Tuesday, June 18, 2013

Posted by adrianizulivan Posted on 11:07:00 PM | No comments

Jeruji Besi yang Membasahi Saputangan



Bergaul dengan warga desa memunculkan kesadaran bahwa desa itu tidak se-udik, se-katrok, se-kampungan yang dipikirkan orang awam. Aku mengenal sejumlah orang hebat yang melakukan banyak hal untuk desanya. Diantara mereka adalah para Kepala Desa (Kades).

Salah satu Kades yang kukenal adalah Pak SA. Ia adalah seorang mantan wartawan di Jakarta, mantan aktivis kampus yang bergelar Sarjana Ekonomi, dan kini menjadi mantan Kades sebab masa jabatannya telah berakhir. Ia memenangkan suara nyaris mutlak di dua periode pemilihan. 

Warga bangga padanya. Akupun begitu. Ia sangat bijak dan taktis. Juga memiliki selera humor yang sangat tinggi. Tahun 2010 aku pernah sakit perut akibat terbahak-bahak mendengar cerita beliau. Bagaimana tidak, nyaris sejam perjalanan ia menceritakan hal-hal lucu.

Pak SA adalah salah satu Kades yang memiliki visi hebat. Mencari sosok pemimpin sekelas beliau bukan perkara mudah, bahkan di tingkat negara! Sampai-sampai, beliau dilirik berbagai pihak untuk dicalonkan menjadi Bupati. Tak hanya di kabupaten tempat tinggalnya, namun juga kabupaten tetangga. Sip sekali!

Untuk sebuah majalah, aku pernah mewawancara beliau tentang sebuah program yang sedang dijalankannya. Program ini berbasis teknologi informasi, bermula dari cita-citanya untuk mewujudkan tata kelola data desa yang baik dan aksesibel. Sebuah LSM di Yogyakarta membantu beliau mewujudkan cita-cita ini dengan membangun sistem informasinya. Program ini kemudian menjadi pemenang di tingkat kabupaten, dalam sebuah lomba desa berskala nasional.

2007
Pasca gempa bumi 2006, pemerintah menggelontorkan dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Dana bantuan ini diberikan kepada desa-desa yang terkena dampak bencana. Besaran uang berbeda bagi tiap rumah yang menjadi korban, tergantung tingkat kerusakan.

Sayangnya, pembagian ini kerapkali menimbulkan persoalan baru. Banyak pengalaman dari desa-desa lain yang menceritakan tentang perpecahan keluarga, keributan antar warga, dll yang diakibatkan oleh pembagian dana bantuan yang dianggap tidak adil. Entah atas dasar apa, bupati yang berkuasa saat itu menyatakan bahwa dana bantuan gempa untuk proses rehab-rekons bisa dikelola sesuai dengan kearifan lokal. 

Pak SA tentu tak menginginkan kejadian serupa terjadi di desanya. Dalam sebuah forum warga yang dihadiri oleh seluruh pejabat berwenang terkait bantuan gempa, ia mengusulkan agar dana senilai Rp 1 milyar dibagikan secara merata ke seluruh warga, meskipun rumahnya tidak rusak. Hal ini dilakukan untuk mengindari konflik akibat data rujukan yang digunakan pemerintah untuk pembagian dana gempa tidak akurat. Sebagian lain dana itu dipotong untuk pembangunan sarana dan prasarana desa. Warga setuju. Walaupun seluruh bukti transaksi terekam baik, persetujuan ini tidak memiliki kekuatan formal, sayangnya, sebab tak ada perjanjian tertulis berupa dokumen legal. Inilah yang dinamakan kearifan lokal, berdasar azas kepercayaan.

03 Juni 2013
Saat aku memeriksakan diri ke Rumah Sakit, ada yang menyapa. Mas AfZ, kenalan lama. Dia sedang memeriksakan punggungnya yang cidera akibat kecelakaan sepeda motor minggu lalu. Tabrak lari.

Mas AfZ adalah putra dari Pak SA. Ia datang bersama ibunya. Obrolan bermula dari pertanyaan standar orang bertemu di RS: Siapa yang sakit, sakit apa, dan seterusnya, hingga menanyakan kabar ayahnya.

"Senin  depan (10/06) akan dilangsungkan sidang di pengadilan Tipikor," kata Bu SA. Beliau langsung langsung menghubungi pengacaranya untuk menanyakan jadwal persidangan, ketika kunyatakan keinginanku untuk menghadiri sidang.

Pak SA menjadi terpidana korupsi. Kasus yang menjeratnya adalah soal pembagian dana bantuan gempa yang dianggap tidak diatur sebagaimana mustinya.

Sebenarnya, sejak ditangkap dan dipenjara pada 31 Oktober 2012, aku sudah sangat ingin menjenguk beliau ke rutan. Aku berharap, selain sebagai ungkapan solidaritas, juga ingin menanyakan hal yang mungkin bisa kubantu. Aku kenal sejumlah Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada. 

Niat itu dipatahkan teman-temanku. Menurut mereka, perkara yang sedang dalam proses penyusunan dapat menjadi runyam jika kedatangan orang baru. "Bisa-bisa dituduh ingin bersekongkol untuk hal buruk," kata mereka. Mengenai bantuan hukum, ada teman yang sudah bergerak, lewat lobi non hukum, jalan ini sebaiknya tidak melibatkan ahli dahulu.

3 Oktober 2012
Bersama tiga teman lain, aku sempatkan mengunjungi Pak SA di rumahnya. Saat itu berita korupsi ini mulai terdengar di telinga publik. Kami datang hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul, tak sedikitpun menyentuh isu tersebut. Pak SA masih terlihat tenang dan kocak seperti biasa. Beliau juga menceritakan mimpi-mimpinya untuk kemajuan desa. Ini pertemuan terakhir kami dengan beliau.

10 Juni 2013
"Urusan benar atau salah sudah menjadi wewenang pengadilan untuk memutuskannya. Kita hadir sebagai teman untuk memberikan semangat dan dukungan moral kepada Pak SA dan keluarga dalam menjalani proses kasus yang dituduhkan kepadanya," kata temanku menjawab pertanyaanku tentang kapasitas kami di persidangan.

"Mari, Bapak di dalam," kata Mas AfZ yang menyambut kami di Pengadilan Tipikor.

Kami masuk ke ruang transit tahanan. Tampak di situ Pak SA sedang berbincang dengan Bu SA, melalui jendela. Ya, ruang sekitar 3x4 meter itu semacam penjara dalam versi manusiawi. Ada sebuah kursi panjang dan toilet di dalamnya. Bersih, manusiawi, selayaknya ruang-ruang di kantor lain. Yang membedakan adalah teralis besi yang terpasang kokoh di tiap daun pintunya.

Ruangan putih itu dibagi dua, dengan pembatas berupa tembok kaca. Ruang pertama untuk tahanan, ruang lainnya untuk penjenguk. Ada pintu dan dua daun jendela di tembok kaca itu. Perbincangan dengan Pak SA berlangsung melalui celah daun jendela yang diangkat agar tak menghindari pandangan. Diangkat dengan cara menahannya dengan tangan, temanku yang melakukan itu.

Pak SA, seperti biasa, menyambut kami hangat dan menyatakan terimakasih atas kunjungan ini. Obrolan, juga seperti biasa, berjalan ngalor-ngidul menyenangkan selama setengah jam. Meski tetap terlihat setegar SA yang dulu, ada hal yang berbeda dari beliau. Kalian akan tahu jika pernah mengenal sosok SA sebelum kejadian ini.

Temanku menceritakan tentang sistem basis data yang dikembangkan LSM-nya, di mana tiga tahun lalu desa Pak SA menjadi pilot project. Sistem ini kini berkembang pesat. Pak SA tentu bangga, sebab beliau menjadi salah satu penggagas. Beliau menceritakan kegiatannya di rutan.

"Saat ini saya sibuk menulis untuk bahan persidangan. Nanti usai putusan, akan punya waktu untuk menulis. Saya ingin menulis buku tentang peran pemdes di masa pasca gempa, terutama terkait perbedaan antara hukum negara dengan kesepakatan warga." Kesepakatan warga ini adalah "kearifan lokal" yang kusebut di atas. Selain itu, kasus ini semakin menegaskan bagaimana dampak sosial yang muncul ketika pemerintahan dikelola dengan data yang tak akurat. Sayangnya, dampak tersebut harus ditanggung oleh ujung tombak pelayan masyarakat, yakni perangkat pemerintahan desa.

Sebagai Kades, Pak SA menjadi pucuk pengambil kebijakan desa, sedang enam stafnya dianggap telah menjalankan putusan melanggar hukum yang ditetapkan atasannya. Satu periode pemerintahan desa itu dianggap menyalahgunakan wewenang. Sesimpel itu...

*
Ketika melihat kami datang, Bu SA yang tadinya berdiri mengobrol dengan suaminya, langsung menyingkir ke kursi tempat pengunjung. Beliau terus mengusapkan saputangan ke matanya yang merah dan berkantung tebal. Bagaimana tidak, suaminya berada di kursi pesakitan. Aku jadi kikuk sendiri. 

Ingin ikut duduk di samping beliau, namun aku tak kuat melihat orang menangis. Ketika melihat Pak SA di ruang berjeruji itu saja aku hampir menitik air mata. 15 menit berselang, kuberanikan diri duduk di samping Bu SA, menanyakan hal absurd.

"Ibu sehat, Bu?" pertanyaan sama kutanyakan juga ke Pak SA di awal pertemuan tadi.

"Alhamdulillah sehat," jawabnya lirih, sambil terus mengusap saputangan.

Lalu aku bingung, sebab si Ibu juga tak setegar suaminya. Ia tak mampu berkata banyak.

"Dengan siapa ke sini, Bu? Berdua dengan Mas AfZ saja?" nah, pertanyaan absurd lagi.

"Itu dengan anak-anak semua" menunjuk adik-adiknya Mas AfZ.

"Mas AfZ bagaimana, Bu? Sudah sehat?"

"Lumayan Mbak, tapi masih terbatas geraknya." Pertanyaan ini sudah kutanyakan juga langsung ke Mas AfZ saatkami baru bersua tadi.

"Ibu sehat-sehat ya Bu, biar Bapak juga sehat," kataku sambil memegang pundaknya. Absurd.

"Iya Mbak..." 

Bla bla bla, tentang berapa kali beliau menjenguk, kesehatan si Bapak, dst sampai petugas datang, beritahukan giliran persidangan Pak SA tiba. Aku dan teman-teman ke luar, memberi waktu pada keluarga dan tim Kuasa Hukum.

Tuntutan
Agenda sidang kali ini adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa. Pak SA
didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Berdasar keterangan saksi di sidang-sidang sebelumnya, Pak SA dan beberapa Staf Pemerintah Desa yang dipimpinnya (ada 6 orang lain yang ditangkap beberapa hari pasca penangkapan Pak SA), terbukti telah melakukan pemotongan dana bantuan pasca-gempa. Dana itu digunakan untuk membangun sejumlah infrastruktur desa. 

Atas dakwaan tersebut, jaksa menuntut hukuman penjara 6 tahun (potong tahanan) dan denda (sekitar) Rp 200.000.000 (subsider 3 bulan kurungan). Juga wajib membayar denda sebesar (sekitar) Rp 60 juta atas kerugian negara yang mencapai angka lebih dari Rp 1 Milyar. Jika denda tersebut tak bisa dibayarkan, maka pengadilan akan menyita aset pribadi.

"Enam tahun!" pekikku dalam hati.

"Biasanya putusan akhir tak akan jauh-jauh dari itu," kata temanku.

"Apakah ada yang bisa dibantu untuk saat ini?" tanyaku.

"Ini sudah putusan, mestinya sebelum ini..."

"Dulu aku pernah menawarkan untuk menghubungi orang UGM!"

"Tapi sepertinya tidak akan berubah lagi, kecuali ada peninjauan kembali (PK). Untuk PK itu, kalau keluarga masih punya energi..."

Hatiku mencelos... :(

Dalam persidangan ini hanya menghadirkan Pak SA, sedang enam stafnya akan disidang keesokan harinya. Mereka selalu dipisah, mulai dari lokasi rutan yang berbeda kabupaten, hingga jadwal yang tidak pernah disatukan (kecuali dalam proses mendengarkan saksi). Ini disengaja agar tak terjadi tindakan saling mempengaruhi.

Sidang berlangsung sangat singkat, kurang dari setengah jam. Pak SA langsung dibawa kembali ke ruang transit. Kami tidak ikut, biarkan keluarga dan kuasa hukum berunding. Kami menunggu di luar. Sepanjang persidangan, saputangan Bu SA terus bekerja.

Tak lama, Pak SA dan keluarga keluar. Kami hampiri, salaman. Genggamannya masih sekencang biasanya ia menjabat tangan. Aku tak tahu harus mengucap apa: Sampai jumpa lain waktu, Pak! Semoga sukses persidangannya besok! Absurd lagi, kan? Maka aku diam saja, sambil menyunggingkan senyum paling manis yang kupunya, sambil melambai hormat ketika si Bapak sudah masuk ke mobil hijau berjeruji itu.

Si Ibu mengikuti beliau. Si Bapak, sambil melambai kepada kami, menjulurkan tangannya di antara jeruji jendela mobil. Si Ibu meraihnya, lalu menciumnya sayang. Dengan rasa sayang mendalam. Aku menangis melihat adegan ini.

Keluarga pulang dengan kendaraan terpisah. Kami berpamitan.

Ini pengalaman pertamaku masuk ke ruang sidang, selain ruang praktek mahasiswa hukum di kampus. Aku benci jeruji-jeruji yang membuat saputangan Bu SA basah kuyup!

11 Juni 2013
Kemarin, dari keluarga Pak SA, kami mendengar bahwa persidangan mantan staf Pak SA akan disidang hari ini. Kami datang di jam yang sama dengan kemarin, namun melihat kondisi kantor yang sepi. Ternyata persidangan diadakan pagi hari...

Hari Ini
Besok, 19 Juni 2013 pukul 08.30 akan diadakan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pledoi oleh Pak SA, masih di Pengadilan Tipikor, Jalan Soepomo, Janturan, Yogyakarta (pertigaan kecil di seberang swalayan Pamella I). Ada yang ingin turut memberi dukungan moril? Mari!


Foto kuambil di persidangan kemarin (10/06). Seluruh nama (orang, lembaga dan tempat/lokasi) kusamarkan demi kepatutan.

Mlekom,
AZ

Categories:

0 comments:

Post a Comment

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata