Aku nggak pernah pakai MSG dalam bahan masakan. Yang namanya kaldu instan itu enak banget, bikin kerja ringan. Memang. Tapi aku nggak pernah mau pakai vetsin, kaldu bubuk/blok, perencah, dan beragam nama lainnya. Kalau masak sih bisa bebas bahan berbahaya ini, nah kalau makanan beli?
"Tanpa vetsin ya, Mas." begitu selalu pesanku di warung baso/mie ayam/soto. Biasanya, ketiga jenis makanan ini kan akan ditambahkan vetsin di mangkok saji, sebelum diberi kuah. "Tapi ini di baso dan kuahnya sudah ada vetsin Mbak," biasanya gitu kata Mas-masnya."GPP, gak usah ditambahin lagi."
Untungnya, aku bukan bangsa rewel dengan pervetsinan ini. Aku cenderung nggah ngeh kalau di makanan ada atau nggak ada vetsinnya. Jadi kalau dibohongin ya bisa aja, hehehe. Aku baru tau makanan bervetsin, jika porsi vetsinnya keliwat banyak. Rasanya jadi kaya bumbu indomi. Biasanya di kripik-kripik gitu.
Ngomong soal kripik bervetsin, ada cerita mengagetkan dari suatu desa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Nggak usah pakai nama desanya ya, ini soal perut banyak umat sih :)
Ceritanya, aku lihat proses pembuatan kripik singkong (orang sana menyebutnya "criping"). Ternyata, mereka samasekali nggak pakai bawang (biasanya bawang putih) dan bumbu lain. Hanya garam dan... Royko. Royko ini adalah perasa bubuk yang paling populer kedua di Indonesia setelah Ajinomoto (sepertinya sih, survey ala aku saja). Kenapa nggak pakai bumbu basah? Nanti minyaknya kotor, hitam. Jadi nggak hemat. Gitu katanya. Mengagetkan, ya.
Nah, kesulitanku mencicipi rasa vetsin juga membuat aku gak paham omelan temanku pecinta vetsin yang bilang, "aduh, rasa bumbunya kurang vetsin banget nih!" atau "Tadi vetsinnya kebanyakan, aku sampai pusing gini," buat yang nggak tahan vetsin. Beruntung ya aku! Mmmm, semoga! Soalnya, Jawa kayanya jadi konsumen vetsin terbesar. Kayanya, survey ala aku lagi.
Kata Mama, orang Minang nggak pakai vetsin, sebab bumbunya kuat. Itu dulu. Sekarang, bikin balado aja pakai vetsin. Gulai nangkai yang penuh lemak santan itupun dikasi vetsin! Ini juga mengagetkan. Entah kapan mulainya vetsin-vetsin ini di Sumatra.
Sejak kecil, aku sering lihat billboard dan... apa ya namanya? Semacam 'patung' bentuk bungkusan Ajinomoto, di jalan-jalan di kota Medan. Iklan luar ruang itu nancep banget di kepala, melengkapi iklan di TV yang dibawain orang yang didandan ala Jepang.
Aku kecil sering bertanya-tanya, apa rasanya bumbu yang digantung berenteng-renteng di dapur tetanggaku yang orang Jawa itu. Seingatku, waktu itu Mama nggak pernah pakai vetsin. Sekarang Mama sih pakai, merk favoritnya Sasa dan Royko rasa ayam. Dipakai untuk masak soto ayam bening ala Jawa (masakan yang hanya disukai Mama) dan entah apalagi, lupa.
Vetsin-vetsin ini sering kusembunyikan, lalu buang. Ya tapi tiap bulan tetap dibeli juga. Ajinomoto ukuran lumayan besar, dengan Royko satu pack berisi entah berapa renteng. Yaampun!
Teman kantorku pernah marahi pembantunya yang ketahuan nyimpan Royko. Pembantu ini bertugas memasakkan makanan untuk anaknya, dengan peringatan untuk nggak pakai vetsin apapun. Ternyata, Simbak nggak pede tanpa bubuk itu.
Coba Googling dengan "pengganti MSG", ada banyak saran yang bisa dilakukan. Tapi aku yakin, selama orang belum merasakan derita sakit kronis akibat bahan ini, pasti nggak akan mau mengubah makanannya. Persis kaya rokok, ya. Kalau belum bolong itu paru-paru, nggak akan berhenti! Jadi agak nggak heran juga, kalau para aktivis pro industri tembakau sering menyejajarkan urusan pertembakauan dengan "Kalau rokok dianggap penyebab penyakit, larang juga donk produk vetsin yang bikin kanker itu". Weleh-weleh...
Mungkin satu-satunya penyebab berkurangnya konsumsi vetsin di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, terjadi pada tahun 2000. Diduga terdapat kandungan babi pada produk Ajinomoto. Waktu itu aku duduk di bangku sekolah Islam, maka guru Fisika sepertinya merasa perlu untuk menjelaskan persoalan ini.
Jadi, kandungan babi itu bukan berupa bahan pembuat (ingredient), melainkan bakteri pengurai. Untuk mengurai daging diperlukan bakteri. Bakteri yang bekerja baik adalah bakteri yang berasal dari daging babi. Jadi, semacam kegelianku makan ikan lele yang dipelihara dalam kolam yang di atasnya ada jamban. Babi dan kotoran dari jamban adalah haram. Semoga logikanya sesuai.
Saat itu, Ajinomoto terus menggencarkan kampanye halal. Konferensi pers terkait penggantian bakteri, pembuatan iklan yang benar-benar memperlihatkan orang muslim mengonsumsi bubuk kristal ini, dan berbagai upaya lainnya. Ini pasti kerja keras yang luar biasa, sebab Ajinomoto hingga malam ini tetap memiliki konsumen besar di Indonesia.
MSG ada di mana saja sih? Aku pernah bahas ini sama Mama. Meski tanpa survei bahan-bahan bumbu masak yang kami gunakan, kami yakin bahwa bahan itu juga terkandung dalam kecap, saos sambal, saos tiram, dan seterusnya. Kecap dan saos kan sulit untuk mencari penggantinya, ya (hey, Mama dulu sering bikin saos sendiri, jauh lebih enak dari saos botolan!). Jadi Mama kekeuh terus gunakan vetsin untuk hanya sedikit jenis makanan, dan aku kekeuh untuk gak akan menggunakan ini. Sebab...
Sebab aku masih sering makan indomi, kerupuk (meski digoreng sendiri, proses pembuatannya pasti penuh vetsin), saos tiram, kecap asin, dan masih banyak lagi sepertinya. Dulu waktu Mama belum tinggal di Yogya dan aku belum bisa masak, aku selalu bikin ayam goreng dengan bumbu instan yang diiklanin Farah Quinn.
Rasanya, pengen banget nyubit orang Jepang penemu vetsin. Tapi dia kan udah almarhum ya? Pengen demo orang-orang Cina yang populerin vetsin. Tapi bakal lucu kan ya. Ya sudahlah...
Ini baru ngomongin MSG. Belum pengawet. Belum bleng (bahan pembuat kerupuk). Belum pemanis. Belum pewarna. Ya sudahlah...
Gambar atas dari sini, yang bawah dari sini.
Mlekom,
AZ