang
1 cangkir santan
5 cabe rawit + 5 cabe ijo + 5 cabe rawit, iris bulat tipis6 bawang merah + 4 bawang putih, iris
1 ruas laos, iris tebal
2 lembar daun salam
garam
gula (biasanya nggak pakai ini, tapi manut sajalah kan ini masakan Jawa)
Cara:
- Tumis bawang + ebi + laos.
- Tambahkan santan + garam + gula + salam, aduk terus agar tidak pecah santan.
- Masukkan tahu + telur + kacang panjang + cabe sampai santan mendidih.
- Tambahkan katu, masak hingga layu.
Oh ya, kacang panjang gunungan jadi lembut lho. Setelah dipotong, aku rebus sebentar sampai lunak. Lumayan, sekalian menghilangkan bakteri dari perjalanan panjangnya sebelum masuk ke dapurku.
Hasilnya enak, tapi pedas. Kalau sayur lombok ijo asli yang di Gunung Kidul itu, memang gak ada sayurnya, melainkan cuma cabe ijo. Jadi, cabe ijo itu yang dijadikan sayur. Mantap kan pedasnya? Apalagi kalau dimakan dengan nasi merah. Wuih!
Dalam bahasa Jawa, kata "jangan" berarti "sayur". Jadi, ini adalah sayur berkah. Berkah dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Begitu masak ini, aku memang langsung mendapat berkah: Nambah satu lagi masakan yang kucoba kuasai. Ada yang mau kecipratan berkah?
Mlekom,
AZ