Tak seperti Yogyakarta, ketika ngobrolin seni rupa, Jakarta tak menjadi kota yang pertama muncul di benakku. Maka tak heran ketika mengetahui usia Jakarta Biennale (sejak 1974) lebih tua dibanding Biennale Jogja (1988), bagiku cukup mengejutkan.
Rasa-rasanya, kegiatan seni rupa di Jakarta tidak seramai di Yogyakarta. Jikapun ada, ia kerapkali terlihat eksklusif. Eksklusif pada tema (sejarah tokoh bangsa, sejarah negara, dst), juga eksklusif secara pemilihan tempat (galeri atau museum besar). Masih ditambah dengan esklusifnya nama-nama seniman yang ikut berkarya. Diantaranya adalah pameran "Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia" (pertengahan 2012) dan "Aku Diponegoro" (awal 2015) lalu.
Eksklusif ini, menurutku, berkontribusi pada tidak bertambahnya masyarakat penikmat seni. Suasana yang terasa menjadi semacam "ini adalah pameran yang diperuntukkan bagi para seniman, kurator, kolektor, dan akademisi saja". Sedangkan orang awam yang datang untuk sekadar ingin melihat, mungkin merasakan seperti yang kurasakan ketika berada di antara pengunjung lain: Kamu ngapain di sini, emangnya ngerti seni?
Keberadaanku sebagai hanya-orang-awam-yang-ingin-melihat-lihat itu, seakan mendapat angin segar pada penyelenggaraan Jakarta Biennale 2015 lalu. Pemilihan tema, tempat dan perupa yang terlibat--lagi-lagi, secara psikologis membantu orang-orang sepertiku merasa 'dianggap' dalam sebuah pagelaran seni.
Pertama, tempat. "Gedung Sarinah? Thamrin?" Tanya taksi yang membawaku menuju pagelaran itu. Ia pasti menanyakan apakah benar aku ingin ke gedung yang dua hari sebelumnya baru saja dihebohkan aksi teror tersebut. "Gudang pak, bukan gedung. Di Pancoran," jawabku. Berbekal aplikasi Waze, kami cukup kesulitan mencari gedung yang terletak di tengah kampung permukiman warga ini (ya ya, aku tidak membaca instruksi di web yang kemudian hanya bisa komentar: yaampun, ternyata di seberang Gelael!).
Tak hanya di mana, kuyakin tak banyak orang paham apa Gudang Sarinah itu. Bertanya pada Google, kalimat "jakarta biennale 2015" selalu menyertai di tiap hasil pencarian. Artinya belum banyak ulasan mengenai sejarah gedung ini. Meski demikian, melihat pemilihan bentuk huruf dan warna pada tulisan yang terpampang di fasad gedung, aku yakin ia memiliki hubungan dengan Pusat Perbelanjaan Sarinah di kawasan Thamrin yang dibangun Soekarno itu.
Saking tidak populernya, gudang ini nyaris terlupakan. Jakarta Biennale, menurut sebuah media, menjadi aktivitas pertama yang membangkitkan ingatan publik akan gedung ini. Aku tertarik membicarakan panjang lebar soal gedung berbentuk gudang ini. Ketika memilih bangunan biasa yang sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat setempat, atau bukan bangunan khusus berlabel "kantong seni" dan semacamnya, rasa kedekatan (proximity) segera hadir dalam pikiran khalayak.
Pemilihan tempat di tengah permukiman warga, bagiku merupakan cara hebat untuk memenangkan hati masyarakat di luar dunia seni. Warga suatu perkampungan mungkin malas memasuki sebuah gedung megah berbentuk Galeri Nasional, misalnya; namun sangat penasaran dan ingin menjadi bagian dari perhelatan di Gudang Sarinah ini.
Kedua, tema. Berbicara tentang Jakarta adalah berbicara tentang kota. Pemilihan isu terkait persoalan kota adalah penting untuk mendekatkan karya seni pada keseharian warga, dalam hal ini tentu saja warga kota Jakarta.
Isu terkait banjir, air bersih, penggusuran, diskriminasi, kekerasan politik hingga perdagangan aset negara, tentu menjadi keseharian masyarakat Jakarta. Masyarakat yang kepentingannya dalam kehidupan sosial, juga menjadi sumber ide para seniman kita.Pameran ini berfokus pada situasi di sini dan saat ini, serta respons para seniman terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi di sekitar mereka. ~ jakartabiennale.net
Siapa perupa yang terlibat dalam sebuah pagelaran, tentu menjadi hal penting ketiga. Ketika aku tak mengenal banyak nama dalam daftar perupa di sebuah kegiatan, bagiku itu merupakan sinyal dimana eksklusivitas sedang dipinggirkan. Jika hanya menampilkan perupa yang telah menggoreskan namanya di jajaran atas karya seni, kalian pasti tahu apa yang ada di pikiran orang awam sepertiku sebelum mendatangi tempat di mana karya para 'dewa seni' itu dipajang!
Sederhananya, ada kelompok yang membaca karya seni sesuai dengan tingkatan berkeseniannya. Ada kelompok yang datang dengan informasi terbatas, lalu berusaha membaca karya yang di hadapannya dengan persepsinya sendiri. Kelompok lain adalah mereka yang datang karena mengagumi betapa cantik, bagus, menarik mata karya-karya yang dipajang, sehingga mereka merasa harus mengabadikannya lewat selfie ataupun wefie. Semestinya tak ada yang salah dengan motivasi kelompok-kelompok tersebut. Di Gudang Sarinah ini, Jakarta Biennale 2015 mengakomodir motivasi segala kelompok tersebut.
Membaca Jakarta, Mereka Kota
Pagelaran dua tahunan yang dilaksanakan pada 15 November - 17 Januari ini, selain pameran karya seniman dari Jakarta juga menampilkan karya para seniman dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Tak hanya pameran, kegiatan ini diikuti beragam kegiatan seperti simposium, workshop, dan masih banyak lagi yang juga tak hanya melibatkan pekerja seni, namun juga publik yang lebih luas.
Berkaca pada kota asalku, Yogyakarta, melihat karya-karya dalam Jakarta Biennale seperti mereka-reka masa depan kotaku sendiri. Yogyakarta yang sejak 2011 lalu terus bersolek diri menjadi kota modern, dua tahun kemudian segera menjejak dampak bagi warga. Dampak ini sayangnya tak berpihak pada kepentingan publik. Air sumur perkampungan yang mengering, kemacetan akibat tumbuhnya pusat-pusat hiburan baru, dan masih banyak lagi.
Jakarta Biennale 2015 merefleksikan Jakarta sebagai kota dalam berbagai sudut pandang. Karya-karya itu mencoba mengajak pengunjung untuk melihat dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan sebagai dampak dari pembangunan kota. Aku seakan sedang membaca Jakarta lewat goretan lukisan dan berbagai instalasi yang ditampilkan di sana, untuk dapat mereka-reka bagaimana kotaku nanti jika pembangunan sudah begitu masif.
Gambar pertama adalah instalasi dari potongan-potongan bahan tekstil berwarna hitam karya Peter Robinson (Auckland) berjudul “Syntax System”. Gambar terakhir adalah aku di Gudang Sarinah pada Sabtu (16/01).
Mlekom,
AZ
0 comments:
Post a Comment