Kelar urusan imigrasi, aku bergegas ke pintu luar. Ternyata dicegat petugas berseragam biru gelap, imigrasi. Seluruh penumpang diminta mengisi formulir [gambar atas] yang menjadi pernyataan kita terkait barang-barang yang dibawa. Seorang berseragam salah satu maskapai, mari sebut maskapai ini dengan RS, menyodorkan formulir, lalu mengarahkan saya ke meja untuk menulis.
"Bisa ngisinya?" Tanya pegawai maskapai RS ini. Sebutlah namanya Mas A.
Aku cuma ngangguk sambil ngomel dalam hati "Masak ngisi begini saja nggak bisa!"setelah kubaca seluruh tulisan di formulir.
Formulir yang harus diisi. |
"Memangnya bayar, kak?" Tanyaku ke si embak-embak.
"Nggak tau nih, katanya begitu," jawabnya sambil memencongkan mulut dan mata sebalnya ke arah Mas B di sampingnya.
"Jangan kasih kak, nggak ada aturannya."
"Nggak papa lah," merogoh tas.
"Minta nota, kak. Bang, ada notanya?" Tanyaku pada Mas B. Dia cuma menggeleng.
"Saya sudah bantu kakak ini mengisi formulir, saya cuma minta seiklasnya."
"Nggak ada itu kalau nggak ada nota, jangan kasih, kak!" Seruku.
Mas B perlihatkan muka tak senang. Kuambil kamera, lalu datangi dia.
"Oke, sini siapa namanya?" Tanyaku sambil coba meraih kartu pegawai yang menjuntai di dadanya. Dengan sigap ditutupnya kartu itu dengan tangan. Ketika ia menghindar, sempat kupotret wajahnya.
"Akan saya laporkan," kataku. Dia pergi. Si embak-embak ucapkan trims padaku.
Mas A datang lagi menghampiri, kubentak: mau minta uang lagi?!!!
"Nggak kok, enggak."
Selesai dengan formulir, aku menuju pintu keluar, pada orang-orang sekitar kuingatkan untuk tidak memberi uang jika diminta. Pada petugas yang memungut formulir, kutanyakan apakah di sini dipungut bayaran?
"Tidak," jawabnya.
"Mengapa tadi ada yang meminta bayaran?"
"Siapa? Bayaran apa?"
"Itu yang seragam maskapai RS. Katanya uang karena sudah bantu mengisi formulir"
"Mana orangnya?" Kutunjuk seseorang berseragam RS. Petugas imigrasi memanggilnya.
"Katanya kamu tadi minta uang ya?"
"Bukan saya, beda." Aku ambil kamera, cocokkan wajahnya.
"Iya bukan mas ini. Maaf ya mas," kataku. Petugas imigrasi tanya apakah ia tahu siapa ini, dia jawab tak tahu.
Petugas ini memintaku menyampaikan foto ini ke pihak imigrasi. Aku diminta ke kantor mereka yang letaknya di ujung ruangan. Foto tadi diperlihatkan ke salah seorang di sana. Mereka pastikan bahwa itu adalah bukan petugas imigrasi, melainkan maskapai.
"Itu bukan petugas kami. Imigrasi tidak menerima uang. Masukannya akan jadi pelajaran buat kami." Begitu saja.
Di luar ruangan, seluruh petugas membicarakan hal ini. Aku lagi-lagi diminta memperlihatkan foto petugas RS tadi.
Salah satu petugas imigrasi yang sepertinya adalah bos di sana, menanyaiku tentang kejadian itu. Kujelaskan lagi.
"Ah kasihlah sedikit saja..." katanya.
"Oh, jadi nggak apa-apa kasih-kasih begitu?"
"Seiklasnya saja..."
"Oh saya nggak mau pak. Dalam sehari saja, yang 'sedikit-sedikit sajalah' itu jadi berapa? Berapa orang yang dia bantu dalam sehari? Itu tidak korup, pak?"
"Lagi pula ini bukan soal jumlah, pak. Sedikit pun, apa dibenarkan?" lanjutku.
Beliau akhirnya mengiyakan perkataanku, lalu memotret layar kameraku dengan ponselnya. Ia pun memanggil salah seorang berseragam yang sama dengan Mas B. Petugas SR ini bilang, bahwa ia tahu itu siapa: Mas B adalah orang katering maskapai RS.
Bagaimana ceritanya orang katering bisa sampai ke atas, ke wilayah imigrasi? Mungkin hanya Tuhan yang tahu jawabannya...
Tak lama, datang seorang dari manajemen maskapai RS yang mengaku sebagai penanggungjawab RS di bandara Kualanamu. Untuk kesekian kali, aku diminta menceritakan kronologi kejadian. Lalu ia meminta boarding pass. Kuberikan. Ya tentu saja ia membutuhkannya. Jiika ternyata aku bukan penumpang maskapai perusahaannya, maka ia tak akan peduli, bukan? Sama seperti bagian imigrasi tadi: Ini bukan anggota kami, ini akan menjadi masukan. Begitu saja.
Petugas bandara--yang bertugas memantau scan barang-barang bawaan penumpang--yang ikut serta dalam obrolan itu, memintaku meninggalkan file foto Mas B. Kutanya bagaimana cara memindahkannya. Lalu bla bla bla dan kubilang "Maaf pak, bu, saya ada penerbangan lagi jam 8.30 dan saya harus check in". Lalu kutinggalkan kartu nama.
Penanggungjawab RS tadi menanyakan maskapaiku selanjutnya, lalu mempersilahkanku ke lantai atas tempat check in. Sewaktu mengantri di konter, si penanggungjawab datang dengan Mas B.
"Sudah check in, bu?" Tanya penanggungjawab.
"Belum," tunjukku pada antrian.
"Silahkan check in dulu saja."
"Ah pak, urusan begini ya sudah urusan bapak lah, saya nggak perlu ikut,"jelasku sebab aku tak ada hubungan kerja dengan Mas B.
"Baiknya diselesaikan selagi ada ibu," jawabnya.
3 menit selesai urusan, aku mendatangi mereka. Ditambah satu orang imigrasi yang memberitahuku cerita versi Mas B. Menurut orang imigrasi ini, tidak ada yang salah dari perbuatan si Mas B sebab ia meminta seiklasnya. Nah loh!
"Jadi meminta tidak salah, pak? Berapa pendapatan mas ini selama sehari dari hasilnya meminta-minta dengan iklas itu?" Dst seperti kusampaikan pada orang imigrasi sebelumnya. Si bapak tiba-tiba berubah pikiran dan menasehati si Mas B dengan perumpamaan yang nyaris sama dengan penjelasanku.
Penanggungjawab RS menyatakan penyesalan atas kejadian ini. Imigrasi bilang menyerahkan padaku (sebagai pihak yang merasa dirugikan), apakah akan meneruskan kasus ini (lalu membuat laporan tertulis dst), atau bagaimana.
Aku tak igin meneruskan ini. Sudah sampai di sini saja. Imigrasi bilang, "Kalau dari kami, kami tidak ingin orang seperti ini masuk lagi ke bandara. Kami akan pecat. Tapi semua dari ibu. Jika ibu tidak meneruskan, kami serahkan ke maskapai."
"Sudahlah pak, tidak usah diperpanjang. Dan saya tidak menginginkan ada pemecatan. Saya yakin, mas ini tidak akan mengulangi lagi..." Lagian ini soal perut orang lain, kan?
"Kami minta maaf. Tentu kami akan memberi tindakan, mungkin SP 1 atau 2. Meski saya bukan atasan langsungnya, saya minta maaf atas ketidaknyamanan ini. Dan berharap persoalan ini tidak di blow up," katanya.
Aku menyatakan kesepakatan. Tentu saja orang maskapai RS akan tak ingin persoalan ini menjatuhkan nama perusahaannya yang kerap menjadi sorotan. Aku mengiyakan untuk tidak membesarkan kelakuan staf dari maskapai RS. Namun aku merasa perlu untuk menyampaikan tentang kelakuan petugas di kedatangan internasional bandara. Ini bukan yang pertama bagi dunia penerbangan kita, bukan?
Coretan yang dibuat setelah temanku memberi uang. |
Temanku yakin bahwa mereka (tak hanya satu orang) adalah petugas maskapai Garuda Indonesia (GIA)--maskapai yang ia tumpangi--sebab mengenakan seragam hijau. Kujelaskan bahwa Garuda saat itu sudah tidak memberlakukan airport tax dan petugas bandara Soetta mengenakan seragam sama dengan petugas GIA. Ia dipalak sebesar Rp 50.000 IDR, setelah sebelumnya mereka minta Rp 150.000 dan temanku bilang tak ada sebanyak itu.minta nota, namun mereka hanya menuliskan sesuatu di belakang kertas boarding pass [gambar atas].
Contoh lain tentu yang terjadi di bandara Ngurah Rai yang melibatkan petugas imigrasi dengan pekerja media Belanda. Mungkin kalian punya pengalaman lain?
Sebenarnya, persoalan-persoalan seperti ini bisa dilaporkan ke mana ya? Jika kalian bilang wajar saja jika orang kasih uang sekadarnya, berarti kalian sedang menanam korupsi. Jika kalian bilang, ngapain aku heboh sedangkan orang yang diminta merasa biasa saja, berarti kalian menyiram benih korup.
Setelah agenda 'perdamaian' tersebut, aku keluarkan kamera dan minta penanggungjawab RS untuk memotretku bersama Mas B. Oh ya, sejak datang bersama penanggungjawab RS, Mas B tersenyum manis tidak seperti waktu di ruang imigrasi.
Jakarta, 11 Agustus 2015
Adriani Zulivan
0 comments:
Post a Comment