Tersebutlah Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu Purba. Demi meminang Putri Tiongkok, ia membuat sebuah kapal untuk berlayar ke negeri sang pujaan hati. Setelah berhasil meminang sang istri, Sawerigading kembali ke tanah airnya. Ketika akan memasuki perairan Luwu, kapal diterjang ombak dan terdampar di Desa Ara, Desa Tanah Lemo dan Desa Bira. Warga ketiga desa tersebut kemudian merakit perahu yang terbelah tiga tersebut, lalu menamainya Pinisi. Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira memasang tujuh layar.
Kawasan Luwu Purba kini, diyakini sebagai Sulawesi Selatan. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, kapal Pinisi pertama dibuat pada abad ke 14. Pinisi adalah kapal layar tradisional asal suku Bugis dan Makassar yang terbuat dari kayu. Mayoritas pembuatnya kini berasal dari Desa Bira Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba.
Pinisi merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau[1]. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan dua kalimat syahadat dan tujuah buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar[2] dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia. [Wikipedia]
Desa Bira berjarak lima jam perjalanan dari ibukota Sulsel, Makassar. Ini adalah wilayah dengan pemandangan laut berair biru dan pantai berpasir putih. Di salah satu pinggir pantai inilah para ahli pembuat Pinisi tinggal. Jauhnya jarak dari ibukota provinsi ke sentra pembuatan Pinisi tersebut, menjadikan minimnya kesempatan bagi masyarakat untuk belajar tentang Pinisi. Untuk itu, sejumlah masyarakat Makassar mencoba 'memindahkan' rangkaian proses pembuatan sebuah Pinisi ke pusat kota.
|
Pinisi dibuat di ujung sana. |
Proses pembuatan kapal yang dinamai "Pinisi Pusaka Nusantara" ini ditempatkan di garis pantai yang terletak di Tanjung Pandang, Anjungan Pantai Losari. Lokasinya yang tepat berada di seberang Benteng Fort Rotterdam ini, jelas memudahkan masyarakat untuk berkunjung dan melihat proses pembuatannya. Yayasan Makassar Skalia adalah inisiator dari program tersebut, yang proses pembuatannya kemudian dilanjutkan oleh perusahaan KitaJi Pusaka Mandiri.
"Nenek Moyangku Seorang Pelaut" mungkin lagu populer sejak kita masih kanak-kanak. Namun apakah kita benar-benar memahami begitu besarnya pengaruh dunia maritim nusantara terhadap sejarah dunia di masa lalu? Phinisi sebagai salah satu alat yang mendukung kejayaan itu, perlu juga untuk dipahami.
|
Mulyawan Galib |
"Jangankan dari luar Sulsel, orang Makassar saja belum tentu pernah melihat pembuatan Pinisi di Bira," kata Mulyawan Galib dari Documentation and Publishing proyek ini. "Logo pemerintahan Kota Makassar bergambar Phinisi, namun banyak orang Makassar yang tidak pernah melihat Pinisi, maka inilah kami hadirkan kapal ini," lanjutnya. Bahkan logo Kota Makassar ini memiliki semboyan yang snagat berbau maritim, yaitu "Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai".
Kekaguman pertamaku pada kekuatan maritim nusantara muncul ketika mengunjungi Museum Samudra Raksa di kawasan Candi Borobudur Magelang, awal 2013 lalu. Museum ini menyimpan replika kapal yang dibuat berdasar gambar relief candi yang terdapat di sejumlah panel. Di nusantara, kapal layar berbahan kayu yang kemudian disebut dengan Kapal Borobudur itu, dibuat di abad ke-7. Dinasti Sailendra dan Kemaharajaan bahari Sriwijaya yang menguasai perairan Nusantara di abad ke-7 hingga ke-13, juga menggunakannya.
|
Pekerja siapkan kantung pasir untuk mudahkan peluncuran kapal ke laut. |
Proyek Pinisi Pusaka Nusantara berjalan sejak awal Maret 2015 dan direncakan akan turun ke laut pada pertengahan Agustus 2015. Kapal diturunkan ke laut untuk pemasangan layar. Layar tak dapat dipasang di pantai/darat, sebab perlu mengetahui kekuatan angin. Proses penarikan kapal ke laut ini menjadi salah satu rangkaian acara dari "Pesta Budaya Sulawesi Selatan - Sulawesi Barat" yang akan dilaksanakan pada 14-15 Agustus 2015 mendatang.
|
Mengintip laut. |
Nantinya, Pinisi ini akan menjadi kapal komersil yang mengangkut wisatawan. Jika ingin bermalam di pulau seberang, masyarakat juga akan bisa menyewanya. Salah satu atraksi menarik di atas kapal adalah menikmati makan romantis di anjungan kapal. Manajemen sudah mendapat tawaran dari salah satu restoran terkenal di Makassar, untuk menyajikan makanan dalam perjalanan wisata.
Sebagai dukungan terhadap pendidikan, kapal ini akan mengangkut anak sekolah menyeberang pulau-pulau terluar Makassar secara gratis, lalu kembali lagi ke Losari. "Agar anak-anak tahu rasanya naik Pinisi dan memahami sejarhnya," jelas Mulyawan. Selain itu, kapal yang memiliki perpustakaan ini akan membawa buku untuk dibaca oleh anak-anak di pulau seberang.
Pinisi yang dibangun ini hanya merupakan miniatur. Pinisi asli jauh lebih besar, membuatnya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kapal replika ini saja diprediksi akan menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 miliar. Dana sebanyak itu diperoleh dari sumbangan masyarakat Makassar. "Sejumlah tokoh penting Makassar menyumbang kapal ini, seperti pengusaha, pejabat, dan masyarakat umum," terang Mulyawan.
|
Ruang kendali. |
|
Dapur. |
Pinisi replika ini memiliki sejumlah ruang di bagian gladag, yaitu ruang kemudi, dapur dan kamar-kamar. Kapal ini digarap oleh belasan pekerja yang semuanya berasal dari Bira. Yang menarik dari pembuatan ini adalah usia pekerja yang masih muda, rata-rata 20-30an tahun. Pekerja temuda berusia belasan, sedangkan tertua 40an tahun.
Para pekerja ini adalah ahli pembuatan Pinisi yang memperoleh pengetahuannya secara turun-temurun. Membuat Pinisi merupakan profesi keseharian mereka. Jika tidak membuat kapal di Bira, mereka mungkin sedang dikontrak untuk membuat kapal di daerah lain, dari Maluku hingga Sumatra. Mereka hidup berbulan-bulan di daerah lain untuk membangun kapal.
Di masa lalu, Pinisi dibuat di gunung, mendekat ke sumber bahan baku, yaitu kayu bitti yang banyak terdapat di Kabupaten Bone dan Kabupaten Sinjay, Sulsel. Tak adanya angkutan (di masa kini seperti truk) yang dapat membawa bahan baku ke pinggir pantai, menjadi alasan. "Waktu kecil saya tanya ke mana kakek. Nenek bilang lagi membuat perahu. Saya cari ke pantai tak ada, ternyata memang membuatnya di gunung," cerita Mulyawan.
Begitu siap melaut, kapal akan diturunkan ke pantai, yang konon dengan menggunakan gelondongan kayu yang disusun sebagai roda. Cerita lain mengisahkan bahwa kapal yang dibuat di gunung berbentuk knock down, sehingga bisa lebih mudah diangkut.
|
Lambung kapal. |
Meski demikian, mengangkut kayu di masa itu bukan perkara mudah. Kayu-kayu pembentuk kapal merupakan kayu kualitas tinggi, yang bahannya tentu sangat keras dan berat. Kayu ulin adalah salah satu bahan utama yang sangat kuat dan tebal. Kokohnya kayu ini membuatnya sering disebut sebagai kayu besi. Ulin didatangkan dari Kabupaten Buton, Kendari, Sulawesi Tenggara.
|
Irma,aku dan Icha, ngobrol dengan Pak Mulyawan. |
Mengingat minimnya catatan tentang Pinisi, manajemen akan membukukan proses pembuatan kapal ini. Harapannya, buku tersebut akan menjadi catatan pembelajaran bagi generasi mendatang. Sepertinya ini pasti akan menjadi salah satu buku paling penting dalam sejarah nusantara. Kita tunggu saja!
Hingga Agustus nanti, masyarakat dapat menyaksikan proses pembuatan yang mengikuti kaidah tradisi ini. Sebagai penanda dimulainya pembuatan kapal, pemerintah setempat telah melaksanakan annarak kale biseang, upacara pemotongan lunas perahu. Kain putih, ayam jantan, pisang panjang, dan dupa ikut menjadi pelengkap upacara.
Sejak kecil, Papaku bilang bahwa aku punya darah Bugis dari nenek Mama. Meski aku hydrophobia dengan air yang banyak (sungai, laut, dll), mari nyanyikan lagi lagu itu...
nenek moyangku seorang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa
angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b'rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai
Pembuatan Kapal Pusaka Pinisi Nusantara ini, mestinya menjadi goresan penting dalam sejarah pusaka maritim Indonesia. Gerakan ini akan mampu menjembatani pusaka tak raga berupa pengetahuan, tentang pembuatan kapal Pinisi. Menjembatani antara pengetahuan manusia di masa sekarang dengan masa dimana Pinisi pernah mengantarkan kejayaan nusantara. Ah, aku suka penggunaan kata "pusaka" dalam penamaan proyek ini!
|
Salah satu karya seni. |
|
Replika Pinisi. |
Selain melihat proses pembuat kapal, pengunjung dapat menyaksikan sejumlah karya seni tentang kapal Pinisi di sekretariat panitia yang terletak di samping kapal. Mari menjadi saksi sejarah kejayaan maritim Indonesia!
Foto: Adriani Zulivan dan Icha Marissa.
Mlekom,
AZ