Sekelompok pemuda desa di area situs Muaro Jambi sejak tahun 2010 mengadakan kegiatan pendidikan lingkungan untuk anak-anak desa setempat. Kelompok yang dinamai Sekolah Alam Raya Muarojambi (SARAMUJA) ini tiap pekan melakukan jelajah alam, penampilan seni budaya, hingga aksi membersihkan sampah di area percandian. Dengan semangat “semua orang guru, alam raya sekolahku”, SARAMUJA mampu meramu intepretasi baru atas situs Muarojambi sebagai ruang kegiatan untuk anak-anak desa setempat.
Muaro Jambi adalah situs cagar budaya kelas nasional yang nilai pentingnya bagi ilmu sejarah dan arkeologi telah mendunia. Namun, situs yang dikelola oleh pemerintah ini ternyata tidak cukup dipahami aspek kesejarahannya oleh masyarakat setempat. Belum ada ruang bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang layak tentang sejarah Muaro Jambi. Faktanya, anak desa di sana justru lebih mengenal informasi Candi Borobudur daripada Muaro Jambi di bangku sekolah. SARAMUJA berupaya untuk menyediakan informasi dan pengetahuan tentang Muaro Jambi kepada anak-anak desa setempat dengan metode yang mereka ciptakan sendiri.
Inisiatif SARAMUJA memberikan pendidikan pusaka (heritage education) kepada anak-anak desa adalah bentuk apresiasi terhadap pusaka budaya yang ada di tempat tinggal mereka. Praktik ini adalah kritik terhadap produsen pengetahuan masa lampau yang selama ini dimonopoli oleh sejarawan dan arkeolog (dalam lembaga pemerintah dan/atau akademis) seperti yang banyak dilakukan dalam fenomena New Archaeology. SARAMUJA menjadi fenomena interpretasi arkeologi ala pribumi (indigenous archaeology) atas situs dan sejarah Muaro Jambi ke dalam konteks kekinian. Laku interpretif masyarakat setempat ini bermanfaat untuk menjadikan pusaka budaya ini menjadi signifikan dan bernilai baik bagi diri mereka. Hal ini akan mempu berperan untuk meneguhkan jati diri sebagai bangsa dan sekaligus mendorong aksi pelestarian yang bermanfaat bagi masyarakat.
Kata kunci: Muaro Jambi, indigenous archaeology, arkeologi, interpretasi, post-processual archaeology, masyarakat
Penulis:
*Ditulis untuk International Conference on Jambi Studies 2013
Muaro Jambi adalah situs cagar budaya kelas nasional yang nilai pentingnya bagi ilmu sejarah dan arkeologi telah mendunia. Namun, situs yang dikelola oleh pemerintah ini ternyata tidak cukup dipahami aspek kesejarahannya oleh masyarakat setempat. Belum ada ruang bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang layak tentang sejarah Muaro Jambi. Faktanya, anak desa di sana justru lebih mengenal informasi Candi Borobudur daripada Muaro Jambi di bangku sekolah. SARAMUJA berupaya untuk menyediakan informasi dan pengetahuan tentang Muaro Jambi kepada anak-anak desa setempat dengan metode yang mereka ciptakan sendiri.
Inisiatif SARAMUJA memberikan pendidikan pusaka (heritage education) kepada anak-anak desa adalah bentuk apresiasi terhadap pusaka budaya yang ada di tempat tinggal mereka. Praktik ini adalah kritik terhadap produsen pengetahuan masa lampau yang selama ini dimonopoli oleh sejarawan dan arkeolog (dalam lembaga pemerintah dan/atau akademis) seperti yang banyak dilakukan dalam fenomena New Archaeology. SARAMUJA menjadi fenomena interpretasi arkeologi ala pribumi (indigenous archaeology) atas situs dan sejarah Muaro Jambi ke dalam konteks kekinian. Laku interpretif masyarakat setempat ini bermanfaat untuk menjadikan pusaka budaya ini menjadi signifikan dan bernilai baik bagi diri mereka. Hal ini akan mempu berperan untuk meneguhkan jati diri sebagai bangsa dan sekaligus mendorong aksi pelestarian yang bermanfaat bagi masyarakat.
Kata kunci: Muaro Jambi, indigenous archaeology, arkeologi, interpretasi, post-processual archaeology, masyarakat
Penulis:
- Adriani Zulivan, Indonesian Heritage Inventory
- Elanto Wijoyono, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia
*Ditulis untuk International Conference on Jambi Studies 2013
0 comments:
Post a Comment