Saturday, June 28, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 11:59:00 PM | No comments

Gaya dan Intimidasi di Kolam Pancing


Ceritanya, mantan teman-teman sekantor yang ngontrak bareng ini, akan berpisah dari kehidupan bersama (bahasanya!). Mereka akan hidup berpencar sesuai kebutuhan masing-masing. Ada yang membutuhkan tempat yang nyaman untuk membuat kantor di rumah, ada yang cari kos-kosan, adapula yang pindah ke rumah saudara.

Sebagai perpisahan, mereka bikin agenda makan-makan di pemancingan. Aku dan beberapa mantan teman kantor lain diundang. Pemancingan ini  terletak di Jalan Imogiri Barat Km 9 , Timbulharjo, Sewon Bantul, gak jauh dari kontrakan mereka.


Mas Gandung (merah) dan Mas Gopek (biru).
Sebelum agenda utama, makan, pastinya mancing dulu. Lihat Mas Gandung yang bisa dapat ikan dalam 10 menit pertama, aku jadi tertarik. Akupun minta disiapkan pancing dan pelet, tinggal buang pancing, tunggu.

10 menit tak ada apa-apa. Setengah jam. Sejam. Aku bosan, dan merasa terintimidasi dengan hasil teman-teman lain, terutama Mas Gandung dan Mas Gopek. Ditambah lagi tamu-tamu lain yang berhasil dapat puluhan ekor.


Mbaknya kebanyakan gaya, ikan pun males.
Menurut Mas gandung yang sangat sering mancing di sana, 3 kilogram ikan bawal dan nila di kolam itu bisa didapatnya dalam setengah jam saja! Yasudah, aku nyerah ajalah ya, ketimbang malu.


Ini entah bawal keberapa yang berhasil ditangkapnya...
Nila yang besar.
Entah siapa pemenang agenda mancing hari ini. Aku harus pergi sebelum maghrib, agenda buka puasa bersama teman-teman. Seluruh foto milik Iman Abda.

Mlekom,
AZ
20140712

Friday, June 27, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 9:00:00 PM | No comments

Tragedi Kecap Merah


Waktu jadi mahasiswi semester II...
Di Komunitas B-21, ngedit tulisan. Aku duduk di kursi yang menghadap PC. Di sandaran kursi tergantung sebuah jaket parasut hitam dengan lapisan furing berwarna putih. Jaket milik Mas Didik, senior di Divisi Redaksi yang gak mau nyentuh perempuan, meski sekadar salaman. Ah, bertemu pandang saja malu-malu, kok. 

Jaket digantung menghadap belakang kursi, jadi bagian badannya tertimpa pant*tku, dengan bagian furing di bagian atas. Entah berapa lama pantatku ngendon di sana, sampai kaget luar biasa saat melihat kondisi jaket yang tak lagi berwarna putih, namun seperti tie dye berwarna merah. Grasp! 

Dengan sigap kubalik bagian furing, hingga bagian parasut hitam yang di luar, lalu menggulungnya, dan mencari Mas Didik. Masalahnya, gak mudah juga menjelaskan hal ini kepada seorang... ahem... ikhwan.

"Mas, maaf jaketnya kotor. Aku bawa pulang, cuci dulu ya."
"Heh, jatuh po? Gak usah, gak papa."
"Aku bawa aja deh..."
"Gak usah, aku aja masukin londri."
"Gak gitu mas... duhhh, gimana ya bilangnya..."
"Ngopo tho kowe ki?"
"Pokoknya kamu gak akan pengen lihat kotornya gimana. Bukan cuma jatuh di lantai..."
"...???"
"Haduh, aku tembus, jaketmu kena kecap merah!" kataku cepat.
"Hah???" membelalak.
"Ya, makanya kubawa duluuuuu"
"Yawes, kono (ya sudah, sana). Huuu, padahal itu baru kucuci. Njuk pie kui wis tok nodai (lalu gimana itu sudah kamu nodai)."
"Salahmu naro jaket di situ!"

Udah mahasiswi semester IV...
"Udah nyampe, turun lah" teriak si abang yang waktu itu lagi dekat sama aku.
"Duh Bang, minta tisu!" segepok tisu di tanganku, akupun sibuk nuang sedikit air akuwa ke tisu, lalu gosok-gosok jok.
"Kenapa sih, dek?"
"Ini...."

Yak, jok mobil berwarna abu-abu cenderung putih itu ternoda. Akhirnya gak jadi turun, aku minta pulang karena celana sudah berbaret-baret cap kecap merah.

Kemarin, di usia 30+ ini...
Baca di atas kasur teman. Pas ngangkat pant*t, seprei kembang-kembang merah-pink itu kok jadi bladus? Colek pake jari, hujamkan jari ke lubang hidung. Yak'e, itu aroma kecap merah!

Buru-buru tarik sepre. Lari ke belakang, cari sikat gigi bekas dan baskom untuk air. Sikat-sikat kasurnya sampai bersih, nyalain kipas angin ke arah sasaran agar segera kering. Ke kamar mandi, ketemu Mamanya. Nah, bingung lagi nih.

"Tante, maaf ada deterjen?"
"Buat apa Mbak? sambil nunjuk deterjen.
"Buat bersihin..." nyodorin gulungan seprei tanpa nunjukin daerah berbaret kecap.
"Oh, gak papa biar besok tante saja sekalian nyuci."
"Eh jangan Tante, biar saya saja." Ambil ember, ambil sabun mandi, kucek-kucek kecapnya.

Si Tante nyuruh ngerendam aja, biar besok dicuci sekalian kain lain. Sebab udah malam, kalo dijemur gak pake mesin pengering juga gak akan kering.

"Maaf ya Tante, ninggalin cucian..." cucian bekas kecap :(

Dan berlanjut obrolan: Itu si Yuna (anaknya) juga kalau lagi dapet banyak banget, biasanya tidur di lantai. Duh, aku jadi nggak enak, tadi di kasur. Trus si Tante nyarinin tiap anak gadisnya untuk mencuci pakaian dalamnya setiap mandi, dengan sabun mandi. "Biar gak kuning-kluning," katanya.

Lalu aku pun berbagi tips merendam bahan kain yang gampang berjamur (bintik-bintik hitam), yang biasanya menghuni handuk. Si Tante senang, akan mempraktekkan tipsku. Yang pasti, rasa gak enak karena ngecap (tidak pepet, meng-kecap) tadi agak pudar. Errr...

...dan kayanya masih banyak kejadian lain... 
saking banyaknya, gak ingat lagi :p

Apakah kamu pernah ngecapMaaf ya jika tulisan ini menjijikkan... Inilah tragedi kecap merah. Hidup kecap merah! *eh*

Buat yang belum pernah tau bentuk pembalut, gambar di atas adalah bentuk reusable/washable sanitary napkin/feminine menstrual cloth pads yang kuambil di sini. Itu bikinan Cina. Yang bikinan lokal ada sih, tapi polosan. Trus kenapa? Kok jadi promo.

Mlekom,
AZ
Posted by adrianizulivan Posted on 3:08:00 PM | No comments

Candi Tertimpa Candi


Siluet candi menimpa bangunan candi, pertengahan Juli 2012. Tak semua orang dapat menikmati Prambanan di kala senja. Bersama sedikit pengunjung lain, aku beruntung mendapat kesempatan itu. Ini adalah bangunan candi Trimurti yang ditimpa bayangan candi Wahana. Berada di sana di saat pergantian hari terasa mistis, perlu mengalami sendiri untuk paham alasannya :)

Gambar ini diikutkan dalam Turnamen Foto Perjalanan Ronde 45: Siluet.

Mlekom,
AZ

Posted by adrianizulivan Posted on 2:16:00 PM | No comments

Nasib Gadis dalam Lembar KTP


Dengan suka cita, keluarga Pendeta di Kalimantan mengantar keberangkatan anak gadisnya. Si gadis akan menuntut ilmu di sebuah kota di pedalaman Jawa, Yogyakarta. Tahun berganti tahun. Si gadis jatuh cinta pada seorang perjaka muslim, putra seorang Takmir masjid di bilangan utara kota. Sang perjaka yang tidak kuliah ini, berprofesi sebagai penjaga di sebuah counter penjualan pulsa telepon seluler.

Silahkan membuat versi cerita sendiri, tentang kejadian yang membuahkan janin pada rahim si gadis. Semalam para tetangga berkunjung ke rumah keluarga sang perjaka, sebagai balasan atas hantaran bancaan. Bancaan adalah acara selamatan adat Jawa, atas berbagai peristiwa kehidupan, termasuk kelahiran.

Belum, bayi mereka belum lahir. Prediksi kelahiran masih dalam hitungan hari ke depan. Memang, dalam hantaran bancaan berupa nasi kotak itu tertulis "selamatan pernikahan"; Meski mereka belum menikah. Sesepuh kampung menyarankan orangtua sang perjaka untuk membuat bancaan ini, agar tidak mengagetkan warga.

Ya, meski warga sudah terlanjur kaget. Kok nggak pernah ada undangan pesta pernikahan. Belakangan si gadis tak lagi tinggal di kos-kosan, pindah ke rumah keluarga sang perjaka. Beberapa hari belakangan, warga kasak-kusuk tentang keberadaan perempuan-muda-berperut-besar di rumah itu. Awalnya keluarga menjelaskan sebagai "keponakan", lalu tak dapat menghindar lagi. 

Mengapa tidak menikah saja? Itu pertanyaanku saat mendengar berita tersebut. Ternyata, KTP memang sangat sakti. Ia mampu menentukan nasib kehidupan anak manusia. Hanya dialah yang dapat dipercaya petugas keagamaan untuk mengislamkannya, lalu menikahkan secara Islam. 

Gadis dan perjaka dapat menikah, jika gadis memiliki surat dari pejabat yang mengeluarkan KTP-nya. (Sebentar, Islam lebih tua dari KTP, bagaimana tata cara pernikahan muslim di jaman dulu?) Untuk memperolehnya, gadis tentu harus meminta tolong keluarganya. Itu tidak mungkin. Mengurus sendiri, pulang ke kampung halaman dengan perut buncit. Itu pun tak mungkin. Gadis takut ketahuan.

Ya, tak satupun anggota keluarganya yang tahu. Aku terpaksa tahu, dari cerita yang langsung dilontarkan di depan telingaku, tanpa kuminta. Apakah kalian juga tahu? Bukan, mereka bukan tetanggaku, tak sekalipun pernah mengenal mereka. Apakah kalian kenal?

Seluruh belahan dunia seakan sepakat, bahwa ahli agama adalah orang suci. Sebutan orang suci ini merujuk pada ketaatan beribadah, alim, dan hal-hal terkait yang jauh dari perbuatan melanggar aturan agama. Belahan dunia bernama Indonesia sepakat, kehamilan yang terjadi dalam hubungan yang tidak terikat lembaga pernikahan adalah aib besar bagi keluarga. Masyarakat pun tak segan memberi julukan "anak haram" bagi bayi yang dilahirkan.

Aku kasihan dengan si gadis. Bagaimana perasaannya selama sembilan bulan ini? Sekolah terbengkalai, mau menikah sulit akibat beda agama, orangtua tidak tahu, akan segera punya anak, dan calon suami tidak berpenghasilan baik. Ditambah lagi dengan omongan orang kepo di sana-sini (termasuk aku di tulisan ini). Itu masih belum dilengkapi dengan upaya untuk menghadapi orangtuanya nanti... Pasti terdengar klise dan sok tua, tapi biarlah aku mengatakan ini lagi: Jangan hamil tanpa menikah, jika kamu belum siap batin!

Cuma bisa berharap, semoga gadis yang sedang menyusun skripsi itu dapat terus melanjutkan pendidikannya. Sehat diri dan bayinya. Segera menikah dengan ayah sang bayi. Mendapat pekerjaan baik, untuk mengimbangi pendapatan suaminya.

Semoga tak ada yang mengait-kaitkan ini dengan those so called "kurang pendidikan agama" (hey, lihat siapa orangtua mereka!). Semoga bayinya dijauhkan dari sebutan anak haram (bayi itu lahir bersih, yang haram itu perbuatan orangtuanya). Dan semoga tak makin banyak orang yang menghujat gadis dan perjaka. 

Oh, mereka bukan gadis dan perjaka lagi.

Gambar dari sini.

Mlekom,
AZ

Posted by adrianizulivan Posted on 1:06:00 PM | No comments

Ensiklopedi Kotagede

Ensiklopedi KotagedeEnsiklopedi Kotagede by Dikbud DIY
My rating: 3 of 5 stars

Salah satu referensi awal yang lengkap mengenai Kotagede. Perlu dibaca.

View all my reviews
Posted by adrianizulivan Posted on 12:49:00 PM | No comments

Kraton Surakarta dan Yogyakarta, 1769-1874

Kraton Surakarta dan Yogyakarta, 1769-1874Kraton Surakarta dan Yogyakarta, 1769-1874 by Sri Margana
My rating: 4 of 5 stars

Butuh waktu lama mencermati tiap aturan yang diterjemahkan dalam buku ini. Buku ini mampu menjawab berbagai pertanyaan terkait hal-hal yang selama ini sulit saya mengerti.

Tentang gelar keluarga kerajaan, gelar kepangkatan para abdi, adat upacara, tata cara menghadap dan berpakaian saat bertemu Raja, tentang pengangkatan pejabat, apa yang tidak boleh dilakukan pejabat, dst.

Dari penerjemahan naskah ini, saya belajar betapa tidak bermartabatnya posisi perempuan-perempuan yang menjadi selir raja. Betapa rendahnya posisi Raja Jawa dibanding pejabat kolonial. Betapa tak berdayanya rakyat yang harus memberi pajak dan sumbangan bagi kerajaan dan penjajah.

Catatan menarik untuk dirujuk!

View all my reviews

Wednesday, June 25, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 8:59:00 PM | No comments

Chee Cheong Fun


Chinta Manis. Dengan susah payah nyari nama foodstall di Changi ini. Ceritanya, pengen tau nama makanan mirip kwetiau yang kucicip di sana.

Nama ini kemudian memudahkan pencarian di mesin Google. Keluarlah nama Chee Cheong Fun yang populer dengan nama rice noodle roll/steamed rice roll. Rice noodle itu kan bihun/mihun ya, kalo kata orang kita. Tapi di sini mengacu pada kukusan tepung beras yang mirip kwetiau. 

Ya betul, kwetiau/meetiau (white Chinese noodle) itu. Ternyata resep dan cara bikinnya memang sama dengan kwetiau. Sebab belum populer di Indonesia, belum ada terjemahannya. Namun sebagaimana kita menyebut spaghetti atau kwetiau, biarlah kita tetap menyebutnya begitu.

Chee Cheong Fun berarti usus kecil babi, sebab--katanya--bentuknya menyerupai lembaran usus. Makanan ini berasal dari Kanton, Cina Selatan. Jangan khawatir, tidak harus mengandung babi. Makanan berupa dim sum (makanan kecil) yang digulung ini juga bisa diisi udang, ayam dan sayuran. Yang kumakan di Changi adalah versi plain tanpa isi yang disiram kecap manis-asin dan ditabur wijen, dilengkapi sambal.

Ketemu banyak resep. Kupikir, saosnya akan lebih enak jika diganti dengan cuko pempek. Jadilah aku masak cuko pempek dulu (lihat resepnya di sini), sembari menyiapkan bahan utama.

Adonan:
1 cangkir tepung beras
1/2 cangkir tepung tapioka
1/2 cangkir air
Garam secukupnya

Alat:
2 loyang
Panci pengukus/dandang
Kuas kue

Cara:
  1. Campur tepung beras dan tapioka + garam, aduk sambil tambah air sedikit demi sedikit.
  2. Siapkan dandang, letakkan di api sedang.
  3. Siapkan loyang. Oles dengan minyak goreng. Tuangkan adonan ke dalam loyang, jangan tebal. Jika suka, tambahkan irisan daun bawang.
  4. Setelah air kukusan mendidih, masukkan loyang. Tumpuk loyang kedua di atas loyang pertama. Tunggu matang, angkat, keluarkan dari loyang sambil olesi kedua sisi dengan minyak goreng.
  5. Ulangi hingga adonan habis.
  6. Letakkan seluruh adonan yang telah matang secara berlapis. Potong di atas telenan lebar, dengan ukuran sesuai selera. Pisahkan tiap potongan hingga membentuk seperti lembaran kwetiau (nah, sampai disini, anda telah berhasil bikin kwetiau. Yay!).
  7. Gulung tiap lembar, susun di piring. Letakkan saos, bisa disiram atau dicocol.
  8. Jika punya wijen, bisa ditambahkan.
  9. Jika ingin saos seperti resep aslinya (soy sauce), sila campurkan 1/4 cangkir air hangat + 4 sdm gula 1/4 cangkir kecap manis + 1/4 cangkir kecap asin +  4 tetes minyak wijen (sesame oil) + parutan 1 ruas jahe.

Rasanya enak. Humm... lebih enak daripada yang di Changi, sebab saosnya kan Indonesia banget :)

Mlekom,
AZ

20140711

Sunday, June 22, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 11:16:00 PM | No comments

Ringroad Hadeh


Mba, ringroad ke rumah deket gak? Dapat SMS ini. 

Ringroad mana? Aku.

Deket gak?

Ringroad itu mengelilingi seluruh wilayah Yogya. Jd semua bisa dekat ringroad. Jika rumah org di barat, pasti dekat ringroad barat dan jauh dari ringroad timur. Jadi ini posisinya di ringroad mana?

Dekat bandara mba. Hari ini gak dapet tiket pesawat. Habis semua.

Bla bla bla, dan berakhir menjemput anak Jakarta ini.

Gitu deh, kudu niat banget ngejelasinnya. Padahal yang diajak ngomong ini adalah seorang sarjana yang menjadi abdi negara lho. Hadeh!

Gambar dari sini.

Mlekom,
AZ


Saturday, June 14, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 11:22:00 PM | No comments

Dibuai Awan


Borobudur selalu mengagumkan, bahkan jika disaksikan dari jarak yang tak dekat. Awan tak pernah lelah membuai, menemani sang candi menjemput mentari. Gambar diambil dari Punthuk Setumbu (19/04/2012), 40 kilometer di barat Candi Borobudur. Tak lama lagi, keindahan ini akan digantikan tanaman beton berwujud hotel. Bukit yang dikelola warga ini akan ditinggal pengunjung...

Foto ini diikutkan dalam Turnamen Foto Perjalanan Ronde 44: Awan.

Mlekom,
AZ

Posted by adrianizulivan Posted on 7:46:00 PM | No comments

Kwetiau Jawa



Hari libur gak kemana-mana. Cuma tiduran, habiskan buku yang kupinjam di perpus. Sore-sore laper, mau jajan males. Seketika teringat saja dengan bakmie jawa. Langsung googling resep.

Semua bahan di dapur ada, kecuali ayam yang kuganti udang. Eh, mie kuning gak ada. Di boks persediaan Mama cuma ada kwetiau kering dan mihun. Mau google resep lain malas, akhirnya coba-coba saja ngolah kwetiau dengan resep bakmie jawa. Hasilnya? Enak!

Bahan:
250 gr kwetiau kering
1/2 ons udang segar
15 gr ebi
1 telur ayam

Bumbu halus:
3 bawang putih
4 bawang merah
3 kemiri, sangrai


Bumbu tambahan:
1 batang daun bawang
1/4 sdt lada
1/4 sdt garam
1 sdt kecap manis
1 sdt kecap asin

Pelengkap:
4 cabe rawit, iris tipis
200 gr kol, iris
200 gr sawi, iris
1 tomat, iris

Cara:
  • Orak-arik telur dengan sedikit minyak. Sisihkan.
  • Rebus kwetiau dengan sedikit garam. Setelah matang, masukkan 1 sdt minyak goreng agar mie tidak lengket setelah ditiriskan. Sisihkan.
  • Siangi udang segar. Kupas kulit keras di bagian badan dan kepala. Iris dadu bagian badan, sisihkan. Jangan buang bangian isi kepala, blender dengan air, saring. Rebus bersama ebi yang telah dibersihkan. Ini menjadi kaldu. 
  • Tumis bumbu halus hingga harum. Masukkan kwetiau, aduk rata. Tambahkan satu sendok sayur air kaldu, diamkan dengan wajan ditutup.
  • Setelah air kaldu mengering, masukkan bumbu tambahan. Aduk rata. 
  • Masukkan pelengkap hingga sayuran layu. Tambahkan telur orak-arik.
  • Tabur bawang goreng.
Ini rasanya peudeus, akibat irisan cabe rawit. Meski fotonya jelek, yang suka bakmi jawa sih pasti suka. Sayang, keluargaku gak pernah suka mie jawa, hiks :( Kalo aku jangan tanya, sebab sering banget menjelajah bakmi Yogya bersama genk Tukang Makan :)

Mlekom,
AZ

Friday, June 13, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 9:22:00 AM | No comments

Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe

Pekerdja di Djawa Tempo DoeloePekerdja di Djawa Tempo Doeloe by Olivier Johannes Raap
My rating: 3 of 5 stars

Saya penggemar foto lawas, namun tak seheroik Mas Olly yang berburu di seluruh dunia. Saya hanya menikmati via KITLV, museum atau media-media lain, dan tidak sampai mengoleksi.

Bukunya sangat menarik, pemilahan bab berdasar kategori pekerjaan sangat memudahkan pembaca. Namun informasi yang membahas tiap kartu pos agak mengganggu, seperti: Pertama, soal penggunaan bahasa yang kerap tidak efektif (mungkin sebab keterbatasan Bahasa Indonesia penulis). Kedua, penulis yang bukan orang Indonesia, menjelaskan suatu subyek sangat detil ("rujak adalah makanan tradisional yang terbuat dari berbagai macam sayuran atau buah-buahan. Semua bahan dicampur dengan saus. Dst..." hal. 12), padahal buku berbahasa Indonesia ini pasti ditujukan bagi orang Indonesia yang tahu apa itu rujak, misalnya. Ketiga, ini yang paling bahaya, penulis terlau banyak berasumsi tentang kejadian dalam foto: "Warung ini dikelola tiga generasi, nenek memasak, ibu melayani, cucu menjajakan keliling" (hal. 45). Padahal, tulisan pengantar menjanjikan tak ada tafsir berlebihan terhadap tiap foto.

Di luar semua itu, banyak pengetahuan dalam buku ini. Tentang sejarah fotografi dan kartu pos di nusantara, hingga siapa fotografer dan perusahaan penerbit kartu-kartu pos tersebut. Riset mendalam yang dilakukan penulis terhadap tiap gambar merupakan keunggulan utama. Tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam Kata Pengantar juga sangat berharga.

Trims telah membagi koleksimu kepada kami!

View all my reviews

Monday, June 9, 2014

Posted by adrianizulivan Posted on 10:14:00 PM | No comments

Dimulai dari Antimo, Mencipta Dapur di Solo


Keseruan perjalanan akhir pekan (7-8/06) kemarin, dimulai dari Antimo. Iya kamu, eh Antimo, obat anti mabok itu. Antimo lah yang membuat Palek akhirnya berani ikut perjalanan ini. Setelah Padhe absen, masa Palek kudu gak ikut juga. Formasi menjadi cukup lengkap dengan bergabungnya Cakpii dari Gresik. Gambar ini diambil dari kamera Dikprij, dengan susunan formasi sbb: Palek, Dikprij, Bulek, aku, Panca (di belakang, ketutupan), Tante, dan Cakpii.

Kami sepakat berangkat dari Stasiun Lempuyangan. Aku tiba jam 08.30. Ceritanya mau naik kereta yang setengah jam lebih cepat dari teman-teman lain, agar bisa mampir ke rumah Paman di Solo. Ternyata jadwal yang kami pedomani salah, keretaku baru saja berangkat beberapa saat sebelum aku menghadap loket.


Keduanya obat anti mabok. Kusiapkan untuk Palek.
Akhirnya kuputuskan berangkat bareng. Kami naik kereta pukul 13.00, wah mati kutu deh nunggu di stasiun. Sebenarnya ada dua kereta lain diantara jadwal itu, tapi tempat duduk penumpangnya saling berhadapan ke samping. Ini bisa bikin Palek mual. 
Lempuyangan
Eh, Priyo clingukan nyariin kita.
Sejam kemudian teman-teman datang. Kereta AC yang tadinya berangkat jam 10.11 telat masuk Yogya. Mungkin memang rezeki, sehingga kami hanya menunggu setengah jam untuk berangkat.

Rp 15.000
AC rumah :)
Keretanya bernama Sidomukti. Satu-satunya kereta jurusan Yogya-Solo yang belum pernah kunaiki. Sedikit kecewa ketika melihat penampakannya. Tidak sebening Manja atau Sriwedari. Ini seperti kereta bisnis antar kota jarak jauh. Nilai plusnya: Ada colokan. Yang terpenting, bangku penumpang bisa diubah jadi hadap depan atau belakang, sehingga Palek aman.

Aku duduk sendirian, penumpang memang sepi. Seperti biasa, pemandangan dari jendela kereta menyenangkan. Selain buku, kejadian di luar kaca sangat asik. Sayang, dingin ruangan tidak maksimal, sampai kipas-kipas meski kursiku tepat di bawah AC.
Lagi menikmati kesendirian, tetiba ada himbauan: "Mohon maaf Bapak-Ibu, mohon bangun sebentar keluarkan tiketnya." Suara seseorang berseragam TNI. Diikuti dengan seseorang berseragam PT KAI yang sibuk memotret seorang ibu yang juga berseragam sama, serta pak Masinis. Di ujung gerbong berdiri mbak Polwan cantik. Sepertinya ibu ini pejabat yang sedang sidak. Biasanya tidak seheboh itu.


Akhirnya kami tiba di Stasiun Purwosari. Tante yang domisili Solo, menjemput kami dengan mobilnya yang imut. Maka formasi di jalan: dua di depan, empat di belakang. Nanti sore ketambahan Cakpii. Perlu atur strategi naik sedan berdelapan!


Tujuan pertama sarapan menu khas: Selad Solo. Lalu ke Pasar Triwindu. Wah, Palek dan Bulek seneng banget. Mereka adalah pasutri yang sangat tergila-gila dengan barang vintage.
Cecewek pada mborong kebaya kutubaru.
Lalu ke rumah Tante, istirahat sambil nunggu Cakpii datang. Jelang magrib yang ditunggu nongol juga di terminal. Bus yang ditumpangi kena macet. Mau naik kereta, kehabisan tiket.
Suasana presentasi & aku yang mencoba selfie.
Kami makan malam di sekitar kompleks rumah Tante. Dapat soto Semarang yang enak. Lalu nyusul si Tante ke Jackstar di kawasan Slamet Riyadi (pakai muter-muter karena buta arah). Tante dan tiga mahasiswanya sedang persipan presentasi. Mereka masuk lima besar sayembara, Senin akan presentasi di hadapan Sultan Yogya. Tante pengen kami ada di sana untuk menanggapi presentasi mereka. 
Jadilah kami di sana, hingga tengah malam. Sempat was-was sebab ATM dan uang tunai Dekprij tertelan mesin BCA. Dekprij tinggal punya uang 100 ribu di kantongnya. Duh! Sambil menunggu urusan ATM, kami duduk di depan Jackstar.

Sekitar pukul 13.00 kami pulang, sementara Tante masih sibuk dengan ketiga mahasiswanya. Teman-teman pada kelaparan. Kehidupan malam di Solo tidak sesemarak Yogya. Nyari makanan tidak mudah, kami sempat muter-muter ("Plisde, masa makan Mekdi", kata Dikprij) Akhirnya mundur beberapa meter ketika melihat warung ini. 

Kabuli yang oke banget!
Meski warung tenda, nasi kebuli (mereka menyebutnya kabuli) di sini enak banget. Karena masih kenyang, aku minta dibungkus. Eh sampai rumah langsung dimakan karena udah ngantuk banget. Btw, aku gak tau ini di daerah mana. Padahal pengen nyicip lagi kalo ke Solo.

Selamat tidur! Zzzz.... zzz... zz..

Selamat pagi! Hoahm...

Para gadis yang bersolek.

Para jejaka yang bermalasan.
Agenda inti di pagi ini adalah... memangkas dahan pohon cermai (orang Yogya nyebutnya talok). Yak, tamu Gresik mendapat kehormatan untuk melakukan ini. Sembari menunggu, yang lain pada.... cuci mobil. Hahahaha! Itu saun dan buah cermai betah menghuni permukaan mobil. Aku? Makan sereal sambil baca, ditemani Panca yang nonton gosip artis :)
Agenda utama

Yang hanya menonton, dari kamera Dekprij.
Akhirnya, kloter pertama berangkat. Ceritanya mau sarapan ke Pasar Gede. Dikprij kembali untuk aku dan Panca. Kloter I sudah mampir pasar dan membeli cabuk rambak, kangkung rebus berkuah rujak. Kami mampir ke klenteng di sudut pasar, lalu makan asik di warung timlo.

Di klenteng, milik Cakpii.
Warung Timlo Sastro.
Ini pertama kali aku ke Pasar Gede. Sangat menarik, sampai berpikir "ke mana saja aku selama ini?". Paling menarik ada toko barang pecah-belah dari Semarang. Yaampun, besok-besok kudu mampir lagi!

Selain sarapan, agenda di pasar ini adalah menciptakan sebuah ruang bernama dapur untuk Tante. Heh? Ruangannya sih sudah ada, tapi kok nggak kaya dapur. Minus kompor--barang yang menjadi penanda utama sebuah ruang memasak. Hahaha.


Gambar atas: Tante dan mainan masak-masakan yang lebih kumplit ketimbang dapurnya :) dan Tante bersama Cakpii yang mencari ceret dan gelas untuk membuat kopi. Gambar bawah: kaki Bulek dan kakiku di becak, dan  becak yang ditumpangi Palek dan Panca di depan kami.

Kloter pertama--dalam formasi berbeda dengan sebelumnya--pulang untuk mewujudkan dapur. Aku berada dalam formasi yang meluncur ke Pasar Triwindu, lagi. Kami masih mencari 'titipan' yang kemarin gagal kami peroleh. Lalu pulang dengan taksi, agar tak merepotkan kloter satu yang sedang mencipta dapur.

Sampai di rumah, Tante sudah pergi, dijemput mahasiswanya yang lain untuk melayat. Proses penciptaan dapur berhasil. Percobaan pertama masak air panas untuk kopi, lalu mi instan. Itu menjadi menu makan siang kami. Hahahaha!
Mi rebus dengan cabuk rambak dan crackers.
Sore hari Tante pulang. Matanya berbinar waktu bilang: Yaampun, aku punya kompor! Tante lalu keluar lagi bersama kloter pertama edisi II. Selain melihat jadwal kereta, juga mampir ke Laweyan untuk jelajah singkat. Aku lanjutkan membaca sambil ngadem di kamar. Solo seharian itu gerah buangat!

Meski sudah ada kompor, malam ini kami masih makan di warung soto. Tapi Tante janji, kunjungan selanjutnya akan buatkan Soto Betawi andalannya waktu kuliah di Jepang.

Atas: menuju warung. Bawah: menuju stasiun.
Menuju Stasiun Purwosari. Tante dan Panca nebeng mobil mahasiswanya Tante (mereka akan membahas presentasi lagi, padahal subuh harus berangkat ke Yogya!). Akhir perjalanan ini adalah sesi foto keluarga (gambar paling atas).
Adegan AADC: Tante antar kami sampai masuk.


Sampai lupa rencana agenda kami ke Solo. Tentu bukan mencipta dapur. Tadinya kami akan melihat pameran Benteng Nusantara di Vastenberg dan menyaksikan karnaval bambu. Meski semua terlewat, kami senang bisa bersama lagi. Apalagi Cakpii memutuskan untuk ikut kami ke Yogya.
1,5 jam menunggu kereta.
Segala gaya.
Di jalan aku hanya membaca, akhirnya buku tipis yang kupinjam dari perpustakaan kandas juga. Kereta terlambat setengah jam. Kami tiba kembali di Lempuyangan pukul 11.17. Aku sudah dijemput. Kami berjanji akan melihat pameran ArtJog keesokan harinya, dan menghadiri presentasi Tante lusa.

Senin, hari ini, masing-masing kami langsung disibukkan kegiatan rutin. Aku sempatkan menulis, mumpung masih ingat. Sekarang, mari tidur!

Mlekom,
AZ

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata