Di wilayah kerajaan Jawa, masjid besar seringkali menjadi penanda adanya kampung muslim. Biasanya, kampung yang disebut Kauman ini, berada di sekitar lokasi tempat berdirinya masjid. Para penduduk Kauman lah yang sehari-hari bertugas menghidupi masjid. Yang disebut masjid besar adalah masjid yang sampai di kemudian hari (baca: sekarang) tetap menjadi masjid utama yang menjadi simbol pemerintahan, hingga di masa kini.
Jika membandingkan dengan Jakarta, agak sulit melihat konteks tersebut. Bangunan mana yang merupakan masjid utama dan menjadi simbol keagamaan? Jika mengacu konsep Catur Gatra Tunggal, mungkinkah Istiqlal beserta istana negara (sebagai representasi unsur pemerintahan, meski dibangun di jaman berbeda), serta Lapangan Monas (alun-alun, representasi ruang publik penghubung penguasa dan rakyat). Lalu mana pasar besar? Pasar terdekat sepertinya Tanah Abang, tapi itupun jauh (dekat tapi jauh hahaha) dan tidak pas membentuk catur gatra tunggal.
Sulitnya menemukan masjid besar ini, membuat orang awam tak terlalu mudah menebak di mana kampung muslim ala Kampung Kauman di Jawa. Sejarah muslim Jakarta tentu tidak dimulai dari pembangunan Masjid Istiqlal oleh Soekarno (1951), namun jauh sebelum itu saat wilayah ini masih bernama Sunda Kelapa di bawah pemerintahan Padjajaran (awal abad ke-15).
Saat itu diyakini, kedatangan awal Islam dibawa oleh ulama dari Champa. Masuknya pedagang muslim asal Cina, Arab dan Gujarat juga memberi pengaruh besar lewat pernikahan dengan penduduk lokal. Masjid Al Anshor di Kampung Koja diyakini sebagai masjid tertua di Jakarta.
Kampung Koja terletak di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Nama Koja (Khoja) berasal dari sebutan bagi pedagang India muslim asal Bengali yang banyak menetap di jaman itu. Kini wilayah tersebut disebut Pekojan.
Di masa selanjutnya, Belanda membuat aturan agar seluruh pendatang dari Hadramaut harus menetap di Pekojan. Sejak itu, Pekojan dikenal dengan Kampung Arab dan meluas hingga wilayah Sawah Besar dan Condet. Kini sulit menemukan keturunan India di Pekojan, adapun warga keturunan Arab tinggal sekitar 10%, dan sisanya adalah warga Tionghoa.
Meski letaknya menyempil di dalam perkampungan padat penduduk, Pekojan pantas ditelusuri untuk melihat jejak persemaian Islam di Jakarta. Jejak-jejak ini masih terlihat utuh dari sejumlah bangunan masjid yang dibangun sejak masa muslim India hingga Arab.
1. Masjid Al Anshor (1648)
Tak begitu mudah mencari letak masjid tertua di Jakarta ini. Keempat sisi bangunannya diapit rumah penduduk dengan jarak yang hanya dapat dilewati pejalan kaki. Sayangnya tak ada yang tampak lama dari bangunan masjid yang terletak di Gang Pengukiran II ini. Masjid ini terus mengalami perombakan bangunan, seperti gambar ini saat aku datangi akhir Juni 2015. Bangunan selain diperluas ke depan, juga ke atas menjadi bertingkat.
2. Mushola Ar Raudhah (1887)
Tak seperti masjid sebelumnya, melihat bangunan ini kita bisa tahu betapa tuanya masjid ini. Bangunannya mengingatkanku pada bangunan di Kotagede Yogyakarta, terutama pada bagian jendela. Ini mengikuti arsitektur rumah Betawi. Daun jendela dan pintu berbahan kayu yang terdapat pada masjid yang terletak di Jalan Pekojan I Gg 3 ini, sepertinya masih asli.
Masjid bernama lengkap Ar Raudhah Shahabuddin ini didirikan keturunan Arab. Awalnya dikhususkan bagi jamaah perempuan. Di kemudian hari di masjid inilah berdiri Jamiatul Khair, organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta (1901). Banyak tokoh Islam lahir dari gerakan ini, seperti KH Dahlan, HOS Tjokroaminoto, H Samanhudi, hingga H Agus Salim.
3. Masjid Jami Annawier (1760)
Terletak di Jalan Pekojan Raya No 71, inilah masjid tua Pekojan dengan bangunan termegah. Sayang aku tidak punya foto dalam bangunan yang berupa tiang-tiang megah berjumlah banyak. Tiang-tiang ini bergaya eropa klasik.
Masjid ini didirikan oleh ulama Hadramaut keturunan Nabi Muhammad SAW dari putrinya Fatimah. Aku beruntung bisa menyaksikan matahari tenggelam dari menaranya.
4. Langgar Tinggi (1829)
Tampak luar, bangunan ini mirip dengan Langgar Dhuwur tempat bergiat KH Ahmad Dahlan di Kauman Yogya. Bangunan ini terdiri atas dua lantai. Lantai pertama ada tempat wudhu dan kediaman pengurus masjid, lantai kedua tempat sembahyang.
Bahan utama bangunan terbuat dari tembok, sedangkan ornamennya berupa kayu. Arsitektur masjid dipengaruhi berbagai gaya, yaitu Eropa, Tionghoa dan Jawa. Menurut pengurus masjid, masjid ini ramai dikunjungi keturunan Arab di sepekan sebelum Idul Fitri. Mereka akan memasak beragam menu makanan Arab untuk dibagikan kepada warga dan masyarakat yang berkunjung.
Jika membandingkan dengan Jakarta, agak sulit melihat konteks tersebut. Bangunan mana yang merupakan masjid utama dan menjadi simbol keagamaan? Jika mengacu konsep Catur Gatra Tunggal, mungkinkah Istiqlal beserta istana negara (sebagai representasi unsur pemerintahan, meski dibangun di jaman berbeda), serta Lapangan Monas (alun-alun, representasi ruang publik penghubung penguasa dan rakyat). Lalu mana pasar besar? Pasar terdekat sepertinya Tanah Abang, tapi itupun jauh (dekat tapi jauh hahaha) dan tidak pas membentuk catur gatra tunggal.
1. Papan BCB Al-Anshor. Jadi jemuran :( |
Saat itu diyakini, kedatangan awal Islam dibawa oleh ulama dari Champa. Masuknya pedagang muslim asal Cina, Arab dan Gujarat juga memberi pengaruh besar lewat pernikahan dengan penduduk lokal. Masjid Al Anshor di Kampung Koja diyakini sebagai masjid tertua di Jakarta.
Kampung Koja terletak di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Nama Koja (Khoja) berasal dari sebutan bagi pedagang India muslim asal Bengali yang banyak menetap di jaman itu. Kini wilayah tersebut disebut Pekojan.
Di masa selanjutnya, Belanda membuat aturan agar seluruh pendatang dari Hadramaut harus menetap di Pekojan. Sejak itu, Pekojan dikenal dengan Kampung Arab dan meluas hingga wilayah Sawah Besar dan Condet. Kini sulit menemukan keturunan India di Pekojan, adapun warga keturunan Arab tinggal sekitar 10%, dan sisanya adalah warga Tionghoa.
Meski letaknya menyempil di dalam perkampungan padat penduduk, Pekojan pantas ditelusuri untuk melihat jejak persemaian Islam di Jakarta. Jejak-jejak ini masih terlihat utuh dari sejumlah bangunan masjid yang dibangun sejak masa muslim India hingga Arab.
2. Mihrab Al-Anshor. |
Tak begitu mudah mencari letak masjid tertua di Jakarta ini. Keempat sisi bangunannya diapit rumah penduduk dengan jarak yang hanya dapat dilewati pejalan kaki. Sayangnya tak ada yang tampak lama dari bangunan masjid yang terletak di Gang Pengukiran II ini. Masjid ini terus mengalami perombakan bangunan, seperti gambar ini saat aku datangi akhir Juni 2015. Bangunan selain diperluas ke depan, juga ke atas menjadi bertingkat.
3. Pintu depan Al-Anshor. Seperti rumah tinggal kekinian. |
Perombakan total ini nantinya tentu akan menghilangkan ciri asli bangunan. Padahal, bangunan ini telah menjadi benda cagar budaya (BCB) provinsi sejak 1972. Menyedihkan memang, namun pusaka seringkali kalah atas kepentingan publik. Atas nama agama, dan jumlah warga yang menggunakan masjid ini semakin banyak, maka memori hanyalah angin lalu.
4. Ar Raudhah, sangat terawat. |
Tak seperti masjid sebelumnya, melihat bangunan ini kita bisa tahu betapa tuanya masjid ini. Bangunannya mengingatkanku pada bangunan di Kotagede Yogyakarta, terutama pada bagian jendela. Ini mengikuti arsitektur rumah Betawi. Daun jendela dan pintu berbahan kayu yang terdapat pada masjid yang terletak di Jalan Pekojan I Gg 3 ini, sepertinya masih asli.
Masjid bernama lengkap Ar Raudhah Shahabuddin ini didirikan keturunan Arab. Awalnya dikhususkan bagi jamaah perempuan. Di kemudian hari di masjid inilah berdiri Jamiatul Khair, organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta (1901). Banyak tokoh Islam lahir dari gerakan ini, seperti KH Dahlan, HOS Tjokroaminoto, H Samanhudi, hingga H Agus Salim.
5. Manara Annawier. |
Terletak di Jalan Pekojan Raya No 71, inilah masjid tua Pekojan dengan bangunan termegah. Sayang aku tidak punya foto dalam bangunan yang berupa tiang-tiang megah berjumlah banyak. Tiang-tiang ini bergaya eropa klasik.
Masjid ini didirikan oleh ulama Hadramaut keturunan Nabi Muhammad SAW dari putrinya Fatimah. Aku beruntung bisa menyaksikan matahari tenggelam dari menaranya.
6. Pintu lantai dasar menuju ruang utama Langgar Tinggi. |
Tampak luar, bangunan ini mirip dengan Langgar Dhuwur tempat bergiat KH Ahmad Dahlan di Kauman Yogya. Bangunan ini terdiri atas dua lantai. Lantai pertama ada tempat wudhu dan kediaman pengurus masjid, lantai kedua tempat sembahyang.
Bahan utama bangunan terbuat dari tembok, sedangkan ornamennya berupa kayu. Arsitektur masjid dipengaruhi berbagai gaya, yaitu Eropa, Tionghoa dan Jawa. Menurut pengurus masjid, masjid ini ramai dikunjungi keturunan Arab di sepekan sebelum Idul Fitri. Mereka akan memasak beragam menu makanan Arab untuk dibagikan kepada warga dan masyarakat yang berkunjung.
7. Tampak dalam Langgar Tinggi. |
Entah masih ada masjid tua lain di Pekojan atau tidak. Jika berkesempatan ke sana lagi, informasi ini akan kuperbarui. Untuk bahan bacaan bisa kunjungi blog milik Alwi Shahab. Foto 4, 5 dan 6 dibidik Mas Fatur. Trims untuk Uci yang sudah mengantar berkeliling.
Mlekom,
AZ
0 comments:
Post a Comment