“Yang terakhir!” teriak Hanesta Aldera Rizzy (8) ketika ditanya candi kesukaannya. Seharian itu (14/06), Nesta, panggilan bocah ini, ikut rombongan panitia Tahun Pusaka Indonesia 2013 dalam Jelajah Percandian Sekitar Kawasan Prambanan. Ada empat candi yang dikunjungi, yaitu Kedulan di Kabupaten Sleman, DIY; serta Sari, Plaosan dan Sojiwan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Tak mengherankan jika Nesta begitu mengagumi Sojiwan. Candi yang disekeliling bangunannya dipenuhi panel berelief fabel itu, tentu menarik minat anak. Ada kisah angsa dan kura-kura, kera dan buaya, gajah dan kambing, serta sembilan kisah menarik lain. Nesta terus mencari relief kinnara-kinnari, dua burung kembar dalam mitologi, yang telah lama dikenalnya.
Nesta tak sendiri, ada sejumlah anak lain yang berkerumun mendengar kisah panel per panel yang diceritakan Elanto Wijoyono. Anak-anak ini adalah warga yang bermukim di sekitar Candi Sojiwan.
|
Anak-anak menyimak fabel relief Sojiwan
|
Sebagai penggagas acara, Elanto merasa penting untuk melibatkan warga sekitar, termasuk anak-anak. “Kunjungan ini memang untuk untuk menangkap persepsi masyarakat lokal terhadap situs purbakala di sekitarnya.” Rombongan tak hanya berbincang dengan anak-anak, namun juga petugas penjaga candi, pengunjung, orangtua yang mengawasi anaknya bermain, hingga petani yang beraktivitas di sekitar kawasan situs purbakala ini.
Rombongan merasa takjub dengan keahlian seorang petugas kemanan di Candi Kedulan. Sebagai lulusan SMK yang tak pernah mendapat pendidikan kepurbakalaan, ia mampu menjelaskan banyak hal terkait candi yang dijaganya itu. Seorang pengunjung dari Yogyakarta yang datang bersepeda santai, menyayangkan minimnya publikasi terhadap situs-situs marjinal. Masyarakat lokal menyatakan penghargaan kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang akhir-akhir ini mulai melibatkan warga Sojiwan dalam berbagai kegiatan. Lihat bagaimana sepasang suami-istri petani memanfaatkan lahan di sekitar kompleks Candi Plaosan untuk mengeringkan hasil panen jagungnya.
|
Menjemur hasil panen di depan kompleks Candi Plaosan
|
Pengalaman tak menyenangkan juga mewarnai jelajah ini. Rombongan sempat bersitegang dengan dua petugas di pintu masuk Candi Plaosan. Keduanya meminta biaya masuk pengunjung tanpa memberikan karcis, sedangkan rombongan tak ingin memberi uang tanpa bukti pembayaran.
Yang pasti, berbagai persepsi ini penting untuk memetakan pemahaman warga terhadap situs purbakala. Itulah pesan penting dalam agenda jelajah yang diselenggarakan pada Hari Purbakala Indonesia tersebut. “Ini sebagai peringatan sederhana untuk mengenang perjuangan perintis ilmu arkeologi. Melalui jelajah percandian, kami ingin melihat hasil upaya konservasi yang telah dilakukan selama ini,” jelas Prio Atmo Sancoyo, koordinator acara.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Oudheidkundige Dienst in Nederlansch-Indie pada 14 Juni 1913, yang kemudian diperingati sebagai Hari Purbakala Indonesia. Lembaga ini dibentuk untuk menangani hal kepurbakalaan ini kemudian menjadi Jawatan Purbakala (1936), hingga menjadi Dinas Purbakala (1951) yang bertanggung jawab kepada pemerintah Republik Indonesia. Tahun 2013 menjadi istimewa, sebab usia kepurbakalaan Indonesia mencapai angka 100.
Pemilihan candi-candi kecil di sekitar kompleks utama percandian Prambanan bukan tanpa alasan. Beberapa waktu lalu, terjadi kehebohan nasional terkait rencana pembangunan hotel di areal penyangga Candi Prambanan. Padahal, pemerintah telah menetapkan areal tersebut sebagai kawasan strategis nasional (KSN).
Selain alam, menurut Elanto, faktor manusia berpengaruh besar pada kelestarian situs arkeologi. Desakan pembangunan kawasan yang merambah hingga kawasan pusaka (heritage) harus dicermati, apalagi jika melanggar prinsip pelestarian. Konsistensi pemerintah dalam mengawal komitmen pelestarian harus dipantau bersama oleh masyarakat. Ini penting, agar kelestarian pusaka purbakala dapat terjaga dan termanfaatkan seutuhnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan. “Pekerjaan rumah terbesar selanjutnya adalah bagaimana menjadikan potensi ini sebagai entitas yang dapat bermanfaat secara riil bagi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat dan bangsa Indonesia,” imbuhnya.
Ada ratusan situs marjinal yang terdapat di areal KSN sekitar Prambanan, termasuk keempat candi yang dikunjungi rombongan ini. “Meski tak utuh, situs-situs ini juga menyimpan beribu pengetahuan yang harus terus digali dan dikabarkan pada khalayak,” kata Prio. Menurutnya, agenda menggali pemahaman warga sekitar situs arkeologi akan rutin dilakukan, di berbagai kawasan pusaka lainnya.
Pemetaan pemahaman seperti ini akan membantu pihak-pihak yang bekerja di ranah pelestarian untuk menentukan arah kebijakan konservasi. Pemetaan ini dapat menentukan bentuk pelayanan seperti apa yang dibutuhkan warga sekitar; apakah pendidikan kepurbakalaan, pelibatan dalam konservasi, dan seterusnya.
Program pelestarian yang tepat sasaran akan berberdampak panjang pada pelestarian situs. Petugas keamanan yang mengerti betapa berharga situs yang dijaganya, warga yang merasa memperoleh manfaat dari keberadaan situs, dan seterusnya. Semua berujung pada rasa memiliki yang berdampak positif pada ketulusan untuk menjaga.
Sehari usai jelajah, Nesta membuat cerita pendek yang terinspirasi dari fabel Sojiwan. Itulah cara Nesta memahami situs purbakala.
Teks dan Foto: Adriani Zulivan