Oleh Putra Anggara Zulivan
Seorang bayi keluar dari rahim ibunya. Menangis berteriak, lalu menyusuri tubuh sang ibu untuk mencari air susu ibu alias ASI, makanan pertamanya. Kemudian diam tenteram. Mungkin itulah gambaran nurani lahiriah manusia: mencari makan.
Tiap manusia memiliki early warning system yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya. Sistem tersebut aktif sejak lahir dengan "menyuruh" bayi berteriak lewat tangisan sebagai tanda bahwa ia lapar.
Tidak hanya bayi, manusia dewasa yang sudah berpikir pun melakukan hal sama ketika lapar. Mereka "berteriak". Termasuk ketika rencana kenaikan harga bahan bakar minyak berdengung lagi. Dengan pikirannya, manusia-manusia dewasa itu berteriak agar tetap bisa makan.
Teriakan-teriakan tersebut termanifestasi lewat berbagai aksi demonstrasi. Inilah bentuk lain bekerjanya early warning system di tubuh. Maka, tak benar hipotesis berbagai teori politik yang menyebutkan bahwa teriakan-teriakan itu ditunggangi kepentingan lain yang bukan berasal dari hati nurani rakyat.
Sebagai naluri alamiah, manusia tak perlu dikomandoi untuk berteriak lapar, sebab tubuh sudah terlebih dahulu memberi tanda bahwa mereka tak akan lagi bisa makan akibat ketidakmampuan membeli bahan makanan sebagai efek korelasi kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap kenaikan harga bahan pokok.
Karena menyakitkan hati masyarakat, perlu dipertanyakan dasar tuduhan bahwa berbagai aksi demonstrasi penolakan ditunggangi kepentingan. Dalam sakit hatinya, masyarakat bisa saja balik menuduh bahwa penguasa memiliki skenario besar di balik kebijakan tersebut.
Misalnya mencurigai adanya unsur penyuapan dalam pemberian bantuan langsung tunai (BLT). Hal ini karena BLT yang plus-plus bahan kebutuhan pokok tersebut bisa mencuri hati rakyat miskin agar kembali memilih mereka yang sekarang duduk di pemerintahan. Jika dituduh seperti itu, tidakkah sakit hati mereka-para pembuat kebijakan di sana?
Kekhawatiran itu bisa timbul ketika kebijakan bagi-bagi uang dilaksanakan di saat para pemimpin sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti pemilu yang tinggal setahun lagi. Memang benar bahwa minyak dunia (kebetulan) sekarang sedang naik-naiknya. Namun, tak adakah formula alternatif demi perut puluhan juta jiwa rakyat miskin?
Soal perut bisa merambah berbagai persoalan lain dalam perjalanan bangsa ke depan. Jika pemerintah beranggapan bahwa ketidakmampuan seorang pemulung sampah membeli susu bayi tak berkontribusi terhadap jalannya negara, inilah saatnya bagi kita, masyarakat, untuk berpikir ulang mengenai harga suara kita saat memilih mereka sebagai representasi kita pada pemilu yang sudah lalu dan nanti.
Di luar argumen teoretis mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak, lewat kebijakan tersebut, pemerintah menasbihkan naluri lahiriah manusia. Tak jadi soal jika kebijakan tersebut diterapkan setelah urusan perut rakyat terselesaikan, sebab bisa jadi satu dari bayi-bayi yang selama ini tak mampu dibelikan susu oleh orangtuanya menjadi petinggi di negeri ini. Siapa tahu!
PUTRA ANGGARA ZULIVAN Mahasiswa Keuangan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
*
Dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik Akademia - Forum, pada Jumat, 23 Mei 2008. Lihat tulisan asli di sini.